Try new experience
with our app

INSTALL

PUNDEN DEMIT 

1 BULAN SEBELUM GANTUNG DIRI: BERTEMU SABIYA (1984)

Kesuksesan 'Rumah Meraa' dan kepribadian yang menyenangkan Ra Nuh membuatnya memiliki banyak teman di tempat kerja. Salah satunya adalah Bram, anggota tim teknik yang sering membantu dalam hal teknis. Suatu sore, Ra Nuh mengunjungi ruang kerja Bram. Mereka sering bekerja bersama, termasuk saat Ra Nuh sedang mewawancarai narasumber atau dalam situasi lain yang membutuhkan bantuan kameramen atau audioman. Karena sering bersama dan memiliki saling kepercayaan, Ra Nuh sering berbagi isi hatinya dengan Bram, dan begitu juga sebaliknya. Mereka saling berbagi cerita tentang keluhan pekerjaan, kehidupan pribadi, dan masalah keluarga. Mereka sering melakukan dua atau tiga tugas bersama setiap minggunya. Bram sudah menikah dengan seorang istri bernama Sabiya, tetapi dalam tiga tahun pernikahan mereka belum dikaruniai anak.


Ra Nuh dan Bram saling menyukai, tetapi mereka sadar bahwa mereka hanya bisa berteman. Mereka pernah membahas bentuk persahabatan yang ingin mereka jalani ketika mereka berada di Bandung untuk mewawancarai narasumber dan menginap. Pada saat itu, mereka terbawa suasana dan merasa senang. Dengan sikap dewasa, mereka sepakat untuk menjaga persahabatan dan menjadi seperti saudara kandung. Malam itu mereka habiskan dengan saling berbagi cerita pribadi dan pekerjaan masing-masing. Ra Nuh yang lebih banyak berbicara. Semua perasaannya diungkapkan di depan Bram, karena dia hanya sendirian di Jakarta dan memiliki sedikit teman. Waktunya sebagian besar dihabiskan untuk bekerja. Bram adalah pendengar yang baik dan merespons semua cerita Ra Nuh dengan bijaksana, kadang-kadang memberikan pernyataan yang menghangatkan hati Ra Nuh.


Ketika Bram bercerita, mata Ra Nuh hampir tidak berkedip, kadang-kadang tertawa. Dia telah menganggap Bram seperti kakaknya. Ketika suasana menjadi hening, seolah-olah semua cerita hidup mereka telah terungkap, Bram memeluk Ra Nuh dengan lembut. Ra Nuh meletakkan wajahnya di dada Bram, memudahkan Bram untuk mengelus kepala Ra Nuh.


Bram memeluk Ra Nuh dengan erat dan tangannya turun menyentuh dagu Ra Nuh untuk mengangkat wajahnya. Dengan perlahan, bibir Bram menyentuh bibir Ra Nuh. Ra Nuh merasa nyaman dan memejamkan matanya, terbawa suasana. Bram semakin bergairah. Dia meraba seluruh tubuh Ra Nuh dengan telapak tangannya, namun kemudian menyadari bahwa ini salah. Bram melepas bibirnya dari Ra Nuh, membuka matanya. Mereka saling memandang tanpa kata beberapa detik, kemudian Ra Nuh kembali menyembunyikan kepalanya di dada Bram dan memeluknya erat. Meskipun matanya tetap terbuka, Ra Nuh menyesali insiden cumbuan tadi. Bram kembali mengusap kepala dan rambut Ra Nuh.


"Maaf, saya terbawa suasana," bisik Bram, sambil menyandarkan kepalanya ke bantal. Ra Nuh tidak memberikan jawaban, hanya mempererat pelukannya. Posisi mereka hanya sedikit berubah hingga pagi tiba. Matahari mulai memancarkan sinarnya tepat di wajah mereka yang masih saling berdekatan, sinar tersebut masuk melalui celah tirai jendela. Menyadari hal itu, mereka bangun dan bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Setelah malam itu, hubungan mereka semakin erat, seperti antara kakak dan adik sesuai dengan komitmen yang telah mereka buat. Dan setibanya di Jakarta, mereka kembali ke rumah masing-masing. Hari demi hari, mereka menjalani kehidupan sebagai sahabat yang makan siang bersama dan berbagi cerita, meskipun Ra Nuh berusaha membatasi diri. Hal yang sama juga berlaku untuk Bram.


Suatu kali, Ra Nuh hendak menyapa Bram di ruang kerja 'Fasilitas Teknik' tempat Bram bekerja. Bram sedang duduk di mejanya, sambil memperhatikan perangkat audio yang tampaknya rusak. Ra Nuh mendekati Bram dan duduk di sebelahnya.


"Apa yang sedang kamu lakukan, Mas Bram?" tanya Ra Nuh sambil menyeret bangku asisten mendekati Bram, dan tangannya iseng memainkan komponen elektronik kecil.


"Hai, Cinul. Suaranya tidak keluar nih," sapa Bram kepada Ra Nuh dengan panggilan khusus 'Cinul' untuk Ra Nuh.


“Kejadian seminggu lalu sampai disitu saja ya mas,” pernyataan Ra Nuh itu membuat Bram berhenti memperhatikan komponen elektronik yang dia pegang lalu menoleh ke Ra Nuh. Dalam hati dia berharap antara Bram menolak, tapi itu salah.


“ssst… sudah, tidak usah kita bahas,” kata Bram.


“Janji yah.. kak mas bang Bram jadi sahabat, kakak, orang tua, kakek… hahaha… yang terbaik, tempat aku cerita apa aja,” kata Ra Nuh dengan mimik wajah yang berusaha melucu.


“Kamu juga janji yah, mulai membuka diri. Jangan larut dalam pekerjaan,” jawab Bram


“Pokoknya kita berbagai rahasia,” ujar Ra Nuh


“Memang kamu percaya sama aku,” tanya Bram. “Kalau kumat saya suka menculik orang lho,” sambung nya sambil bercanda.


“Aww… Iya aku cuma percaya nya sama kamu, aku nggak punya teman dekat di kantor. Teman sekolahku jauh,” jawab Ra Nuh.


“Siap Adikku, kan selalu kujaga adik angkatku ini yang baru dipungut dari balik mesin tik,” canda Bram sambil mencubit pipi Ra Nuh


“dasarrr,” jawab Ra Nuh sambil tersenyum lega. Dia melepas satu beban yang mengganjal beberapa hari sebelumnya.


Tiba-tiba masuk sosok perempuan ke dalam ruangan dan mereka berdua tidak menyadarinya. “...ehem…,” batuk kecil dari perempuan itu. Sontak Bram dan Ra Nuh terkejut dan menoleh ke sumber suara.


“Sabiya… kapan datang,” tanya Bram ke istrinya sambil menghampiri dia.


“hey, baru banget. Ini aku bawakan gulai ayam kesukaanmu,” Sabiya sambil memberikan rantang kepada Bram ditambah senyuman dari sang istri. Bram langsung membuka penutupnya dan mencium harum masakan istrinya, yang isinya tidak hanya gulai ayam.


“Hallo, saya Sabiya istri Bram. Kita baru pertama kali ini ya bertemu,” kata Sabiya dengan sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.


Ra Nuh pun menyambut nya dengan senyum bersahabat, “kenalkan saya Ra Nuh, saya rekan kerja nya mas Bram. Dia banyak sekali membantu pekerjaan saya yang berhubungan dengan teknis,” kata Ra Nuh


“Oh kamu Ra Nuh. Abang pernah minta izin sama aku akan tugas luar kota bersama produser Ra Nuh,” jawab Sabiya, “Nakal nggak dia Mbak?” Ra Nuh sempat tersirap dengan pertanyaan pendek itu. Tapi untungnya Bram memecah suasana.


“Resek dia Bun, dompetnya ketinggalan, jadi terpaksa bayarin makan bocah ini. Makanya nggak bisa beli oleh-oleh Bun,” celoteh Bram yang membuat cair suasana. Sabiya punya banyak cerita yang dia ceritakan kepada Ra Nuh, seseorang yang belum lama dia kenal. Ra Nuh pun demikian, banyak cerita yang keluar dari mulutnya. Bram merasa sudah tidak bisa mengimbangi isi cerita mereka. Tapi dia punya makanan yang dibawa oleh Sabiya untuk disantap. Dia tidak dihiraukan oleh kedua orang didepannya, tapi ada makanan.


Satu jam berlalu, Sabiya menyadari kehadirannya bisa mengganggu pekerjaan suaminya.


“Ra Nuh, aku senang bisa berkenalan dengan kamu, tapi aku harus pamit. Kasian om Bram,” sambil melirik Bram dan mengangkat satu alisnya.


“Yah kakak Sabiya, padahal kita lagi asyik bercerita,” kata Ra Nuh.


“Kami ada pesta kecil-kecilan dirumah sabtu ini, saya mau mengundang kamu,” kata Sabiya sambil memegang tangan Ra Nuh.


“Saya pasti datang,” jawab Ra Nuh antusias.


“Mas, Sabi pulang dulu ya. Sini rantang kosongnya biar aku bawa pulang,” sambil menjulurkan tangannya untuk menyambut rantang kosong dari Bram. Lalu di kecupnya dahi Sabiya. Kemudian Sabiya melangkah menuju pintu untuk meninggalkan ruangan dan pulang kerumah.


“Mas Bram, istrimu cantik dan seru sekali. Aku senang bisa kenal dengan Sabiya,” kata Ra Nuh dengan penuh suka cita.


Bram hanya membalas senyum Ra Nuh tanpa kata. Hingga Ra Nuh pamit untuk kembali keruangan kerja nya.