Contents
Paragraf Terbuang
Cerita Perempuan
Usai salat salat subuh berjamaah di ruang tengah, Zhiya menemani Alifa di dapur. Kinabalu mengekor ke mana pun Zhiya melangkah. Enam hari berlalu, belum juga ada kapal yang berangkat. Zhiya tak diperbolehkan pulang ke kosan karena Alifa khawatir, ia hanya diizinkan mengambil perlengkapannya, itu pun diantar Noval.
“Zhi, mau minum apa?” tanya Alifa ketika teko air panas memberi tanda air di dalamnya telah mendidih.
“Biar Zhi buat minum sendiri, Mbak.”
“Oke, kopi, gula, teh ada di sini. Titip gorengan, ya. Mbak mau cuci baju.” Alifa menepuk lemari kecil di dekat meja makan.
“Iya, Mbak. Kin mau minum apa biar kakak buatkan.”
“Kin mau Milo, jawab Kinabalu.”
“Siap Tuan Putri.”
Zhiya membalik pisang goreng yang hampir matang, lalu membuat minuman untuknya dan Kinabalu. Pendengaran Zhiya menyerap cerita Kinabalu tentang betapa dinginnya saat ia mendaki Semeru di musim kemarau bulan Mei. Gadis kecil yang cerewet, tapi menyenangkan. Suaranya seperti burung yang bernyanyi.
“Minus empat derajat celcius loh, Kak! Daun-daun juga dilapisin es. Mungkin salju di luar negeri tuh kayak es di Semeru waktu itu ya?”
Uraian panjang kenangan Kinabalu terputus suara Alifa.
“Kin ... kebiasaan deh. Ini dibuang dulu!” Alifa memanggil Kinabalu dari tempat cuci di halaman belakang.
“Tuh, dipanggil Mama. Ayo, kamu habis melakukan apa?”
“Iya, Ma! Biasa, Kak, simpan sampah di saku baju, lupa belum dibuang.”
Karena terbiasa tidak membuang sampah sembarangan, Kinabalu selalu membuang bungkus jajanannya di saku baju atau tas sekolah. Ketika menemukan tempat sampah barulah ia membuangnya. Tetapi, bocah itu seringkali lupa, hingga sampah-sampah itu menjadi oleh-oleh bagi sang mama.
Matahari masih malu-malu bersinar. Embun masih melapisi rumput dan tanaman di sisa lahan yang sempit. Di teras belakang, Zhiya, Alifa, dan Kinabalu menikmati minuman manis dan pisang goreng yang baru saja diangkat dari wajan. Hangatnya menjalari tubuh dan cakrawala hati.
“Kak Zhiya kayaknya lebih cantik pakai kerudung, soalnya Kin lihat kakak cantik banget waktu pakai mukena.” Kinabalu menatap lekat wajah Zhiya.
“Kalau ke kampus, kakak selalu pakai kerudung. Kin mau lihat foto kakak pakai kerudung?”
Zhiya memamerkan sosok anggun dalam balutan gamis dan hijab dengan latar taman kampus. Hanya karena aturan kampus Zhiya berbusana seperti itu, selebihnya tentu celana jeans dan flanel kotak-kotak berwarna gelap, tanpa kerudung.
“Mengapa hanya ke kampus berhijabnya, Kak?”
“Hmm ... kakak belum siap, Kin.”
“Memang apa yang harus disiapkan? Kan tinggal pakai saja?”
Pertanyaan lugu itu menohok jantung Zhiya.
Alifa tersenyum mendengarkan percakapan keduanya, lalu menambahi dengan cerita.
“Ada cerita waktu mbak kelas dua SMP. Waktu itu hari pertama memakai hijab ke sekolah. Canggung karena berubah penampilan, Mbak jalan sambil menunduk sampai salah masuk kelas, hahaha ...”
“Hahaha ... ih Mama, malu dong!” sambar Kinabalu.
“Iyalah, malu banget. Tadinya mau tenang-tenang menghindari komentar teman-teman eh malah menarik perhatian. Heboh deh!”
Tawa mewarnai pagi yang semakin terang. Embun yang menempel di rumput dan dedaunan tak lagi tampak. Entah kapan mereka membaur dengan udara.
“Teman-teman Mbak, bagaimana reaksinya?”
Zhiya penasaran, membayangkan reaksi orang-orang di sekitarnya bila ia berhijab nanti. Karena keinginan itu ada, entah mengapa mewujudkannya begitu berat.
“Biasalah ada yang mendukung ada yang protes karena tak bisa lagi melihat rambut yang sering mbak bentuk bermacam-macam kepang. Tapi, ucapan selamat dan doa dari teman-teman yang lebih dulu berhijab membuat Mbak tenang dan semakin kukuh mempertahankan hijab. Alhamdulillah sampai sekarang.”
Kemudian dengan lemah lembut Alifa menyampaikan kalimat-kalimat yang membuat Zhiya merenung.
“Berhijab itu tidak butuh persiapan, tapi pembiasaan, Zhi. Kalau menunggu siap, apa yang mau disiapkan? Kalau sudah ada jilbabnya tinggal pakai saja. Banyak sekali alasan dan pembenaran. Tetapi kalau mau jujur mengakui, sebenarnya kita hanya malas melakukannya. Iya kan? Repot, panas, lama ....”
“Hehehe ... mungkin begitu ya?”
“Makanya, Mbak membiasakan Kin berhijab dari sekarang. Susah nggak Kin pakai hijab terus?”
“Nggak. Orang tinggal pakai kayak pakai kaos.” Ringan sekali Kinabalu menjawab mamanya.
“Iya ya ....” Kalimat Zhiya menggantung, memikirkan ucapan Alifa dan Kinabalu.
Ting ... tiriring.
Nada mesin cuci otomatis memanggil Alifa untuk segera mengeluarkan cucian dan menjemurnya. Kinabalu bergegas mandi, mengikuti perintah sang mama. Usai membantu Alifa menyapu rumah, Zhiya masuk ke kamar, bersiap mandi bila Kinabalu telah selesai.
Zaki baru saja tiba setelah belanja ke pasar dan mengantarkannya ke warung. Sebagian bahan sengaja dibeli untuk dimasak di rumah. Disimpannya seplastik sayuran dan tahu tempe lalu menyalakan televisi.
"Zhiya! Gempa susulan lebih besar tadi pagi, kita gak akan bisa berangkat dalam waktu dekat."
Zhiya keluar dari kamar, mendekat pada Zaki dan melihat berita gempa bersama-sama. Dipindah-pindahkan channelnya berupaya mencari berita tentang Desa Kadindi, Dompu. Nihil. Zhiya berurai air mata. Sudah seminggu tak ada yang bisa dihubungi.
Zaki sempat terhubung dengan teman pendaki Lombok yang tinggal di Kopang. Di sana, semua penduduk tidur di dalam tenda, tapi kini sulit mendapatkan terpal. Bila ada yang menjual pun harganya naik berkali lipat. Banyak yang belum mendapatkan terpal sehingga tidur di halaman begitu saja. Ada juga yang ditutupi kain sebagai pengganti terpal.
Uang hasil penggalangan dana paling banyak akan disumbangkan berupa terpal, sisanya kebutuhan pokok. Percuma memberi mereka uang, tak ada pasar yang buka karena sebagian bangunannya telah roboh.
Tiga anak mapala, termasuk Noval akan ikut menjadi relawan bersama Zaki. Zhiya akan berangkat bersama mereka. Semuanya masih menunggu ombak mereda dan kapal bisa mengantarkan mereka menyeberang.
"Sabar Zhiya, semua pasti ada hikmahnya. Coba bayangkan bila kita berangkat tiga hari yang lalu, saat ini, kita pasti turut menjadi korban ...."
Zhiya diam, tapi ia membenarkan kata-kata Zaki. Hanya saja hatinya begitu sesak memikirkan Ayah.