Contents
Petualangan Menangkap Capung
Markum si peramal
Tidak sulit menemukan Markum Si Peramal, kami hanya perlu mencari bau yang cukup khas dan hanya dimilikinya. Semua bau itu karena kebiasaan Markum yang suka menyatu dengan alam atau istilah umumnya tidak pernah mandi. Markum tidur dimana saja dia mau. Langit adalah atapnya dan bumi adalah lantainya sedangkan pohon-pohon adalah dapurnya. Markum hidup dari kasih sayang orang-orang sekitar. Saat dia bertemu orang susah dia selalu memberi petuah, saat ia bertemu dengan orang yang sedang senang hatinya maka Markum akan beryanyi untuknya, dan saat dia bertemu dengan orang yang jatuh cinta maka dia akan memberi sebuah ramalan. Hal itulah yang dilakukannya kepada Dio saat Dio mendatanginya. Dia memberi petuah yang entah bagaimana akhirnya Shana mau di ajak Dio ke pesta kesenian. Kami datang ke Markum dengan membawa sebungkus makanan. Setelah makanan yang kami bawa habis dilahapnya maka Markum mulai bersabda.
“Kalian yakin akan ke sana?” ucapnya sambil membersihkan sisa makanan di giginya. Lalu melanjutkan bicara, “Kalian sudah tau konsekuensinya? Apakah kalian siap? Kalian akan menghadapi rintangan yang tidak mudah?” lalu Markum tertawa karena melihat kami ketakutan.
“Kalian harus teguhkan tekad! Keteguhan yang hanya dimiliki para petualang. Tekad yang tidak akan pernah pudar walau nyawa taruhannya. Karena perjalanan kalian adalah petualangan menangkap capung biru. Ingatkan ceritaku tentang capung biru?”
Kami yang ketakutan mengangguk pelan, dahi kami penuh dengan peluh yang entah sejak kapan menetes. Markum berjalan ke arah bukit sambil menunjuk ke jalan kecil menuju bukit. “Dulu, ada anak yang pergi ke bukit itu dan tidak pernah kembali lagi. Kata orang-orang sih, anak itu tersesat dan mati dimakan harimau. Kretak… kretak… kretak…” Markum mengambarkan bagaimana harimau itu memakan anak-anak yang hilang itu.
Sebelum semuanya ketakutan aku beranikan diri untuk bertanya, “Di mana letak capung biru itu.”
Seperti tersambar petir mata Markum melotot dan mendekatiku, “Kau, memangnya kau berani. Kalau kau memang berani pergilah, di balik bukit itu ada sebuah danau. Di situlah capung-capung biru tinggal, tapi aku ingatkan kalian jika kalian menemui rumah di kaki bukit yang tidak jauh dari ujung jalan kampung ini menyingkirlah ke kanan! Jangan pernah lewati rumah itu. Aku sering mendengar suara aneh di rumah itu.” Aku heran dengan ucapan Markum karena setauku rumah di kaki bukit itu tidak kosong, karena setiap sebulan sekali ada orang suruhan pemilik rumah yang datang. Kedatangan orang tersebut untuk membersihkan dan merawat rumah itu. Ayahku sering ke rumah itu dan bahkan menginap.
Setelah dirasa cukup mendapatkan informasi dari Markum tentang tempat capung biru berada, kami sepakat untuk melakukan petualangan menangkap capung. Dengan segala resiko dan konsekuensinya kami akan berangkat esok hari. Ini semua demi kau Mada, kau harus berterima kasih suatu saat nanti. Kami pergi meninggalkan Markum, namun tiba-tiba Markum menggenggam erat tangan Sukari. Aku, Dio dan Mada berhenti kaget. Markum menatap tajam kepada Sukari dan berucap.
“Apa Ibumu sudah pulang?” Sukari terkaget kenapa Markum bisa tau tentang Ibunya. Sukari sambil sedikit ketakutan bilang “Belum, dia belum pulang.”
“Oh, ternyata dia belum pulang. Kau harus sabar. Ibumu orang baik, aku berteman baik dengannya. Dia selalu memberiku makanan. Ingat baik-baik, nak. Setiap yang pergi pasti akan pulang, karena pulang adalah alasan kenapa kita selalu punya harapan. Percayalah suatu saat kau akan bertemu Ibumu.”
Setelah mendengar kata-kata itu kami beranjak pergi. Dalam perjalanan pulang ke rumah aku selalu memikirkan apa maksud dari perkataan Markum tadi, tentang konsep kepulangan dan hubungannya dengan keberadaan Ibunya Sukari. Ah, sudahlah bisa-bisa aku menjadi gila sama sepertinya. Di ujung jalan kami berpisah dengan yang lain. Kami berjanji untuk mempersiapkan diri kita masing-masing dengan tekad yang bulat, sebulat kehidupan yang akhir-akhir ini menggilasku di Jakarta yang tidak pernah bersahabat. Selepas berpisah dengan yang lain aku berjalan pulang tiba-tiba aku bertemu dengan Ayahku keluar dari warung Yu Nem sambil membawa bungkusan nasi yang kurasa porsinya cukup untuk dua orang. Pasti itu untukku.
“Ayah, pasti itu untukku ya?” aku bertanya seperti mengharap makan enak.
“Enak aja. Ini, ini buat teman Ayah. Kamu beli saja sendiri nih uangnya. Ayah pergi dulu ya ada urusan” jawab Ayahku seperti ada yang disembunyikan.
“Aneh ada apa dengan Ayah” jawabku menggerutu. Untung saja aku sempat diberinya uang sehingga aku bisa membeli makanan di warung Yu Nem. Sambil melihat pesonanya yang molek seperti gitar spanyol.