Contents
Beri Sedikit Cinta untukku Ibu
Chapter 5
Aku hanya bisa menangis, tidak bisa membuktikan keburukan Ayah untuk yang kedua kalinya. Seharusnya ibu lebih peka. Bukan malah lebih percaya dan sayang pada laki-lakinya. Hingga tidak memperdulikan hati anak gadisnya. Sejak kejadian tersebut, aku memutuskan pindah rumah sebelah. Tinggal bersama Om. Adik kandung Ayah tiriku. Saat itu dia masih mahasiswa dan belum menikah. Mau ikut Bapak kandung juga tidak mungkin karena sudah menikah lagi. Sepertinya Bapak juga sama nggak ada sedikitpun rasa sayangnya padaku. Bagai anak terbuang saja.
Di sana aku lebih nyaman. Tanpa harus was-was gangguan lelaki yang ibu agungkan tersebut. Mata ibuku telah buta. Hanya karena lelaki muda yang dia nikahi itu. Orang yang membuat ibu berbunga-bunga hatinya walau yang sebenarnya bejat kelakuannya. Aku tinggal bersama Om sampai lulus SMA. Aman tanpa Ayah.
Terlintas jelas di ingatan. Saat masih SMP, dengan tanpa malu, dia membawa wanita pulang kerumah. Dengan alasan teman kemalaman, dia tawarkan menginap di rumah kami. Wanita itu tidur di kamarku. Tidak di sangka, tengah malam Ayah masuk kamar dan bercinta persis di sebelahku bersama wanita tersebut.
Air mata ini sontak meleleh. Ibu kandung telah di khianati. Adegan tidak senonoh itu terus terlintas hingga kini. Aku hanya terdiam membisu melihatnya. Gemetar tak karuan. Walau gelap, tapi gerakan mereka sudah terekam jelas. Paginya aku mengadu pada ibu. Wanita jalang itu masih di rumah.
“Bu, Tante itu tadi malam tidur sama Ayah. Di sebelahku mereka tanpa malu berbuat zina.”
“Kamu ngomong apa, Nira? Jangan fitnah Ayahmu terus. Atau jangan-jangan selama ini kamu suka Ayah tirimu?”
Tiba-tiba Ayah di belakang kami.
“Nah, benar itu, Bu. Mana mungkin aku mengkhianatimu istriku,” ucapan Ayah membuatku muak.
“Benar itu, Mbak. Padahal aku tadi malam tidur di lantai karena tidak di ijinkan Nira di atas,” wanita jalang itu menimpali.
Wajahku merah menahan amarah. Seketika aku usir wanita tersebut.
“Wanita jalang, pergi dari rumahku!” ucapku keras.
“Kamu yang sopan sama tamu, Nira!” Ayah gantian membentakku.
“Jangan pergi, Wati. Memang anak ini selalu membenciku. Makanya dia fitnah,” ayah membelanya.
Aku hanya bisa menangis dan merasa jijik pada mereka. Sungguh tak kusangka.
“Kamu sudah pandai berbohong, Nira! Sekali lagi kamu fitnah, aku akan mengusirmu!”