Try new experience
with our app

INSTALL

Wanita Terpilih (Cantik-cantik Mantan Napi) 

Kehilangan Pekerjaan Lagi


“Sepeda baru nih?” tanya Enah keheranan melihatku pulang membawa sepeda baru.


Terpaksa aku ceritakan soal Evans, lelaki yang sama dari masa lalu itu kini mencoba ikut campur dengan masa depanku juga. Memuakan bukan? Dia pikir bisa mengacau hidup orang seenaknya dengan kekuasaan dia?


Kemana dia saat aku disidang? Dipenjara? Justru datang saat sudah bebas dan berusaha mengacaukan masa depan dengan membuatku kembali mengingat masa lalu yang kelam.


“Khusnudzon sih, Nda. Kali aja dia tobat, terus mau tanggungjawab. Entah itu nikahin Lo, atau kasih kerjaan, mending berdamai aja ama takdir. Dia datang lagi ke Lo bagian dari takdir.” Enah sok bijak sekali sore ini.


“Cara terbaik dia nolong aku tuh dengan nggak pernah hadir lagi dalam hidupku, Nah. Bukan malah seperti ini. Trauma. Kamu nggak ngalamin sih, jadi enak aja main suruh berdamai sama dia. Susah, Nah. Tiap lihat dia atau dengar namanya aja suka jadi gemeteran gini,” kataku sambil menunjukkan tangan yang memang jadi gemetar dan takut.


“Ya udah, tapi gimana dong. Coba temui, dan suruh nyingkir dari hidup Lo.”


“Aku nggak tahu, Nah. Takut, beneran deh. Tiap inget cowok itu, bayangan kejadian mengerikan itu terlintas. Bagaimana aku jadi budak nafsu mereka berdua,” isakku yang tak dapat kutahan lagi.


Bahkan kaki seperti tak bertulang, ambruk dan hanya menangis. Sungguh, bukan hal mudah menemui pria itu. Mengingat apa yang terjadi di antara kami. Orang yang tak tahu dan tak mengalami, mungkin akan mempermudah dengan segala saran konyol mereka. Tapi tidak denganku. Ini sangat menyiksa dan menakutkan.


“Sabar, Nda. Maaf kalua gue jadi kaya sok tahu ya,” bisik Enah berusaha membangunkan aku.


“Nggak apa, Enah. Maaf ya, Manda jadi cengeng lagi,” kataku lemah.


“Kamu nggak cengeng, kamu tuh setrong, kuat. Buktinya masih bisa menatap masa depan pasca mengalami tindakan mengerikan ini. Coba kalau gue? Dah bunuh diri kali.”


“Andai bunuh diri itu halal ya, Nah.”


“Hush! Jangan ngomong ngelantur. Percaya aje, Allah nggak bakal ngasih ujian diluar batas kemampuan makhluknya. Gitu kata Pak Ustadz.” Enah mengelus pundakku. “Ganti topik dah, gimana kerjaan Lo?” tanya Enah dengan tersenyum.


Wanita yang usianya tak jauh beda denganku ini terlihat lebih tua wajahnya. Mungkin karena tekanan hidup yang lebih berat dariku juga. Bedanya, dia masih bisa bercanda dan begitu santai menikmati hidupnya. Kadang ingin seperti dia, santai seperti tanpa beban.


“Alhamdulillah sih boss gue baik. Tadi dikasih uang seratus ribu buat ongkos bolak balik. Gajinya lumayan sih buat yang belum pengalaman kaya aku, sejuta. Rasanya deg-degan banget nyebutinnya,” kekehku ketika mengingat uang yang akan kudapatkan akhir bulan.


“Nah, alhamdulillah. Semoga aja mereka mempertahankan Lo ya. Dan awet kerja di sana, siapa tahu dapat jodoh juga.”


“Dih, aku sih rada risih sama suaminya. Suka lihatin aku gimana gitu pandangannya. Untung dia berangkat pas aku datang, dan pulangnya malam. Tapi tadi pas ketemu gitu banget deh lihatinnya.”


“Hati-hati aja, kan bini dia masih nifas. Jangan sampai Lo jadi pelampiasan.”


“Na’udzubillah ih, jangan ngomong aneh-aneh.”


Iya, suami majikanku itu pandangannya aneh. Bikin risih. Untung jarang ada di rumah, jadi bisa leluasa bekerja di tempat itu.


Seperti pagi ini, aku sudah mengayuh sepeda ke rumah majikan. Sambil berolah raga, tidka ada rasa lelah. Tiba di sana disuruh istirahat dulu, diberikan minum bahkan boleh bikin teh manis sesuka hati. Nyaman, anak-anaknya juga baik dan lucu. Sesekali aku membantu menjaga anaknya yang berusia empat tahun. Menemaninya bermain jika pekerjaan rumah telah usai. Sedangkan ibunya istirahat di kamar bersama si Bayi.


Sore, jam lima aku sudah pulang. Begitu tiap hari, tapi sama sekali tidak menjadi beban. Malah menyenangkan. Apalagi majikan bukan orang yang pelit. Jika ada sisa makanan yang masih sangat baik, akan diberikan padaku untuk dibawa pulang. Bisa kunikmati bersama sahabatku, Enah.


Setidaknya, satu minggu ini aku lupa pada penderitaanku. Berganti bersyukur karena sepanjang jalan kulihat masih banyak yang menjadi gelandangan. Berulang kali dikejar trantib, mereka kemali. Ada yang benar-benar tak punya tempat tinggal, ada juga yang sesungguhnya pemalas. Rumahnya mewah tapi enggan bekerja, memilih meminta-minta tak tahu malu. Namun banyak juga yang sungguhan gembel seperti aku ini.


Semoga aku tetap bisa mensyukuri hidup ini, tanpa menjadi peminta-minta selagi tangan dan kakiku mampu bergerak dan berusaha.


***


Sabtu pagi aku sudah tiba di rumah majikanku. Terlihat sepi, kata tetangga sebelah rumah Bu Mirna sedang ke posyandu. Terpaksa aku menunggu di teras karena tidak mau masuk kalau tidak ada tuan rumahnya. Sambil membersihkan halaman, aku juga mengelap kaca luar dengan kain yang ada. Setidaknya aku tidak terlihat malas meski majikan tidak ada.


“Ibu belum pulang?” tanya seseorang dari belakang.


Spontan aku menoleh dan terperanjat, karena yang datang suami Bu Mirna.


“Belum, Pak. Katanya ke posyandu,” jawabku dengan sedikit menunduk.


Lelaki itu melewatiku dan membuka kunci rumah. Masuk dan menuju kamarnya. Sementara aku ragu, haruskan ikut masuk atau berlama-lama di luar menunggu majikan perempuan datang? Tidak etis jika di dalam rumah dengan seorang pria. Terlebih, pria ini kalau menatapku seperti menjijikan.


Semoga hanya karena aku kegeeran atau trauma. Bukan benar-benar dia ada niat jahat karena sering menatapku dari atas hingga bawah.


“Masuk, Manda. Cucian piring banyak,” teriak Lelaki itu dari dalam.


Terpaksa, aku masuk menuju dapur. Mulai menuangkan sabun cuci dan mengusap peralatan dapur. Menyalakan mesin cuci, dan juga mengumpulkan sampah, membuangnya keluar rumah. Kembali ke dalam dan mulai menyapu lantai.


“Manda, di kamar saya banyak sampah bekas anak-anak, tolong dibersihkan,” teriak Majikanku lagi.


Gugup, saat harus masuk kamar sementara dia sendiri ada di dalam.


“Nanti ya, Pak. Atau Bapak bisa keluar dulu? Biar saya bersihkan semua dengan kasurnya,” kataku dengan gugup dari luar pintu.


Dia keluar dan menatap dengan aneh. “Kamu takut sama saya?” tanyanya heran.


“Bukan, Pak. Takut enggak sopan kalau masuk kamar cuma ada Bapak, kecuali ada Ibu juga. Maaf ya, Pak.” Aku berusaha sesopan mungkin.


“Sok suci kamu. Memangnya saya nggak tahu siapa kamu? Kamu itu pernah dipenjara kan?”


Seketika jantungku bergedup kencang dan sakit di ulu hati. Bagaimana dia bisa tahu masa laluku? Ujung-ujungnya pasti aku dipecat, padahal belum satu bulan.


“Kalau istri saya tahu, kamu bakal dipecat,” katanya dengan sinis, “tapi ... saya akan rahasiakan kalau kamu ... mau menemani saya selama istri saya nifas,” lanjutnya dengan kembali menatapku menjijikan.


“Maaf ya, Pak. Bapak tahu tidak saya dipenjara karena kasus apa?” tanyaku dengan geram. Bagaimana mungkin ada suami sebejat ini? Istri nifas malah cari pelarian, bukannya puasa dan sabar.


“Tahu lah, makanya kalau istri saya tahu juga. Kamu bakal dipecat,” katanya dengan menutup pintu.


Tanganku mulai gemetar memegang sapu, tapi berusaha setenang mungkin agar tidak terlihat ktakutan.


“Oh, emang Bapak nggak takut jadi korban ke dua?” tanyaku dengan waspada.


“Apa?”


“Bapak nggak takut kalau saya jadikan Bapak korban ke dua saya?” tanyaku dengan penekanan.


Dia melotot tajam, aku segera ke dapur berniat mengambil apa saja jika dia nekat. Tak peduli ini akan jadi kasusku yang ke dua kalinya. Aku tak sudi melayani lelaki-lelaki bejat seperti ini.


“Heh, keluar kamu atau saya teriaki maling sekalian! Saya bisa bilang kamu mau merampok rumah saya,” teriaknya dengan membuka pintu.


Tak dinyana istrinya datang. Keheranan melihat suaminya pucat pasi. Dia juga menghasut istrinya, menuduhku merayunya, seolah dia suci dan menolak godaanku. Kemudian mengaku akan dibunuh, karena aku si wanita mantan napi yang juga pernah menghilangkan nyawa suaminya.


Bu Mirna terpengaruh, dia mengusirku tanpa mau membayar gajiku yang selama dua minggu.


“Bu, setidaknya berikan gaji saya dua minggu. Lima ratus ribu berharga buat saya, Bu. Lagian Bapak yang godain saya karena ibu sedang nifas.” Aku mencoba membela diri meski percuma.


Warga sekitar mulai berdatangan mendengar keributan. Mereka hanya menonton, tak ada yang bergerak memisahkan. Aku tetap meminta hak sebagai pekerja selama dua minggu, sementara mereka terus memaki dan membahas tentang masa laluku.


Akhirnya kami dipisahkan seorang lelaki yang merupakan Ketua RT di wilayan ini. Setelah mendengar perdebatan kami, dia memutuskan kau harus pergi dari tempat ini. Padahal tidak bersalah salah sama sekali. Lagi-lagi, orang yang lemah dan miskin sepertiku menjadi korban.


“Saya hanya minta hak saya, Pak. Gaji selama dua minggu bekerja di sini.” Aku memelas pada Ketua RT. “Demi Allah, saya tidak merayu majikan saya ini. Dia yang merayu karena istrinya sedang nifas.”


“Bohong! Dasara residipis! Sekali penjahat tetap penjahat. Kalian catat mukanya! Jangan sampai dia bekerja lagi di wilayah kita,” teriak suami Bu Mirna terus membela diri.


Akhirnya, Ketua RT meminta pasanga suami istri itu untuk membayar gaji sesuai pekerjaanku. Sialnya, hanya diberikan dua ratus ribu. Tak apalah, daripada tidak sama sekali. Mungkin memang segini rezekiku.


Dengan tatapan sinis orang-orang, aku keluar rumah dan mengayuh sepeda. Meninggalkan pekerjaan untuk kesekian kalinya. Entah pekerjaan apa setelah ini yang akan kujalani. Rasanya sulit sekali. Tentu saja, tanpa cacat kriminal saja begitu susah mencari pekerjaan, apalagi yang dianggap mantan penjahat sepertiku?


Lapar, kuparkirkan sepeda di depan warteg Mpok Limeh. Rasanya lapar hampir membunuhku hari ini. Belum sarapan, kena pecat juga. Benar-benar dunia seperti tak menginginkanku.


“Mpok, sepuluh ribu ya sama es teh,” kataku dengan berdiri karena kursi penuh oleh orang-orang yang makan.


“Kok dah pulang, Manda? Bukannya udah kerja lagi kata si Enah?” tanya Mpok Limeh heran.


“Biasa lah, Mpok hehe.” Aku menutup duka dengan senyuman. Mpok Limeh tahu aku sering kehilangan pekerjaan karena apa.


“Yah, belum rezeki. Sabar aje ya,” katanya dengan menyerahkan sebungkusan plastik.


“Satu lagi deh, Mpok. Buat Enah.”


Mpok Limeh kembali membungkus nasi untukku. Lauknya campur-campur saja, karena hanya seharga tujuh ribu. Yang penting aku tidak kelaparan. Jangan pikirkan gizi dan lainnya, itu hanya untuk kalangan berada.


Kuserahkan uang seratus ribu pada si Mpok. Dia meminta uang pas, tapi aku tidak punya. Hutang dulu juga pasti tidak akan dikasih, meski dia baik ... tapi untuk urusan hutang dia pasti menolak.


“Pakai ini saja, Bu. Kembaliannya ambil,” ujar seorang lelaki dari belakangku.


“Oh, makasih ya Mas. Temennya Manda?” tanya Mpok Limeh.


Aku menoleh ke belakangan, memastikan siapa orang yang membayarkan makanku. Sebelum aku berterima kasih dan berjanji akan mengganti. Kupikir paling anak muda sini. Tapi ....


“Kamu?” tubuhku langsung gemetar melihat pria berperawakan tinggi dan putih di belakangku. Senyumnya memang manis, tapi tetap mengerikan di mataku. Senyum yang sama saat dia menyentuh setiap senti tubuh ini.


“Manda, aku ingin bicara,” katanya mencegahku pergi.


Sekuat tenaga aku menyeret langkah keluar dari warteg agar bisa lari. Apes, lututku terasa lemah dan sulit kugerakan. Ketakutan setiap kali melihatnya membuatku lemah tak berdaya.


Hanya bisa menangis, berharap bisa lari menjauh darinya. Tapi malah sial, dia mengangkat tubuhku dengan entengnya, membawaku ke dalam mobilnya.


“Mau apa kamu?” teriakku dengan suara yang sesungguhnya hampir tak jelas karena bibir juga ikut bergetar hebat.


Bersambung