Contents
Di Penghujung Senja
02 — Pertemuan Pertama
“Tumben pulang malam?”
“Ada tugas tambahan dari dosen.”
Ini agak larut, bukan jam biasa Jeffrey pulang ke rumah. Jam 23: 45, nyaris tengah malam kan?
Pintu menutup, seiring sang Ibu menunggu kepulangan Jeffrey di ruang tamu. Rumahnya besar, ada garasi mobil, kolam, ada taman luas dan bunga-bunga segar di halaman belakang. Sekalian gazebo juga ada di sana. Rumah bercat putih nuansa unik ini hanya diisi oleh Ibunya, sang Ayah dan dirinya serta beberapa asisten rumah tangga.
Terlahir jadi anak tunggal, kadang membuat Jeff seperti terkungkung oleh sikap posesif kedua orang tuanya. Pulang telat selalu dapat panggilan telepon. Atau kadang Jeff akan dijemput paksa oleh sopir, kalau dia masih keluyuran di luar lewat pukul sembilan malam.
Tadi dia berbohong pada ibunya. Jujur saja, ini kebohongan pertama seorang Jeff. Seumur hidupnya, dia terbiasa berkata jujur di balik sifat irit bicara, tapi entah kenapa mulutnya malah enteng berdusta. Dia sedang tidak mengerjakan tugas tambahan. Tapi asyik bermain dengan gadis kecil yang tiga bulan terakhir dilihatnya di lampu merah tengah kota.
“Ibu, Ibu, Ibu.”
Sudah jelas dalam kitab suci yang dianutnya, disebutkan kalau sosok Ibu harus dihormati. Jika sekarang berbohong, itu artinya Jeff telah melakukan satu manipulatif kata dan termasuk ke dalam dusta durhaka pada sang Ibu. Bukan. Ini bukan ajaran kedua orang tuanya. Tidak pernah keduanya mendidik Jeff untuk berdusta. Dia belajar sendiri. Belajar memulai sebuah kebohongan.
Mencoba mengingat kejadian tadi, pikiran Jeff kalang kabut. Menatap gypsum putih di langit-langit kamar, Jeff seperti sedang diajak berbohong untuk kedua kalinya.
Badan Jeff terlentang di atas kasur, berpikir Ikhwal mengenai dustanya pada Tyas, gadis kecil yang beberapa jam lalu sudah akrab dengannya.
“Sst ....” Suara desisan Tiur—gadis sekiranya seumuran Jeff, mengatup mulutnya dengan jari telunjuk. Matanya nyalang menyorot Jeff yang hendak menutup pintu kayu. Gadis berkerudung cokelat itu tidak beranjak dari duduknya di sofa usang. Hanya adiknya yang menghampiri Tiur, memberikan bungkus obat pesanannya.
Sekilas tidak ada yang aneh dengan kode isyarat Tiur tadi, tapi berkat kepintaran Jeff, dirinya memahami maksud tersebut. Gadis bertubuh ringkih itu terbaring di atas sofa bobrok, bolong di beberapa sisi. Terus ada bantal yang sudah berjamur, berbintik hitam. Melirik ke bawah, ternyata ada banyak tetes darah di lantai. Di mulut Tiur, di jilbab cokelatnya, di tangan dan tisu. Apakah dia .....
Untuk kesekian kalinya, Jeff mendesah sesal. Tanpa disadarinya, dia telah masuk ke lubang rahasia orang lain. Itulah alasannya kenapa gadis bernama Tiur itu meminta jangan kaget ketika melihat kondisinya yang memprihatinkan. Tiur berkata baik-baik saja, padahal dia sedang menderita. Gadis buta kecil itu jelas tidak tahu apa yang terjadi pada saudarinya, tapi jelas manusia yang memiliki mata normal tahu kalau Tiur mengidap penyakit parah.
“Katanya kak Tiur demam panjang, tiap hari Tyas selalu berikan kak Tiur obat. Kalau obat habis, nanti Tyas jalan sebentar ke apotek pusat kota, nyari obat kak Tiur, buat demamnya nggak kambuh. Kakak sering ngeluh, demamnya nggak pernah mau reda akhir-akhir ini.”
Jeff mengangguk paham mendengar cerita Tyas (yang berisi penjelasan polos). Dari seberang sofa usang, Tiur mati-matian mengode jangan bicara apapun pada Tyas, atas apa yang pemuda itu lihat. Sekejap, seperti sedang meminta merahasiakan sesuatu. Jeff duduk lama di depan adik kakak ini, memperhatikan kehidupan mereka. Lantas berkenalan kilas dengan Tiur.
“Oh iya kak Jeff, Tyas belum bilang makasih sudah diantarkan pulang. Biasanya ada tetangga sebelah yang anterin Tyas pulang dari apotek kalau dia lihat Tyas nungguin di lampu merah. Tapi hari ini dia nggak datang, mungkin karena sibuk bekerja.” Gadis kecil melanjutkan ceritanya. Jeff sekarang mengerti, kan dia pintar, otak nalarnya sudah sepatutnya merangkai potongan cerita Tyas jadi satu.
Maksudnya begini, Tyas tidak tahu jalan pulang. Dia hanya tahu jalan menuju ke apotek, tapi lupa jalan menuju ke rumah. Setiap selesai membeli obat, gadis kecil menunggu tetangga sebelah di lampu merah, nanti Tyas diantar pulang.
“Begitu ya?” Jeff buka suara, setelah tadi beberapa menit hening. Menjadi pendengar baik untuk setiap detail cerita Tyas.
“Abang Jeff, makasih sudah anterin adikku pulang. Tyas, buatin Kak Jeff teh.”
Jeff menyambar cepat ekor mata Tiur, memerintah adiknya yang buta membuatkan dia minuman panas. Apa dia sudah kehilangan akal?
Bukannya teh panas yang datang, malah bencana nanti yang tiba. Mungkin Tyas salah memposisikan penghantar panas kompor, atau dia tidak sengaja meninggalkan lap di atas api, kemudian terbakar. Itupun kalau dia berhasil kabur dari kobaran api sudah untung-untungan dibilang selamat. Kalau tidak? Bisa berakhir jadi manusia panggang dia. Parahnya jika Tyas tidak sengaja ketumpahan air panas, kan ini nggak lucu.
“Nggak usah, aku langsung pulang saja. Sudah cukup lama aku di sini. Aku permisi dulu.”
“Tyas, anterin kak Jeff ke depan.”
Tyas sigap, berkat bantuan tongkat tunanetra, dia dituntun jalan menuju teras. Sempat tersenyum tadi, tidak menutup fakta kalau Jeff merasa Tiur sudah melihatnya. Melihat kebohongan yang dilakukan oleh Tiur untuk adiknya prihal penyakit uang diderita. Cuma penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuh ringkihnya?
Aneh, baru kali ini dirinya melihat wajah pucat pasi. Kulit seputih mayat, agak membiru di bagian kaki yang tertutup blouse batik hitam. Apakah kakinya melepuh? Pertanyaan ini membuat Jeff bingung.
Di tempat yang sama, sesekali Tyas bercerita tentang pria yang tadi dia temui jam satu siang. Sesekali memijit pula, dia bercerita gemuruh ria, betapa senangnya bertemu dengan Jeff. Sesekali lagi dia tersenyum riang saat Jeff membawanya ke meja makan restoran, aroma masakan menguar nikmat di hidung. Kak Tiur jadi pendengar yang baik. Dia akan merespon cerita Tyas sok antusias.
Dalam beberapa jam terakhir, segalanya telah membuat kehidupan Tyas serba sempurna. Jeff mengajarkannya makan menggunakan sumpit, walau dia tahu gadis buta itu tidak akan sanggup melakukannya. Menyuapinya makan romantis ala pasangan muda-mudi (walau sebenarnya lebih terlihat seperti kakak yang menyuapi adiknya), atau bicara lembut, ‘Tyas makannya pelan-pelan. Jangan buru-buru, nanti kesedak daging.’
Apalah kak Jeff. Tyas sudah biasa makan seperti itu. Tyas tahu apa yang naik buat lambungnya.
“Tadi Tyas minta beliin martabak aja buat kakak, tapi kak Jeff itu malah beliin Tyas kayak daging gitu kak, terus ada saos manisnya, terus ada daun (nggak tahu daun apa), ada sendok, garpu sama pisau kecil di piring besar. Tapi enak. Tyas suka sekali. Sampai kak Jeff pesan lagi.” Tyas mencoba mendeskripsikan hal-hal baru yang belum pernah dirasakan selama tujuh tahun hidup. Rasanya baru kali itu dia mencicipi makanan terenak di dunia. Jauh berbeda dengan masakan Tiur yang kadang keasinan, kemanisan dan kepahitan karena banyak lada di dalam bumbunya.
“Lalu, apa lagi?” Tiur bertanya, seolah tertarik dengan cerita adiknya. Walau Tyas tidak tahu bagaimana rupa sang kakak, Tiur tetap menyulutkan senyum merekah.
“Terus, kak Jeff suapin Tyas pakai dua tongkat kecil. Kak Jeff bilang itu namanya sumpit, dan yang kami makan namanya steak. Terus kak Jeff beliin Tyas eskrim juga. Seneng deh Tyas ketemu kak Jeff di sana tadi siang.” Tangan Tyas yang memijit bahu kakaknya terhenti. Tyas mencoba mengingat-ingat apalagi yang terjadi setelah itu. Semua yang terjadi tadi siang harus diceritakannya pada Tiur. “Oh, tadi kak Jeff bilang bakal ke sini lagi. Bilangnya janji mau jadi teman Tyas.”
Gadis kecil buta itu tersenyum sumringah. Rasanya dia telah menceritakan segala hal tentang pertemuan pertamanya dengan Jeff siang tadi. Padahal dia belum menyangkal kalau keduanya baru saja bertemu.
•••••
Dosen berbilang usia lima puluh tahunan itu keluar meninggalkan kelas. Sesi ajarannya sudah berakhir beberapa menit yang lalu.
Jeff masih di tempatnya, setia melakoni hobi yang kemarin-kemarin dia lakukan. Seperti tugas negara saja, menggambarkan ada waktunya. Sekarang bukan waktunya membuang hobi ke atas guratan gambar, tapi fokus pada kuliah yang terbilang nyaris singkat. Tahun depan seharusnya Jeff sudah menyusun skripsi, kan dia mahasiswa tingkat akhir.
Ada beberapa SKS yang akan dia kejar selama satu-dua semester. Hitungan Jeff sih, nggak sampai dua puluh SKS.
“Gambar apa lagi ini?” Batin Manda hendak protes, tapi tertahan begitu tahu sifat Jeff seperti apa?
Abai. Itulah sifat Jeff. Dia terlalu cuek pada urusan orang lain. Jeff tipe pemuda yang suka terjatuh dalam imajinasinya sendiri. Mengabaikan fakta kalau orang-orang di sekitarnya menyukai dia. Si pemuda manis nan tampan, pemilik mulut irit bicara.
“Nanti ada jadwal futsal, sparing sama anak kampus lain. Kamu ikut nggak?”
Melirik. Kini lensa mata cokelat Jeff melihat wajah Manda. Mengatur pandangan supaya tidak terkesan terkesima pada tawaran pemuda satu itu. Kemudian menggeleng, Jeff terus menolak ajakan Manda dua hari ini.
“Kenapa?”
“Mau bersihin taman belakang.”
“Kan ada ART. Kenapa harus kamu yang ngerjain?”
“Cuma iseng, sekalian olahraga.” Bibir Jeff mencuat keluar, membentuk sudut seperti sedang mengejek.
Kembali siang seperti sebelum-sebelumnya, Jeff dirundung pada pertanyaan yang sama. Kenapa dirinya sangat penasaran pada gadis kecil yang menuntun tongkat di tangannya. Kenapa Jeff sangat tertarik mengikutinya, tertarik ingin tahu segala hal tentang dia. Baiklah, satu hal yang ingin Jeff akui dalam hidupnya. Ini bukan tentang perasaan atau tentang cinta pada anak kecil, melainkan sebuah takdir. Apapun itu, sepertinya takdir memang ingin mempertemukan mereka.
Jeff berpikir kalau dia akan tertarik dengan kehidupan luar biasa gadis buta yang dia lihat itu. Namun sekarang, rasa penasaran malah mencuat tertuju pada gadis berkerudung cokelat kemarin. Dua saudari yang tinggal di rumah sederhana minimalis, tanpa AC, kipas angin, atau perkakas mahal seperti di dalam rumahnya. Malah berbilang sangat sederhana perkakas di rumah Tiur.
Dua-tiga kali Jeff menegur pagar, membuat suara dengkingan di sana. Dia berdiri pas di depan pagar kecil rumah di dalam gang sempit Tiur. Satu detik belum ada tanda orang akan keluar dari dalamnya, tapi detik berikutnya dia muncul. Gadis kecil itu yang menyambut kedatangan Jeff.
“Ada yang bisa saya bantu? Kakak siapa?”
Jeff tersenyum sumbang, terlalu berdosa kalau berbohong tentang siapa dirinya. “Aku Jeff.”
Satu detik kemudian, gadis kecil itu tertawa bahagia, “Alhamdulillah, kak Jeff datang. Ayo masuk, Tyas udah nungguin kak Jeff dari tadi. Kirain nggak datang.”
Seolah menunggu adalah hal paling dia benci, kini wajahnya makin berseri. Jeff ikut tersenyum memperhatikan wajah riang yang telah masuk ke dalam.