Contents
KEMBALIKAN SUAMIKU, NYONYA
01. RANIA
Rania terperanjat dari tidur lelapnya. Peluh mengucur dari pelipis, jantungnya berdegup kencang. Dia kembali bermimpi tentang pria itu. Sebuah mimpi buruk yang selalu sama selama satu minggu terakhir ini.
Menarik napas dalam, Rania mencoba menetralkan perasaannya yang kacau. Bagaimana tidak, dalam mimpi pria itu selalu muncul sembari membawa wanita lain dan mereka terlihat sangat bahagia. Sakit rasanya membayangkan jika mimpi tersebut menjadi kenyataan. Rania sudah menunggu pria itu hampir tiga tahun, sama dengan usia sang buah hati yang tertidur lelap di sampingnya.
"Kasihan sekali kamu, Nak. Sampai sekarang kamu tidak tahu rupa ayahmu."
Dengan penuh kelembutan, Rania mendekap dan mengecup kening gadis kecilnya. Seketika sudut matanya basah, Rania menangis. Nasib anak Rania sungguh malang, sampai di usia yang ketiga tahun anaknya itu tidak tahu rupa sang ayah. Bahkan saat terlahir ke dunia yang mengadzani sang buah hati ialah sang kakek, ayah kandung Rania.
"Semoga ayah kamu ingat jalan pulang, Nak. Ibu kangen sama ayah kamu. Ibu yakin ayah kamu pasti akan kembali kepada kita."
Dadanya terasa sesak. Rania masih ingat tentang omongan para tetangga yang selalu menuduh jika suaminya kabur dan memiliki kehidupan baru bersama wanita lain. Tidak hanya satu orang, hampir semua orang berspekulasi demikian. Namun, Rania sangat tahu perangai sang suami. Tidak mungkin pria itu mengkhianatinya. Semua orang tahu jika suami Rania begitu cinta mati padanya.
Air mata terus mengalir deras, sederas hujan yang mengguyur kota Jakarta tengah malam ini. Rania semakin mendekap sang anak, khawatir jika tubuh kecil itu kedinginan akibat udara malam. Rania pun menyeka sudut matanya, lalu mencoba memejamkan mata berusaha untuk tidur kembali. Segala doa dia rapalkan, berharap dia tidak bermimpi buruk lagi. Juga, dia berharap semoga mimpinya jangan sampai jadi kenyataan.
"Aku kangen kamu, Mas. Pulanglah … aku rindu."
***
"Ran, ini uang buat belanja. Nanti kamu pergi ke pasar diantar Pak Karyo, ya."
Wanita paruh baya itu memberi beberapa uang berwarna merah kepada Rania. Rania mengambil uang tersebut lalu memasukan ke dalam dompet kecilnya. Rania hendak pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan.
"Kalau ada kembalian, buat kamu saja. Belikan mainan untuk Yurin. Kasihan mainannya boneka yang itu-itu saja," tutur Amara, majikan Rania.
"Nggak usah, Bu. Boneka Yurin masih bisa dimainkan, kok," tolak Rania dengan lembut.
"Nggak apa-apa. Kamu belikan saja. Jangan menolak."
Tidak ada yang bisa Rania lakukan selain mengangguk setuju. Nyonya Amara memang seperti itu, selalu baik terhadap Rania dan Yurin, anak semata wayang Rania. Sudah hampir dua tahun Rania bekerja di rumah Amara sebagai asisten rumah tangga. Selama itu juga Amara memperlakukan Rania dengan baik. Tidak pernah sekalipun Amara meninggikan suara dihadapan Rania atau pekerja yang lainnya. Amara memang sebaik itu.
Setelah Amara pergi, Rania pun bersiap untuk pergi ke pasar. Bergegas ia mencari pak Karyo untuk mengantarnya. Setelah menemukan pak Karyo, mereka berdua pun lekas pergi menuju pasar. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit Rania sudah sampai di tempat yang ia tuju.
"Mas, kayaknya dede bayi pengen makan itu."
"Ya sudah, Mas belikan. Tunggu ya, dede bayi sayang."
Baru saja memasuki kawasan pasar, perhatian Rania tertuju pada sepasang suami istri yang sedang membeli bubur ayam. Terlihat wanita itu tengah berbadan dua dan sepertinya juga sedang mengidam jika dilihat dari percakapan mereka barusan.
Rania tersenyum kecut, teringat kembali kenangan saat dirinya sedang hamil. Saat itu dia mengalami apa yang dirasakan wanita itu. Rania mengidam dan sang suami selalu mengabulkan segala yang ia inginkan.
Detik selanjutnya manik mata itu basah. Selain kenangan manis, Rania juga teringat kenangan buruk di saat yang bersamaan. Kehamilan Ranialah yang menyebabkan pria itu pergi dari hidupnya sampai sekarang. Hal yang sangat Rania sesali dan yang selalu membuat ia menyalahkan diri sendiri di sepanjang hari.
"Mas, kamu dimana? Pulang, Mas. Anak kita sudah besar sekarang. Kamu harus pulang," batinnya.
Tidak mau terus berlarut, Rania lekas pergi dan membeli apa-apa yang ia butuhkan. Hidup harus tetap berjalan dan Rania tidak boleh terpuruk terus menerus. Ada Yurin yang harus ia hidupi. Rania harus kuat, sekalipun saat ini dia bekerja sebagai seorang pembantu, Rania tidak peduli. Dia harus bisa menjadi ibu yang tangguh untuk anak tercinta.
"Sudah beres, Ran?" tanya pak Karyo saat Rania masuk ke dalam mobil.
"Sudah," jawab Rania singkat.
Pak Karyo segera melajukan mobil untuk kembali pulang. Tidak ada percakapan di sepanjang perjalanan. Rania lebih memilih untuk melihat-lihat jalanan dari balik kaca jendela mobil. Pak Karyo pun enggan mengajak bicara Rania. Pak Karyo menjaga batasan mengingat Rania masih mempunyai suami. Sikap Rania pun seperti menjaga jarak, kata Rania ada hati yang harus dijaga dan Karyo paham itu.
"Rania, bisa kesini sebentar?"
Rania yang baru sampai segera menghampiri Amara yang tengah duduk di gazebo halaman depan setelah sebelumnya dia meminta tolong pada Karyo untuk menyimpan belanjaannya di dapur.
"Iya, Bu."
"Duduk, Rania. Ada yang ingin saya bicarakan."
Rania segera duduk di kursi. Ada sedikit kekhawatiran dalam hati Rania. Terlebih saat melihat raut wajah Amara yang terlihat serius.
"Saya mau minta tolong sama kamu. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan."
"Minta tolong apa, Bu?" Rania mulai penasaran.
"Anak saya yang dokter itu sekarang dipindah tugaskan ke kota Bandung. Dia cuma tinggal berdua dengan suaminya." Amara menyeruput teh, lalu kembali melanjutkan,
"Saya berniat mengirim kamu ke rumah anak saya. Anak saya sibuk jadi tidak sempat untuk menyiapkan keperluan suaminya. Kalau mencari yang lain lagi, saya kurang percaya. Dia anak satu-satunya, saya ingin yang menjaga rumahnya adalah orang yang bisa dipercaya. Bagaimana, kamu bisa 'kan?"
Rania terdiam sejenak. Sebenarnya tidak masalah dia ditempatkan dimanapun selama ia digaji dan diperlakukan dengan baik. Yang jadi masalah adalah tentang suaminya. Alasan Rania nekad pergi ke Jakarta tidak lain adalah untuk mencari keberadaan sang suami.
"Bagaimana, Ran? Kamu bersedia 'kan?"
Amara kembali bertanya, dia sangat berharap Rania setuju. Ada alasan lain kenapa Amara ingin sekali mengirim Rania ke rumah sang anak. Amara hendak menyelidiki sesuatu. Dia ingin Rania mengawasi kondisi rumah tangga anaknya.
"Yurin … apa anak Ibu tidak keberatan jika saya membawa Yurin?" Kali ini Rania membuka suara.
"Anak saya sangat suka anak kecil. Saya yakin dia tidak keberatan. Saya juga sudah membicarakan ini dengan anak saya dan dia tidak keberatan."
Rania kembali terdiam. Jika menolak dia tidak enak hati karena Amara sudah sangat baik padanya dan Yurin. Namun, jika mengiyakan maka Rania tidak akan bisa mencari keberadaan sang suami lagi di Jakarta.
"Jadi, bagaimana? Saya menunggu jawaban kamu, Rania. Kamu bersedia atau tidak?"