Try new experience
with our app

INSTALL

Awan Jingga 

CHAPTER 1

         Aku memandangi hutan yang berada dikiri dan kananku, sudah lama Aku tidak melihat begitu banyaknya pepohonan, setiap melihat hutan entah kenapa Aku merasakan nostalgia dan merindukan sesuatu, Aku tidak mengerti kenapa, padahal Aku tidak pernah memasuki hutan manapun. Aku mempercepat laju mobil sewaanku, Aku ingin sampai di Motel sebelum matahari tenggelam.

          Gapura selamat datang mulai terlihat, Aku menoleh untuk membacanya. “SELAMAT DATANG DI KOTA LIKAN” Aku mendadak memberhentikan mobil dan memegangi dadaku. Jantungku berdebar tidak karuan dan Aku kesulitan bernafas, perasaan apa ini. Hatiku terasa ada yang meremukkan. Kenapa Aku merasa seperti patah hati yang parah. Aku tidak pernah patah hati. Bahkan tidak sesakit ini ketika orangtuaku bercerai. Aku mendangi diriku di kaca spion, tampangku kacau dan Aku tidak sadar kalau Aku menangis. Aku mencoba mengendalikan diri dan berlahan mengatur nafas. Aku teringat kejadian seminggu lalu, alasan kenapa Aku mendatangi Kota ini.

          Aku tinggal bersama Ibuku, Rahmi. Ayahku dan Ibu telah berpisah saat Aku masih di SMA. Hubungan keduanya cukup baik jika Aku bandingkan dengan pasangan bercerai pada umumnya. Walaupun Ayah tidak tinggal bersamaku, tapi dia tetap masih memperhatikanku dan sering datang berkunjung atau ketika Aku sedang libur semester Aku akan tinggal bersama Ayah untuk beberapa waktu. Seminggu bersama Ayah, Tante Dinar mengunjungi

kami, Aku sudah lama tidak melihatnya, Tante Dinar bisa dibilang berjiwa bebas, dia sering mengunjungi banyak tempat dan bahkan tinggal diberbagai Kota yang manarik perhatiannya. Setelah bertukar kabar, Ayah meninggalkanku berdua dengan Tante Dinar.

“ Kamu sekarang sudah menjadi wanita dewasa Jingga, Tante merasa tua” Tante Dinar mendesah.

“Tante merasa seperti itu karena sudah lama tidak melihatku” jelasku

“ Memang, terakhir Tante bertemu denganmu ketika kamu masih SMA, empat tahun lalu, Ayahmu menitipkanmu pada Tante, karena ia dan Ibumu baru saja bercerai dan butuh waktu” Tante Dinar menatap kopi yang ada dimeja. Aku tau dia memikirkan perceraian Ayah dan Ibu. Tante Dinar salah satu yang menentang perceraian itu karena dia berpendapat itu akan menyakitiku. Aku diam saja, sekarang lebih baik, Aku rasa Ayah dan Ibu lebih bahagia.

“Mengingat itu, Tante jadi merindukan Kota Likan. Tante tidak pernah lagi menemukan Kota seperti itu. Likan benar-benar special. Bagaimana denganmu?”

Aku terdiam. Likan. Bagaimana mungkin Aku bisa melupakan Kota itu. Empat tahun lalu, Aku tinggal di Kota Likan bersama Tante Dinar hampir setengah tahun. Tapi ingatanku akan Kota itu begitu samar. Aku ingat rasa sedih karena perceraian orangtuaku. Tapi rasanya ada hal lain yang ku lupakan. Hal penting yang meninggalkan lubang di dadaku.

“Aku tidak begitu ingat” Kataku Jujur.

“ Tentu saja, Tante lupa kecelakaan mengerikan yang kau alami saat itu, kata dokter, karena shock, kau kehilangan beberapa memori”

          Aku mengangguk. Aku tau tentang kecelakaan itu, Ayah dan Ibu sudah menjelaskannya. Sebuah mobil menabrakku dan membuatku koma selama dua minggu. Begitu Aku sadar, Aku sudah berada di Kota asalku. Aku tidak begitu ingat tentang hidupku di Kota Likan. Kata Ibu itu bukan masalah besar, toh cuma beberapa bulan, Aku mempercayainya, siapa yang mau mengingat-ingat masa-masa terburuk dalam perceraian orangtuanya. Aku bahkan sedetikpun tidak menduga, bahwa betapa salahnya Aku saat itu.

         Malam itu, Aku memandangi luka disisi kiri perutku. Luka yang ditinggalkan oleh kecelakaan itu. Setiap aku memandangi luka itu, anehnya Aku merasa sedih, seakan ini sebuah pengingat akan yang membuatku merindukan sesuatu, atau seseorang. Aku merapa luka itu, tiga garis seperti cakar, aneh sekali, luka ini ku dapat karena kecelakaan mobil, kalau Aku tidak tau, Aku akan mengira ini adalah cakar seekor binatang buas, harimau mungkin, atau serigala, Aku tertawa, tidak ada serigala yang pernah tampak di Negara ini.

Aku bermimpi tentang serigala malam itu. Kelompok Serigala.
Sejak malam itu, mimpi-mimpi yang berkaitan dengan Serigala mendatangiku. Selalu  dengan kelompok Serigala yang sama. Ada tujuh diantara mereka. yang paling besar, dengan bulu hitam segelap malam, adalah sang Alpha. Pemimpin dari kelompok Serigala itu. Aku mendapati diriku mendambakan untuk menyentuhnya. Membenamkan tanganku dibulunya dan menyandarkan wajahku di lehernya. Aku terbangun dengan airmata, seakan sesuatu direnggut dariku. Mimpi-mimpi ini semakin membuatku gila. Aku harus pergi ke Likan. Aku tau ada sesuatu disana. Sebuah jawaban yang pertanyaannya bahkan Aku tidak ketahui. Tapi Aku yakin, Aku harus ke Kota itu.

Aku kembali memandangi Gapura Selamat Datang tersebut. Setelah mengatur nafasku, Aku memantapkan hati dan kembali menjalankan mobilku.

       Aku sampai di Motel tepat setelah matahari tenggelam. Bulan mulai terlihat. Aku memperhatikan bahwa tidak lama lagi akan bulan purnama. Setelah check-in dan masuk ke kamarku. Aku menyadari bahwa jendelaku menghadap ke hutan, Ada pikiran aneh terlindas dibenakku. Bagaimana kalau Aku memasuki Hutan. Aku menggeleng, menepik pikiran bodoh itu. Aku menutup tirai jendela dan merebahkan tubuhku.

Tentu saja Aku bermimpi tentang Serigala. Malam ini Sang Alpha melolong pada Bulan. Entah mengapa Aku merasa lolongannya terasa menyedihkan dan menusuk hatiku.

Aku kembali ingin memeluknya. Aku terbangun sambil menangis, kali ini Aku hampir yakin bahwa lolongan itu bukan berasal dari mimpi tapi dari Hutan diluar kamarku. Aku berguling dan menyakinkan diri bahwa tidak ada Serigala yang pernah tinggal di Negara ini.

Pagi harinya Aku memutuskan untuk berkeliling Kota. Tidak banyak yang bisa dilihat, Kota Likan adalah kota kecil yang dikelilingi Hutan. Aku cukup beruntung menemukan coffee shop di kota ini. Aku tidak akan bisa memulai hari tanpa kopi.

Aku memarkirkan mobilku dan berjalan masuk. Aku melihat papan menu sebentar dan seorang Barista tersenyum padaku.

“Café latte satu” kataku.
“ice atau hot”
“Hot”
         Aku membayar kopi ku. Si Barista mulai membuatkan kopi sementara Aku menunggu. Aku memperhatikan hanya ada satu pelanggan di dalam toko itu. Pintu toko terbuka, Aku menoleh tepat ketika segerombol orang memasuki Toko. Mereka masuk dengan berisik. Empat orang pria dan dua orang wanita. Mereka mulai duduk di sudut ruangan, dugaanku itu adalah tempat mereka biasa duduk. Tidak satupun menyadari bahwa Aku memandangi mereka. Keenamnya tampak masuk membicarakan entah apa yang mereka mulai ketika sebelum sampai disini.

“ Aku mengerti alasan Awan untuk menyerang duluan, tapi tanpa persiapan yang matang, ini tidak akan berhasil” Kata salah satu wanita yang berambut pendek.

“ Mereka sudah mengitari teritori kita dua minggu ini Sandra, itu lebih dari cukup untuk menyatakan perang. “ Jawab Pria didepannya. Perempuan yang dipanggil Sandra mendesah

“ Aku hanya minta agar Awan tidak gegabah, Toby”

“ Awan mengerti apa yang dia lakukan Sandra, setelah apa yang Tama lakukan, seharusnya kau paham” Jawab pria yang lainnya. Aku perhatikan Sandra terdiam. Apapun yang dia pikirkan, wanita itu tampak sedih.

“ Dimana Awan?” Tanya wanita yang duduk disebelah Sandra.

“ Sebentar lagi dia sampai” Jawab Pria yang dipanggil Toby. Toby lalu memandang pintu, seakan menantikan seseorang. Saat itulah matanya tertuju padaku. Aku terkejut dengan reaksinya. Toby tampak kaget, bingung, penasaran, cemas dan memandangiku seakan Aku baru bangkit dari kubur. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu pintu Toko kembali terbuka dan pandanganku sekali lagi teralihkan. Seorang Pria memasuki ruangan, awalnya matanya tertuju pada gerombolan itu dan Aku bisa melihat dia mulai berjalan menuju mereka. Tetapi langkahnya berhenti mendadak, Aku bisa melihat dia menghirup udara dan sekujur tubuhnya menegang. Pria ini berbalik dan menoleh kepadaku. Kini semua perhatianku sepenuhnya teralih kepadanya. Dia tinggi, kulitnya coklat dan teramat sangat tampan. Tapi bukan itu yang membuatku seakan kehabisan udara. Entah kenapa hatiku sakit melihatnya, seakan ada tangan tak kasat mata yang mencengkram jantungku. Aku bahkan tidak mengenalnya. Pria itu masih menatapku kaku. Sedetik Aku kira dia akan menghampiriku. Tapi kemudian dia mengepalkan kedua tangannya, wajahnya mengeras dan menatapku dengan kebencian penuh. Aku shock dengan ekpresi itu. Pria ini lalu membalikkan tubuhnya dan pergi keluar Toko dengan buru-buru.

“Awan!” Teriak salah satu dari gerombolan itu.
Teman-temannya, Aku berasumsi mereka teman-temannya, memandangiku dengan

tatapan shock dan tidak percaya yang sama dengan pria tadi.
Salah satu dari mereka mengumpat. Bukan padaku tapi lebih kepada reaksi ketidak

percayaannya. Mendadak aku merasa mual. Aku mengalihkan pandangan pada Barista yang menyiapkan kopiku. Setelah kopiku selesai dibuat. Aku buru-buru pergi dari situ tampa menoleh sedikitpun pada mereka. Aku mengendarai mobilku menuju Motel, Aku tidak sadar

tanganku gemetaran. Siapa mereka? Pria itu, Awan. Kenapa dia melihatku seperti itu. apakah dia membenciku, kenapa. Berjuta pertanyaan hadir dalam benakku. Tapi satu hal yang jelas. Mereka mengenaliku.