Try new experience
with our app

INSTALL

Di Penghujung Senja 

01 — Gadis Tunanetra

Sudah jadi pemandangan biasa ketika matanya melihat banyak pengemis jalanan meminta-minta uang kepada pengendara yang hilir mudik. Kendaraan roda dua dan roda empat yang berhenti di persimpangan jalan lampu merah pusat kota, tak luput dari perhatian, kalau mereka target meminta anak-anak pengemis seusia enam tahun hingga sepuluh tahunan ke atas.


 

Pakaian lusuh, memegang bungkus plastik bekas chiki yang dibeli dari supermarket (mungkin menemukannya di tong sampah ketika mengais makanan).  Menentengnya. Plastik kunyel dan lecek, tengadah di udara, tertuju ke kaca gelap mobil-mobil mewah yang berjejer di lampu merah kota, berharap terbuka, memberikan sedikit uangnya. Satu-dua anak-anak lusuh berkata belum makan beberapa hari, berharap akan ada yang berempati.


 

Ada juga penyanyi cilik membawa gitar ukulele, menyanyikan lagu entah apa. Senandung yang tidak jelas syairnya. Berteriak beranjangsana, menambah bisingnya kota kami di tengah cuaca terik. Beberapa pengendara memasang wajah sebal. Pusing dibuat para pengemis jalanan.


 

Detik selanjutnya, lampu jalan berubah menjadi hijau, kendaraan melanjutkan lalu lalang mereka. Jalan kota tengah ramai, beberapa anak jalanan memasang raut wajah muram durga nan kecewa. Beberapa di antaranya terlihat mendesah pasrah, sebab musabab tidak mendapatkan uang untuk makan.


 

Beberapa di antara anak-anak pengemis jalanan kota, selain berpakaian lusuh, kotor yang mana putih berubah jadi hitam dekil, ada wanita yang menggendong anaknya menggunakan samben—kain jurig yang diikat di punggung. Membawa balitanya yang menangis di tengah hari kota panas nan terik. Jelas saja dia wanita peminta uang, meskipun ramah tapi sedikit mengganggu pemandangan indah sebuah kota modern. Meminta-minta dengan dalih anaknya belum makan, ini pengganggu utama jalan kota sekitaran BSD city, Tangerang Selatan.


 

Dekat kantor Telkom, di sana pusatnya mangkal para pengemis lusuh. Bau, tentu saja mereka bau. Mereka kan tidak pernah mandi, untung-untung saja bisa menemukan air untuk cuci muka. Dua-tiga terlihat berkumpul di halte kecil pas sekali ketika turun dari JPO kantor Telkom menuju seberang jalan. Mereka menghitung uang hasil mengemis mereka, saling pamer ke kawan seperjuangan. Ini hasilku hari ini. Kalian?


 

Pertanyaan yang sering muncul dalam benak Jeffrey Adhiyaksa, kenapa pemerintah kota tidak bertindak? Bukankah pengemis dan anak jalanan tanggung jawab pemerintah?


 

Sebenarnya sudah sering kali Jeffrey melihat anak-anak itu dan beberapa wanita tua pengemis yang membawa anak, dirazia Satpol-PP. Cuma, entah kenapa mereka tetap kembali mengemis walau tahu mereka bakalan dijaring razia lagi. Seolah nyali mereka sangat besar, mereka tidak takut jika berurusan dengan aparat penegak keindahan kota.


 

Baiklah, Jeffrey tidak akan peduli apapun tentang latar belakang mereka. Baginya ini tidak penting.  Dia bukan aparatur pemerintahan yang harus sibuk-sibuk mengurusi semua anak jalanan ini. Buat apa coba sibuk mengurusi mereka, apa ada faedahnya buat pemuda berusia dua puluh tahun itu? Pemuda yang sekarang kuliah jurusan bisnis di Universitas Tarumanagara (Untar), yang jaraknya beberapa kilo meter dari kota Tangsel menuju ke Jakbar. Katanya sih anak muda suka menyingkat nama kota, alhasil penyebutannya pun jadi agak kekinian. Biar apa coba? Ya biar trendi begitu.


 

Sekarang mata Jeffrey kembali menangkap moment itu. Setelah dua hari tidak berpapasan, siang ini Jeffrey melihatnya lagi, berdiri di ..., ah rupanya dia sudah pindah tempat. Kemarin-kemarin anak kecil, kira-kira berusia 6-7 tahun ini berdiri tepat di trotoar pinggir jalan dekat lampu merah, posisinya pas sekali di seberang Pusat perbelanjaan di BSD, yang berdekatan dengan kantor Telkom area Tangsel.


 

Namun kali ini, si gadis kecil itu berdiri tepat di depan anak tangga JPO. Dia berdiri di halte, bersamaan dengan penunggu bus dan anak-anak jalanan yang sedang bercengkrama. Tumben sekali dia ada di sana? Biasanya dia rela panas-panasan memperhatikan wajah jalanan yang ramai.


 

Tapi tunggu dulu, Jeffrey baru sadar kalau anak itu buta. Ya, buta. Dia memegang tongkat besi ringan yang mudah dilipat (white cane), terus memegang kantong plastik hitam di tangan kirinya, pandangnya lagi-lagi kosong menatap ke depan.


 

“Hei.” Suara lirih Jeffrey nyaris hilang terbawa angin, jika saja gadis buta di depannya tidak cepat mendengar suara khas pemuda itu. Ini berkah Tuhan, gadis kecil itu memiliki indera pendengaran yang cukup kuat, setajam pendengaran hewan berbelalai atau nokturnal.  Tangan Jeffrey terulur, hendak menyentuh pundaknya, tapi berhenti begitu si gadis kecil menoleh ke arah pemuda manis ini.


 

“Kakak bicara padaku?”


 

Jeffrey canggung. Menggaruk lehernya yang tidak gatal. Oh, dia tahu ini aneh, masa dia merindukan sosok wanita kecil buta ini setelah berhari-hari tidak melihatnya lagi berdiri di lampu merah? Tapi dia bukan pengemis, Jeffrey tidak pernah melihat dia mengulurkan tangan ke para pengguna jalan. Lagian, mana mungkin dia meminta uang, kalau matanya saja tak melihat? Memangnya dia bisa meminta uang kepada orang lain, sementara langkahnya saja bertalu-talu sering tersandung oleh batu atau hidran umum yang sering dia lalui.


 

“Ah, tidak.” Jeffrey menjawab gugup, “Hanya ..., kukira kamu ingin naik bus?”


 

Anak kecil itu menggeleng, “Aku ingin menyeberang.”


 

“Mau ke mana?”


 

“Jalan Lengkong Wetan.”


 

Jeffrey mengerutkan keningnya, tiga garis tergambar jelas di dahi mulus tanpa noda. “Bukannya jalan itu ada di seberang jalan sana?”


 

Gadis kecil mengangguk mantap, “Iya.”


 

“Memangnya kamu dari mana?” Rasa penasaran membawa Jeffrey melontarkan pertanyaan yang agak aneh. Untuk apa coba dia bertanya begitu pada anak yang tidak dia kenal, walau berbulan-bulan dia sudah melihatnya berdiri di sekitaran sini. Kadang dari atas JPO Jeffrey melihatnya, kadang dari trotoar jalan yang hendak dia lalui, atau sekilas berpapasan dengan gadis kecil ini di lampu merah sana, begitu Jeffrey jalan kaki sebentar menuju ke arah lapangan Sunbrust, BSD.


 

“Dari apotek, beli obat kakak.” Gadis kecil menjawab, sambil memamerkan kantong plastik hitam pada pemuda berambut hitam pekat di sisi kirinya.


 

Kakak? Lagi-lagi kening Jefrey berkerut keheranan. Mulutnya terlintas lagi untuk bertanya, “Kamu punya kakak?”


 

“Di rumah, kakak sedang terbaring di kasurnya.”


 

•••••


 

Berbulan-bulan lalu, Jeffrey melihat gadis kecil itu masih diposisinya. Berdiri di bawah terik, sekali dua kali pemuda ini melihat. Kadang kala juga tidak melihatnya lagi, karena jadwal kuliah yang padat, Jeffrey pulang malam. Tapi tidak absen, karena Jeffrey sebulan merasakan empat-lima kali melihatnya. Berdiri tenang, seolah merasakan kedamaian dari bisingnya kota modern di Serpong.


 

Lagi-lagi dia berdiri di bawah hantaran panas sang Surya. Bau rambutnya terasa seperti bau terbakar, kulitnya ajaib, tetap putih walau berdiri panas cukup lama.


 

Tiga hari lalu Jeffrey menggambarkan sosok gadis kecil itu di atas buku bergambarnya. Dia tahu kalau dia kuliah di jurusan bisnis, tapi menggambar adalah hobi. Beberapa teman sekelasnya melirik hasil mahakarya Jeffrey, dia ahli dalam melukis. Wajah digambar sama persis, seperti gambar itu adalah nyata.


 

“Gambar siapa sih, Jeff?”


 

Jeffrey masih fokus menggambar, menggurat pensil 2B-nya di atas sket. Drawing book putih polos sudah sepenuhnya terisi oleh wajah sang imajinasi.  Siang masih menyingsing, dosen belum masuk, suasana kelas sedikit sepi. Satu-dua sibuk pada urusan masing-masing, Jeffrey demikian, mencoba abai akan kehadiran Manda—teman sejak SMA-nya. Atau tidak peduli ke mana Toga, sahabat yang duduk di kursi tunggal sebelahnya. Sejak tadi pemuda Batak itu menghilang, bahkan nyaris rupanya tidak akan tampil lagi di kelas ini.


 

“Ada tawaran, mau jadi penyanyi di Kafe SCBD?” Tahu kalau dia diabaikan, Manda mengalihkan pembicaraan.


 

Mata Jeffrey melirik sekilas, kemudian malah kembali fokus pada guratan pensilnya. “Berapa bayarannya?”


 

“Dua ratus sekali manggung. Jadwal jam enam sampai jam sembilan malam.”


 

Jeffrey mengembuskan napasnya, meninggalkan pensilnya perlahan di atas buku bergambar. Dia berhenti sejenak untuk sibuk dengan urusan sendiri. “Bisa naik gak?”


 

“Kamu mintanya berapa?”


 

“Satu setengah sekali manggung.”


 

Manda menyentak meja, matanya menunjukkan kontra yang tak adil. Ini pemerasan namanya. Masa temannya ini memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan? Kan, ini seperti menyusahkan orang lain. Sudah ada dalilnya, menyusahkan orang lain, maka Allah akan menyusahkan orang itu pula.


 

Karena negosiasi dengan Manda tidak menguntungkan, Jeffrey memilih meninggalkan kelas. Toh dosen bilang tidak masuk, katanya sedang berduka tiba-tiba. Istrinya meninggal karena penyakit maag kronis yang diderita di rumah sakit pusat kota.


 

Ini merdeka untuk mahasiswa. Jeffry demikian, tidak perlu misuh-misuh kalau ada pelajaran dosen satu ini. Jeffrey pulang, naik angkot antar kota. Berhenti di JPO, jaraknya 200 meter dari lampu merah Telkom. Di sinilah Jeffrey berada, di atas jembatan penyebrangan, memperhatikan dunia dalam bingkai kota modern  yang sibuk.


 

Sibuk karena keramaian, kebisingan knalpot racing kendaraan bermotor, suara klakson mobil di mana-mana, juga sirine ambulance minta lewat ke pengendara lain, ditambah angkot satu-dua ngetem di halte bus.


 

Mencoba mengalihkan dunianya karena tidak bertemu dengan gadis kecil itu, Jeffrey malah dibuat diam saat kembali menemukan seberkas memorinya yang hilang. Gadis itu ada, dia datang, dia berdiri di sana, dia sedang menunggu matahari redup. Berbeda, kali ini dia tidak di tempat favoritnya, melainkan di tempat barunya. Di halte kecil yang dingin, teduh dari matahari dan cuaca masih terang benderang, waktu menunjukkan pukul satu siang lebih beberapa menit.


 

Berbincang singkat, membawa Jeffrey berakhir sedikit akrab dengan gadis kecil yang berjalan sejajar dengannya. Dia bercerita banyak tentang kakaknya, tentang kehidupannya, tentang segala hal yang dia inginkan pada orang baru.


 

Orang baru? Ya, Jeffrey orang baru itu. Kadang dia ingin terkekeh mengingat beberapa menit yang lalu mereka mulai akrab. Jeffrey sebenarnya tidak terbiasa berjalan lambat, tapi pengecualian untuk Tyas, dia buta, harus dibantu tongkat agar jalannya lancar. Jika tidak, dia akan menabrak sesuatu yang tidak diketahui. Seperti sepekan lalu, dia bercerita kalau dirinya sempat menabrak pohon di pinggir jalan kota. Atau nyaris diserempet motor, karena kurang berhati-hati saat meniti haluan.


 

Trotoar dan jalan yang panjang, membawa Jeffrey tiba di sebuah gang kecil sedikit sempit. Berhenti di salah satu rumah kecil, di sana berjejer banyak tanaman hias menggantung di halaman rumah.


 

“Kak Jeff, ini rumah Tyas, ayo masuk.”


 

Diam sejenak, Jeffrey mencoba memahami kehidupan gadis yang membuat penasaran. Sampai pada akhirnya suara lembut itu membuyarkan lamunannya sekilas.