Try new experience
with our app

INSTALL

Petualangan Menangkap Capung 

Petualangan yang sesungguhnya

             Pagi-pagi sekali kami sudah berkumpul di bawah pohon kehidupan. Setiap anak membawa semua pelengkapan yang dibutuhkan. Mulai dari tali, senter, jaring-jaring untuk menangkap capung, topi, makanan, pisau kecil, tongkat bahkan Dio lebih gila lagi dia membawa panci dan kompor portable! yang aku sendiri tidak tau apa fungsinya, karena untuk mencapai danau di balik bukit kami tidak harus menginap dan perjalanan bisa ditempuh dengan waktu setengah hari perjalanan. Kami memulai perjalanan dengan do’a, aku meyakinkan kawan-kawanku bahwa ini semua demi Mada demi kesembuhannya dan demi memperbaiki nama baiknya dari tukang ngompol menjadi orang yang tidak pernah sama sekali mengompol!

            Perjalanan dimulai kami menyusuri barisan pohon teh. Sampai di ujung pohon teh kami memasuki jalan setapak yang gelap dan penuh semak belukar. “Ini yakin kita mau masuk?” Mada berucap dan kakinya sudah gemetaran.  Belum aku jawab Mada tiba-tiba berteriak dan lari ke arah kebun teh tempat awal kami berangkat.  Terpaksa aku dan Sukari mengejarnya.

“Aku nggak mau, aku takut. Jangan-jangan nanti aku dimakan harimau. Huaaa..” Mada menjerit sejadinya.

“Tenang dulu, aku dan Sukari akan selalu menjagamu. Tenang saja. Kita sudah setengah jalan nggak mungkin mundur dan lagi, kau harus sembuh dari penyakitmu itu.”Aku dan Sukari mencoba meyakinkan.

            Setelah cukup alot untuk meyakinkannya akhirnya Mada mau dengan syarat  dia harus berjalan di tengah. Karena dia tidak mau dimakan harimau dari depan maupun dari belakang. Aku dan Sukari mengiyakan, lalu kami mulai berjalan lagi. Dari kejauhan kami melihat sebuah bangunan rumah, tempat yang disebut oleh Markum untuk kami hindari.Kami berhenti sejenak Mada dan Dio meminta untuk melewati jalan kanan, seperti permintaan Markum.  Dengan berat akhirnya aku mengiyakan, sebenarnya melewati jalur kanan itu akan lebih lama sampai ke bukit karena akan memutar dan jaraknya jadi lebih jauh. Namun aku akhirnya mengikuti saran Dio dan Mada, toh ini adalah petualangan tidak harus terburu-buru pikirku. Dio memimpin perjalanan sekarang. Langit sudah mulai tertutupi kabut, kami mempercepat langkah tiba-tiba dari depan Dio teriak “Aaaaaaaa” seekor ular besar tepat di depan kami. Mada dan Dio sontak berlari ke arah samping, hanya Aku dan Sukari yang masih bediri ketakutan. Aku melirik ke Sukari memberi aba-aba untuk mengeluarkan korek dan mebakar beberapa kain yang kami sudah persiapkan. Kami ikatkan kain itu di kayu yang kutemukan tepat di kakiku. Aku kibas-kibaskan kain api itu untuk mengusir ular. Setelah beberapa kali kibasan ular itu berhasil menghilang.  Tak cuma ular, Mada dan Dio pun menghilang. Aku dan Sukari berpencar dan berjanji akan bertemu di sebuah pos di kaki bukit.  Aku memberi Sukari peluit untuk meniupkan peluit jika ada sesuatu terjadi.  Kami mulai berpencar.

           Bukit di daerahku sangat asri. Banyak ilalang menutupi di beberapa bagian. Aku mulai mencari Mada dan Dio, dua kawanku yang hilang karena ketakutan. Aku menyusuri padang ilalang sambil kupanggil nama Mada dan Dio. Tiba-tiba terdengar suara di semak-semak ilalang. Bulu tengkukku berdiri, aku takut jika ular yang tadi kembali. Aku mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat pukul, apa saja asal aku bisa selamat. Aku menemukan sebuah kayu yang entah bagaimana kayu itu bisa berada di semak-semak ilalang itu. Lalu aku berjalan pelan-pelan menuju sumber suara, langkahku pelan sekali sehingga jika ada jarum yang jatuh pasti terdengar jelas. Mendekati sumber suara, aku tarik nafas dalam dan dengan semangat empat lima aku berteriak, “Mati kau ular sialannnn..” Saat kusibakkan semak-semak tersebut aku kaget setengah mampus. Ternyata suara tersebut adalah suara dari Mada yang terlihat kesakitan memegangi  kakinya yang berdarah.

“Mada, kenapa kakimu? Kok bisa berdarah?” aku langsung saja keluarkan alat pertolongan pertama dari tas.

“ Aku tadi terjatuh dan ada patahan pohon runcing mengenai kakiku.” Ucapnya sambil menangis.

“Tahan ya, sedikit sakit, biar kubersihkan lukamu.”  Mada menjerit, “Aduh sakit Jim, pelan-pelan..”

         Setelah kuperban kakinya aku putuskan untuk menggendong Mada menuju titik temu dengan Sukari di ujung bukit. Aku mendengar peluit berbunyi tanda dari Sukari, “Pasti dia sudah menemukan Dio.” pikirku. Dan benar saja sesampainya di sebuah pos di kaki bukit, Sukari dan Dio sudah menunggu. Mengetahui keadaan kaki Mada, Sukari dan Dio panik dan berencana membatalkan perjalanan. Kami berhenti sejenak untuk membicarakan kembali perjalanan kami.  Dio dan Sukari mengusulkan membatalkan perjalanan dan memilih pulang saja.  Mada bersikeras memaksa untuk melanjutkan perjalanan. Mada tak ingin menanggung malu lagi jika penyakitnya tidak sembuh. Akhirnya kami sepakat untuk bergegas melanjutkan petualangan. Setelah dua jam perjalanan kami sampai di Ujung bukit. Kami berhenti dan tidak percaya dengan apa yang kami lihat. Kami melihat sebuah danau biru di sisi bukit yang lain. Danau tersebut dikelilingi padang rumput hijau nan luas. Saking senangnya kami berteriak berlari lalu terdengar teriakan Mada, “Woi jangan tinggalin aku!” Mada tertinggal di belakang karena kami terlalu gembira melihat danau biru hingga lupa bahwa Mada kakinya sedang sakit. Aku kembali lalu memapah Mada turun sedangkan Dio dan Sukari sudah jauh lari ke bawah menuju danau.

        Sesampainya di danau kami memutuskan untuk bermain air beberapa saat, agar penat selama perjalanan menghilang. Mada hanya menunggu di samping danau sambil menimati perbekalan. Setelah puas berenang akhirnya kami kembali ke tujuan kami yaitu untuk menangkap capung biru. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan capung yang ada di dunia ini dan semua jenis itu sepertinya ada di danau ini. Aku berhasil menangkap satu yang berwarna biru. Sangat cantik, dan aku rasa kelaminnya adalah perempuan. Setelah kami mendapatkan beberapa ekor kami langsung menggigitkan capung tersebut ke perut Mada dan sisanya kami bawa pulang.

       Dalam perjalanan pulang kami secara bergantian memapah Mada tapi lebih sering Aku dan Sukari, sedangkan Dio memilih membuka jalan untuk kami, walau aku tau itu hanya alasannya saja. Dasar kriting botak memang tidak tau diri. Hari sudah semakin sore dan kabut sudah sangat pekat menutupi puncak-puncak bukit. Kami dikagetkan dengan sebuah suara, suara raungan. Aku sangat yakin raungan itu adalah harimau tapi untuk menutupi ketakutan aku menyuruh yang lain untuk tenang dan mempercepat langkah. Dan yang kami takutkan terjadi. Seekor harimau anakan muncul di belakang kami. Harimau itu meraung dan kami segera berempat menoleh pelan-pelan, “Haaaaaaaaaaa..rrrrriiii.... maaaauuuu…”