Contents
Awan Jingga
CHAPTER 3
Aku terbangun. Hal pertama yang Aku sadari bahwa ini bukanlah kamarku. Kemudian ingatan akan kejadian tadi malam menghampiriku. Sungguh tolol pikirku. Apa yang ada diotakmu Jingga. Memasuki hutan seperti itu, bertemu Serigala dan menyentuhnya. Kalau Ibuku sampai tau. Aku menggeleng tidak percaya akan kebodohanku. Aku memperhatikan kamar itu. Pemiliknya seakan memastikan tidak ada warna lain selain hitam, abu-abu atau putih didalam kamarnya. Apakah Aku mengenal tempat ini, tampak tidak asing.
Aku turun dari tempat tidur dan menghampiri pintu. Aku menarik nafas sebelum membukanya. Kamar ini berada dilantai dua, jadi aku menuruni tangga menuju ketempat suara yang kudengar dilantai satu. Aku mengikuti suara tersebut dan sampai didapur. Seorang pria tengah membelakangiku dan tengah memasak sesuatu. Gesture tubuhnya terlalu kaku dan tegang, seakan dia tau Aku berada dibelakangnya.
Aku berdehem. “Hello?”
Berlahan pria itu berbalik dan menatapku. Dia adalah Awan. Jantungku berdetak kencang. Panik. Awan mengerutkan keningnya seperti khawatir dan memandang dadaku sejenak, seakan mendengar bahwa jantungku akan melompat keluar.
“ Jingga, tarik nafas” Awan berkata.
Tanpa sadar aku melakukan apa yang dia katakan. Beberapa saat kemudian Aku baru sadar Awan memanggil namaku.
“dari mana kamu tau nama saya, kamu kenal saya?” kataku
Awan memperhatikanku sebentar dan berbalik, dia kembali menyiapkan makanan. “beberapa tahun lalu kita pernah betemu” jelas Awan, seakan itu menjelaskan
segalanya. Awan lalu meletakkan roti panggang dengan telur orak-arik di piring lalu menyerahkannya didepanku. Awan menatapku, Aku memandang mata Awan yang cemerlang. Awan duduk di salah satu kursi meja makan.
“Sarapan.” Kata Awan lagi. Aku menatap sarapan itu dengan bingung. Aku kira Awan membenciku.
Aku duduk disebarang Awan. Awal meletakkan tangannya di maja dan satunya mengusap rambutnya, Aku mendapat dorongan ganjil untuk menyentuh rambutnya. Aku mengapalkan tanganku menahan diri.
“ Aku tidak ingat kita pernah bertemu” kataku
“ tidak ada yang special, ini kota kecil, setiap orang mengenal semua orang” Awan berkata santai tapi Aku bisa melihat dia mengucapkannya dengan hati-hati. Aku tidak ingin merongrong Awan dengan pertanyaanku tentang apa yang dia sembunyikan. Makanya Aku bertanya yang sudah jelas saja.
“Bagaimana aku sampai disini?”
“Aku menemukanmu pingsan dihutan”
Ahh ya, Serigala itu. Aku pingsan tepat ketika mereka saling menyerang. Aku
kembali mengingat kenapa Aku sampai pingsan. Potongan-potongan ingatan. Gambaran diriku yang sekarat ditengah hutan. Apa maksudnya itu, kapan, apakah itu hanya imajinasi ku yang terlalu kuat.
“Apa yang kau lakukan di hutan?” tanya Awan
Aku menatap Awan, entah karena Aku tidak ingin berbohong padanya atau karena Aku hanya ingin melihat reaksinya.
“Aku melihat Serigala di Hutan”
“Tidak ada serigala yang pernah menginjakkan kaki di Negara ini”
“masa? Aku bertemu dua tadi malam”
“ Di Hutan ini, masih terdapat beberapa singa gunung, mungkin kau melihat beberapa
dari mereka” kata Awan menjelaskan. “ Kau bisa bertanya pada beberapa penduduk, mereka akan membenarkan” kata Awan lagi.
Perkataan Awan seakan sudah disiapkannya, seakan dia tau aku akan mengatakan hal ini, tidak ada terkejutan, hanya kehati-hatiannya dalam berkata-kata. Ini membuatku semakin ingin memberontak.
“Mungkin” Aku mengangguk. Aku tau bahwa Awan tau kalau Aku tidak percaya, karena Awan terlihat kesal.
“ Kau sebaiknya pulang, kota ini bukan tempatmu” kali ini suara Awan datar. Oke, itu kasar. memangnya dia pikir dia siapa.
“ Aku akan pulang ketika Aku ingin pulang.” Aku berkeras
“ Apa yang kamu cari, tidak ada disini”
“ Kamu tidak tau apa yang saya cari”
Awan tertawa menyebalkan “ Tidak sulit untuk ditebak, life crisis seperti orang lainnya, merasa ada yang hilang, merasa hampa dan kemudian seakan butuh menemukan sesuatu, iya kan”
Aku seakan merasa ditampar, Pria ini menyebalkan. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir dia adalah apa yang Aku cari.
“ Apa sih masalah mu? Kenapa kamu membenci saya”
Sejenak Awan tampak keget dengan perkataanku. Kemudian dia mengendalikan ekpresinya.
“ Pulanglah Jingga, Jangan pernah datang lagi kesini”
Entah mengapa hatiku sakit mendengarnya. Aku bangkit dan memandang Awan. “Terimakasih karena telah menolong saya di Hutan”
Aku berbalik dan berjalan pergi dengan marah.
“Jingga” Panggil Awan pelan.
Aku berbalik, kali ini Awan memandangku sedih. Seakan letih, patah hati bahkan, Aku benci melihatnya, ekpresi itu membuatku ingin memeluknya.
“ Jaga dirimu, Aku mohon” Awan berkata lembut.
Aku mengangguk singkat lalu bergegas pergi. Tuhan Aku membencinya. Kenapa Pria yang tidak ku kenal itu begitu saja dapat mempengaruhiku. Aku memegang dadaku. Kali ini rasa sakitnya tidak mau pergi.
Sesampainya di Motel aku buru-buru membereskan barang-barangku dengan marah. Tapi kenapa Aku harus pergi, hanya karena Awan menyuruhku. Kesal, kukeluarkan lagi barang-barangku. Aku tidak akan menyerah.
Seseorang mengetuk pintuku. Aku bertanya-tanya siapakah itu. Aku membuka pintu dan berhadapan dengan seorang Pria yang tidak ku kenal. Pria itu tersenyum kepadaku, senyuman yang membuat bulu kudukku merinding. Bahaya. Otakku berteriak. Belum sempat merespons semuanya. Pria itu menerjangku, dan hal terakhir yang ku ingat adalah Aku memanggil nama Awan.