Contents
TIKET
Part 2
Dadaaa Ayah. Kabari kalau udah bisa makan nasi liwet bareng. Titidije ya Yah” Videocall dimatiin oleh Ajeng. MB masih menatap layar handphone yang blank itu. Hanya refleksi dirinya yang menahan haru disitu. “Putrinya ya Bang.” MB hanya terdiam tidak menjawab. Supir taksi memahami. Dia ikut diam. Melirik ke spion belakangpun tak diniatkannya. Nasi Liwet Mpok Pinah, Jakarta Selatan 11.52 wib Taksi memperlambat jalannya untuk berparkir di Nasi Liwet Mpok Pinah. Restoran rumahan bertuliskan sederhana dari papan triplex Nasi Liwet Pinah yang menempel diatas jendela-jendela kayu. Di depan resto itu terparkir ojek on line yang antri pesanan take away. MB keluar dari taksi. Sekalipun pikirannya masih terpaut kata-kata putrinya itu, dia terus berjalan menuju resto itu. Supir taksi mengikutinya. Semua ojek on line memakai masker menunggu layanan pesanan bergiliran. Meskipun puasa, masih banyak berdatangan memesan nasi liwet yang dikenal enak itu. Di dinding resto itu tertulis satu meja untuk satu orang.
MB memasuki resto itu. MB mencoba merubah murungnya itu untuk menutupi perasaannya. Karyawan yang mengenalnya langsung menyapa MB. “Om gimana kabarnya?” “Gue mah dari dulu fine-fine aja Bro. Menu biasa ya.” MB mengalihkan ronanya dengan senyumnya yang renyah “Saya juga samain aja, Bang saya makan disini saja di meja luar” ujar Supir taksi. “Sini-sini Om masuk kedalam tempat Om yang biasa, maklum lagi PSBB Om” Karyawan itu berjalan masuk kedalam ruangan makan khusus tempat langganan khusus yang makan disitu. Lelaki berumuran 50 an tahun itu mengikut karyawan yang memandunya masuk ke ruang langganan. MB duduk sendiri di ruang makan yang dekornya unik tradisional itu. Lesehan dengan lampu gantung besi dengan bentuk ukiran. Dindingnya juga belum berubah, masih batu bata merah yang belum disemen mirip seperti bangunan pedepokan di kasepuhan Cirebon. Dari kisi-kisi kaca jendela terlihat Supir taksi itu berjalan memasuki ruangan itu. “Nih Bang, rokoknya kalau Abang gak bawa,” Supir taksi itu meletakkan bungkus rokok dan dia hanya mengambil sebatang diselipkan di telinganya. MB masih terdiam saja. Dia hanya memikirkan tentang tiket. Tiket dia keluar yang belum dilunasi.
Tiket kuliah untuk putrinya yang harus dicari. Dengan tiket semacam apa dia harus melunasinya terlebih dahulu. Tugas apa yang harus dia jalani untuk melunasi semua itu. Mendengar handphone Supir taksi yang berdering, MB melirik ke jendela kaca. Supir taksi itu sambil menjawabi telfon berjalan kearah ruangannya lagi. Di dalam ruang itu, Supir taksi menyerahkan kembali handphone kearah dimana MB duduk bersila di ruang lesehan itu. “Iya hallo,” jawab MB “You habis makan langsung ambil barang di Tangerang. Supir taksi itu sudah tahu alamatnya. Inget itu barang mesti you telan, 8 bungkusan plastik kecil you telan, dan esok harinya you bisa keluarin saat you BAB dan you bersihin plastiknya. You pindahin isi barang ke plastik yang baru dan bersih. Pemesan besok datang ngambil barangnya. You kasih pada pemesan. Begitu pemesan sudah bawa and kabari Bos, utang tiket you keluar lunas. Ngerti gak you?” “Iya paham.” “Nah sekarang you makan tuh nasi liwet yang pedes biar besok you bisa keluarin itu barang dari dalam perut you. Satu lagi you catat nomor ini nanti kabari kalau you udah jalan. You catat juga nomor handphone supir taksi itu, karena dia tidak nungguin you ambil barang. Begitu barang selesai you telan, you telfon supir taksi untuk jemput you lagi. Harus paham”
Handphone dimatikan si penelfon. Pelayan resto sedang menyajikan nasi liwet ala sunda dengan menaburkan nasi diatas daun pisang dan meletakkan mangkok-mangkok kecil berisi berbagai lauk pauk serta sambel khasnya yang pedas.MB mengeluarkan handphone dari anaknya dan mencatat nomor penelfon dari handphone Supir taksi, juga mencatat nomor telfon supir taksi. Lantas MB mengantongi kembali handphone dari anaknya itu dan meletakkan handphone si supir taksi. Kobokan yang ditaruh didekatnya segera untuk mencuci tangannya. MB melahap makanan itu tanpa sendok. Dan terutama menyertakan sambal setan itu yang banyak. Pikiran MB hanya satu tiket utangnya keluar penjara segera lunas. 12.22 wib Dalam beberapa menit MB menyudahi makannya. Menyulut rokoknya. Melirik jam tangannya. Dalam beberapa hisapan rokok dia mengamati Supir taksi. Tak lama dia mengkode Supir taksi yang usai makan untuk segera membayar ke kasir. MB menghabiskan segelas minumannya sebelum bangkit dari tempat itu. 12.26 wib MB berjalan keluar dari resto itu diikut Supir taksi.
Mereka memasuki taksi. MB mengirimkan SMS ke penelfon tadi kalau dirinya on the way. Taksi meluncur ke lokasi yang dituju. Handphone MB berdering. Dia mengeluarkan handphone itu dan melihat putrinya videocall lagi. MB langsung mendial yes menerima panggilan videocall itu. “Ayah” “Iya Nak” “Ayah abis makan di nasi liwet ya.” “Tahu darimana?” “Itu keringat Ayah sejagung-jagung di dahi.” MB tersenyum dan mengelap keringat di dahinya. “Enak ya Yah.” “Masih enakan dulu perasaan.” “Masa… karena lama Ayah gak kesitu apa karena gak ada Ajeng ya.” “Bukan. Mungkin tukang masaknya udah ganti.” “O ya? Ajeng jarang kesitu lagi sih.” “Iya nanti kalau urusan Ayah selesai kita kesitu sama-sama.” “Asik. Udah gak sabar nih ditraktir Ayah.” “Ini Ayah lagi ada tugas,” MB bicara setengah berbisik, “Tugas ini selesai tiket keluar Ayah lunas” “Apa? Gak denger.” “Nanti Ayah telfon lagi, Ayah lagi dalam perjalanan.” Ajeng memberi kode jangan ngomong keras-keras ntar supir taksinya denger. Ajeng mengulangi tentang apa yang diomongkan Ayahnya. MB tambah bingung dengan polah anaknya yang penuh isyarat keABGan itu. Lalu Ajeng menuliskan kertas kosong dengan spidol ; Kalau Tugas yang sekarang selesai, berarti tiket keluar dari penjara lunas?. Tulisan itu ditunjukkan kearah Ayahnya. MB tersenyum dan mengangguk. Ajeng kegirangan. Tapi dia menahan suaranya kuatir didengar Bundanya. “Ciyus Yah?” MB mengangguk dengan pasti. “Berarti besok atau lusa bisa traktir buka puasa di Nasi Liwet Mpok Pinah dong.” MB mengangguk dan tersenyum penuh gembira. “Boleh ajak pacar Ajeng gak Yah. Sekalian mau ngenalin ke Ayah. Dia pacar Ajeng dari SMP sampai sekarang. Dia baik kok Yah.” “Boleh, kenapa tidak?” “Beneran?” “Beneran” “Bentar-bentar ada telfon dihandphone Ajeng satunya, ini kalau gak Bunda pasti Papi yang telfon, mereka belum tahu kalau Ayah keluar, bentar ya Yah.”
Ajeng mengeluarkan handphone pinknya dari tas. MB hanya memperhatikan dari videocall itu putrinya sudah terpenuhi segala kehidupannya. MB jadi merasa bersalah. Kesalahan yang sejak awal terpikirkan. Seharusnya dai tidak berhubungan dengan anaknya. Harusnya dia ikhlas membiarkan istrinya jadi simpanan orang asalkan anaknya terpenuhi kebutuhannya. Harus sadar diri apa artinya seroang preman buat tiket keluarga. Tiket keluarga yang selama ini dia upayakan hanya mengantarkannya ke dalam penjara. Namun dia kini bebas atas tiket permintaan anaknya. Dia tidak bisa menyalahkan anaknya. Itu juga kesalahannya. Dulu terlalu sayang pada anaknya. Seharusnya seorang pengangguran dengan skil terbatas tidak jatuh cinta untuk berkeluarga. Keterdesakan menjalankan kehidupan preman bersama teman-temannya hanyalah ego darah mudanya yang berlebihan. Semua pikiran-pikiran itu terputar kembali dalam benak MB. Singkat mikirnya semua itu hanyalah takdir, bisik renungan MB. Tapi sebenarnya sekarang MB bersyukur, anaknya tumbuh sesuai kebutuhan yang selayakanya harus dia terima sesuai usia anaknya itu. Dan dia hanya bisa mengamati kehidupan putrinya yang tercukupi itu dari videocall.
“Iya Pih, iya lagi siap-siap… iya kalau Bunda makan malam sama Papi, jangan lupa kirimin buat buka puasa Ajeng, iya iya… daa Papi.” Ajeng mematikan handphone pink. Kemudian kembali mengambil handphone satunya yang sedang videocall dengan Ayahnya. “Ada apa Nak” “Biasa Papi ngingetin khursus bahasa inggris bentar lagi.” “Kamu diantar siapa kalau berangkat kursus?” “Kursus On Line Yah, live gitu di laptop kayak sama Ayah gini” “Oh..” “Ayah, Ajeng siap-siap kursus dulu ya nanti Ajeng telfon lagi” “Iya Nak” Ajeng mematikan videocallnya. Giliran handphone supir taksi itu berdering kembali. Supir taksi mengangkatnya. “Siap.. iya, gak jadi ke Tangerang ya, oke arah Ciputat. Siap Bos, Guest House Bougenville ya.. baik Bos, nomor 227.. siap.. meluncur sekarang” Supir taksi memutar arah ke Ciputat seraya menyimak barcode diterima di WA nya. Seraya meluncur ke tujuan dia mengantongi handphonenya kembali.
“Lokasinya dirubah arah Ciputat Bang” “Lebih deket lebih bagus lah." 12.44 wib Taksi sampai di jalur arah Ciputat. Supir taksi itu mengamati bangunan di sebelah kirinya. Mengamati tanaman rimbun yang dimaksud dalam pertelfonannya dengan Pak Bos misterius yang selalu menelfon dan memberikan instruksi maupun petunjuk. Supir taksi itu memang cermat pendengaran dan menerima segala instruksi, pentunjuk serta arahan Pak Bos penelfon misterius itu. Begitu mendapati gambaran yang dimaksud, Supir itu membelokkan memasuki penginapan yang tersembunyi oleh tanaman teh-teh an yang memagari seluruh bangunan Guest House itu.