Contents
TIKET
Part 1
Lapas Jakarta Timur 11.18 wib Jakarta sedang terik. Benderangnya siang itu seperti godlight bagi para narapidana yang dibebaskan dalam program asimilasi pencegahan dan penyebaran virus corona. Tangan Supir Taksi memegangi foto seseorang di pintu pagar Lapas, dimana para narapidana yang dibebaskan dari Program Asimilasi itu, keluar satu per satu. Diperhatikan dengan seksama oleh Supir Taksi itu siapa saja yang keluar. Foto orang yang ditangannya masih belum tampak. Rupanya paling terakhir dia keluar. Sosok berbadan kekar penuh tato di hampir seluruh tubuhnya. Orang itu berjalan dengan tenang. Hanya berkemeja lengan pendek ketat tanpa dikancingkan bagian dadanya. Didalamnya kaos oblong yang sudah lusuh. Dia melihat kearah jam tangannya. Jam tangan jadul berwarna perak. Tidak ada sanak famili yang menjemputnya seperti halnya narapidana yang lain. Dia juga tidak tahu mau kemana dia pergi. Supir Taksi yang masih memakai masker itu bergegas menghampirinya dan bertanya. “Bang MB ya?” MB terhenti memperhatikan raut muka supir taksi itu. “Elu siapa?” Supir taksi itu menyodorkan foto profile dirinya. MB menerima dan melihat foto dirinya. “Lihat dibaliknya Bang” MB membalikan fotonya dilembaran itu terbubuhi stempel bergambar stilisasi tokek. MB langsung memahami, supir taksi ini pasti suruhan mantan Bosnya. “Mana mobil lu?” “Disitu Bang, mari Bang, itu dibawah pohon yang itu mobilnya.” MB mengikuti supir taksi itu hingga ke mobilnya dimana diparkir. Supir taksi membukakan pintu belakang mobilnya.
MB langsung masuk kedalam taksi itu. 11.22 wib Supir taksi masuk kedalam mobilnya, menyiapkan diri di depan stir, menstarter mobil dan segera menjalankannya. “Maaf Bang, AC nya baru dinyalain, masih gerah pasti, soalnya saya menunggu sedari tadi. Jadi saya matiin” “Punya rokok gak lu?” “Ada nih ada Bang, kretek mau, Bang.” “Mana?” MB membuka jendela taksi, supir taksi itu spontan mematikan AC nya dan menyodorkan bungkusan rokok kretek murahan yang tinggal separo beserta korek gasnya. MB menerimanya dari dan mengambil sebatang serta menyulutnya. “Maaf nih Bang saya pakai masker terus. Bukan gak ngormati Abang. Tapi lagi musim corona begini, kalau gak pakai masker bisa kena tilang Bang. Istri saya juga kuatir kalau saya narik terus takut ketularan Corona. Jadi saya pakai sarung tangan terus. Tiap pulang saya juga disuruh mandi dulu. Sabunan biar gak kena corona. Kadang 2 atau 3 hari baru ke rumah mertua. Istri sama anak-anak saya masih ikut mertua di depok Bang. Ya saya tidur di mobil terus cari parkiran selama ini. Mau PSBB gimana kan banyak orang kita kayak ayam Bang. Cari duit hari ini untuk makan besok ama lusa, jadi kalau gak kerja bisa gak makan.
Tiket penyambung hidupnya dari jadi buruh. Mau gak mau terancam kena corona. Tahu gak Bang, yang kena corona udah 10 ribuan lebih.” Handphone Supir taksi itu berdering. Diangkatnya dan Supir itu hanya jawab, sudah, Pak, iya iya sudah, ini lagi otewe kesitu Pak, oh iya iya Pak… baik.. boleh.. boleh… Supir taksi itu menyodorkan handphonenya ke MB. “Ada yang mau bicara Bang.” “Siapa?” “Yang nyuruh saya jemput Abang di Lapas” MB menerima handphone itu dan menempelkannya ditelinganya sambil menikmati sebatang rokok. “You dengerin aja semua omongan dari handphone, denger baik-baik selama telfon dari handphone si supir taksi itu, ngerti?” “Hmmm..” “You ikut Supir taksi itu, semua sudah ditanggung. Makan rokok pesangon udah diatur sama supir taksi itu. Pesangon you ntar dikasih sama Supir taksi itu, didalam kado kecil berpita merah. Supir taksi akan ngajak you makan dulu di restoran kesukaan you dan akan membelikan rokok kesukaan you satu slop, menyerahkan kado pesangon itu, dan mengantar you ke tempat you menjalankan tugas sebagai timbal balik tiket you keluar tahanan” “Boleh Tanya?” MB melirik ke supir taksi yang melintasi jalanan lenggang dari arah Jakarta Timur menuju Jakarta Selatan. “You mau tanya apa?” “Ini semua apa maksudnya.” “Ini semua tiket atas permintaan anak you. Anak you yang memohon-mohon supaya si Bos bayar tiket untuk you bisa bebas ikut asimilasi corona. Dan untuk membebaskan you tiketnya berlapis-lapis. You mestinya bersyukur sama anak you yang pinter ngebujuk Bos untuk membebaskan you. Kalau enggak, you gak akan dibebaskan. Paham?” “Iya ngerti.” “Nah untuk you bisa kembaliin semua ongkos tiket dan pesangon serta tetek bengeknya itu, Bos minta you jalani satu tugas yang menurut Bos cuma you yang bisa jalani ini. Paham?” “Iya.” “Oh iya anak you juga titip handphone bekas didalam kado pesangon katanya buat videocall sama you, jangan lupa telfon anak you, dia nungguin. Paham?” “Iya.” “Yang terakhir you jangan macem-macem dengan semua yang udah diatur sama Bos. Resikonya tiket itu dibayar nyawa anak you, kalau you berani ingkar atau menyimpang dari yang udah ditentuin. Paham?” “Iya Oke.” “Seneng-seneng dulu lah you, pesangonnya cukup kok, ntar malam supir taksi itu akan nganterin you sesuai rencana. Dan inget jangan sampai you ketular corona”
Handphone dimatiin dari penelfon. MB menghembuskan asap rokok dengan memikirkan sesuatu. Rupanya dia bebas dengan tiket yang dibayar mantan Bosnya atas upaya anaknya. Dalam benaknya terpikir, bagaimana anaknya bisa ketemu mantan Bos nya. Sesuatu yang aneh buat MB. Handphone disodorkan kembali ke Supir taksi. Supir taksi menerimanya dan mengantonginya kembali. “O iya Pak.” Supir taksi itu sambil tetap menyetir mobilnya, tangan satunya merogoh tas kecil berisi kado berpita merah. Kado berlapis sampul hitam berpita merah itu diserahkan ke MB. “Ini Bang, kadonya, katanya setelah telfonan sama Abang disuruh ngasih.” MB menerimanya. “Dan ini satu slop rokok kesukaan Abang” MB menerimanya lagi tapi langsung digeletakkan seslop rokoknya itu di jok sebelahnya yang kosong. Dia masih terus mengabiskan rokoknya, dia lebih ambisi untuk segera membuka kado itu. Dibukanya kado itu. Sampul hitamnya itu segera dikelupasnya. Didalamnya terdapat amplop berisi uang sekitar 1 atau 2 juta berupa lembaran seratus ribuan, yang hanya dilirik dari pintu amplop dan belum dihitungnya. Amplop uang itu langsung dimasukkan ke dalam kantong celana MB. Dia lebih mengutamakan membuka kardus obat batuk dari dalam kado itu. Yang sudah dia tahu isinya handphone bekas dari anaknya. Bungkus obat batuk itu dibukanya. MB mengeluarkan handphone bekas itu. Dia mengaktifkan handphone itu dari switch on/off nya. Menunggu hingga handphone itu siap dioperasikan. Begitu rokoknya habis, handphone itu berbunyi notifikasi WA masuk.
MB membuang puntung rokoknya dari jendela taksi yang terbuka. Dia memencet membuka pesan dari WA. Terdapat chat dari anaknya. Dipencetnya lagi chat WA anaknya itu. Disitu tertulis, ‘kalau Ayah sudah membaca pesan ini, Ajeng mau videocall kangen sama Ayah”. Sesungguhnya raut wajah MB sangat terharu dengan upaya anaknya itu. Tapi dia berusaha menghapus segala keterharuannya itu. Karena tiba-tiba berdering videocall dari Ajeng. MB langsung menerimanya. Terlihat dari videocall itu, putri satu-satunya yang manis jelita itu sudah gadis. “Ayah, Ajeng kangen banget sama Ayah.” “Iya Nak. Ayah juga kangen sama Ajeng” “Ajeng sebel sama Bunda gak bolehin Ajeng jenguk Ayah lagi, sejak Bunda pasrah gitu aja jadi istri simpanan si Babeh tuwek itu. Tapi tahu gak Ayah. Pacar Ajeng yang bantuin Ajeng ketemu mantan Bos Ayah yang dulu. Jadi Ajeng bisa lihat Ayah lagi. Ajeng yakin Ayah bisa kembaliin biaya tiket bebas Ayah dari tahanan. Ceritanya gini Yah. Waktu Ajeng denger ada program asimilasi pembebasan narapidana selama wabah covid 19 ini, Ajeng curhat sama pacar Ajeng. Eh dia rupanya diem-diem bantuin Ajeng untuk ketemu Om Ongki Bos Ayah yang dulu. Ajeng bujuk dia, untuk bayarin tiket asimilasi, eh gak tahunya dia lagi butuh orang seperti Ayah katanya. Ajeng minta maaf gak bilang sama Ayah dulu. Abis Ajeng sudah kangen banget pingin makan bareng sama Ayah. Di tempat langganan kita dulu Yah, Nasi Liwet kesukaan Ayah di Mpok Pinah. Sudah 4 tahunan ya kita gak makan disitu lagi. O iya Ayah, kata Papi tahun depan Ajeng mau dikuliahin, kalau Ajeng bisa lulus peringkat 10 besar. Doain ya Ayah.”
“Pasti Nak. Ayah doain” “Tapi…” “Tapi kenapa..” “Ajeng gak suka dikuliahin sama Papi. Emang sih semua yang Bunda perlukan, yang Ajeng butuhkan dikasih semua sama Papi. Tapi Ajeng bujuk Om Ongki supaya bebasin Ayah, siapa tahu Ayah dapat kerjaan terus dari Om Ongki jadi bisa kuliahin Ajeng dari Ayah kandung sendiri. Soalnya males sama Papi kalau butuhnya saja, kasihan Bunda. Tapi Ajeng sih gak maksa, Ajeng gak mau nuntut, Ajeng ngerti gimana Ayah, itu kalau Ayah bisa aja kalau gak bisa yang penting Ayah bisa jaga jangan sampai masuk lagi.” “Iya Ayah juga inginnya begitu. Doain Ayah juga. O ya itu kok bungkusnya kardus obat batuk.” Ajeng ketawa ngakak. “Kok ketawa?” “Biar Bunda gak curiga, alasannya gosend obat batuk buat temen, kalau pakai bungkus handphone bisa ketahuan Bunda.” “Oh gitu, dasar kamu.” “O ya Ayah jangan sampai tertular Corona. Pakai masker. Beli handsanitezer. Ya udah Ayah selesaiin dulu urusan Ayah sama Om Ongki, Ajeng gak bisa lama-lama, ntar ketahuan Bunda bisa ribet sama Papi.