Contents
Wanita Berhati Emas
Rencanaku
"Eh, Ibu ngapain di sini? Papa, papaa!" pekik gadis kecil itu seperti aku ini adalah sosok yang sangat menyeramkan. Dia masih terus memekik sampai hampir menangis. Ya Allah, sikap Alena padaku yang seperti itu, jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan perlakuan yang selalu kuterima dari Mas Kahfi.
***
Siang itu saat sedang membersihkan kamar Alena, tanpa sengaja aku menemukan undangan untuk orang tua dalam rangka penyerahan piagam bagi peraih tiga besar terbaik di kelas.
"Alenaku ternyata menjadi peringkat kedua di kelasnya," ucapku dengan mata yang mulai berkabut. Kubaca lagi selembar kertas putih yang tertoreh nama Alena di atasnya itu secara perlahan. Acara penyerahan piagam akan dilaksanakan Hari Sabtu besok. Bersamaan dengan pengambilan raport semester pertama.
"Ah, tapi, mana mungkin Alena dan Mas Kahfi mau mengajakku. Sampai sekarang saja mereka tidak membahas mengenai ini, padahal acaranya tinggal besok," gumamku lebih kepada diri sendiri. Mereka lupa atau memang sengaja tidak memberitahuku?
Selama ini, aku memang tidak pernah mengetahui apapun tentang kegiatan sekolah Alena, karena semua ditangani oleh Mas Kahfi. Ia tidak mengizinkanku untuk mengetahui sedikitpun tentang pendidikan Alena. Alena juga tidak pernah bercerita tentang kegiatannya di sekolah padaku.
Sebagai ibu, tentu saja diri ini ingin turut menyaksikan Alena menerima piagam, tapi rasanya tidak mungkin Mas Kahfi akan mengizinkanku datang. Lalu bagaimana caranya untuk bisa melihat Alena? Apa datang diam-diam saja, ya? Mas Kahfi tidak perlu tau. Aku hanya ingin melihat Alena dengan piagamnya, itu saja. Setelah itu langsung pulang.
***
Suara mobil Mas Kahfi terdengar memasuki halaman. Bergegas aku berjalan ke depan untuk menyambut suami dan putriku yang baru saja tiba. Sebelum pintu mobil terbuka dan mereka turun, sayup suara Alena merasuk masuk ke telinga.
"Besok kita ajak Tante Sera, ya, Pa. Alena mau Tante Sera lihat waktu nanti Alena menerima piagam."
Dadaku bergemuruh lagi. Ternyata benar dugaanku kalau mereka tidak ingin aku datang di acara itu. Hati ini terasa nyeri atas penolakan putriku sendiri.
Kuhirup napas dalam untuk meredam rasa sesak yang mulai menyelimuti dada, lalu menyeka air mata agar tidak sampai menetes.
"Boleh juga. Biar nanti Papa tanyain Tante Seranya dulu, ya, dia bisa atau enggak. Takutnya dia lagi sibuk," sahut Mas Kahfi lembut. "Yuk, kita turun."
"Yaaah, Pa, bujukin dong Tante Sera-nya supaya mau datang," rengek Alena.
"Iya, iya, Sayang."
***
Saat sedang menonton televisi di sore harinya, aku coba mendekati Alena lagi dengan memberikan susu cokelat kesukaannya.
"Sayang, ada yang mau Alena ceritain ga sama ibu? Gimana nilai ulangan semesternya kemarin? Alena dapat juara berapa? Ambil raportnya kapan?" tanyaku lembut sambil bermaksud mencari tahu tentang acara besok.
"Gak ada, Bu. Alena ga tau kapan ambil raportnya. Nilainya juga belum keluar. Kalau mau tahu, Ibu tanya aja sama Bu Guru," ketus Alena sambil matanya tetap fokus ke arah televisi.
Aku berusaha tersenyum meski dalam hati sebenarnya kecewa karena Alena tengah berbohong.
"Alena cerita dong sama ibu kalau ada kegiatan di sekolah. Ibu, kan, mau tau juga apa saja kegiatan Alena di sekolah," tukasku penuh harap.
"Udah, deh, Bu, ga usah kebanyakan nanyanya. Ganggu! Alena lagi nonton!"
Sontak, mataku memanas mendengar kalimat kasar yang keluar dari mulut putriku, tetapi sebisa mungkin kutahan agar air mataku idak sampai turun di depan Alena.
***
Hari itu adalah hari pengambilan raport sekolah Alena sekaligus penyerahan piagam penghargaan. Pagi-pagi sekali Alena sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah bersama Mas Kahfi.
"Kok hari Sabtu gini mau ke sekolah, Sayang? Memangnya ada acara apa?" tanyaku pura-pura tidak tau.
"Gak-gak a-da acara apa-apa, cuma mau ikut ekskul aja! Iya, kan, Pa?" Alena melirik ke arah papanya seraya meminta dukungan, lalu dijawab Mas Kahfi dengan anggukan.
"Udah kamu gak usah tanya-tanya. Alena biar jadi urusanku," ucap Mas Kahfi di tengah aktifitas sarapan paginya.
Walaupun sedih dan kecewa karena mereka tidak mengajakku ke acara penting Alena, aku usahakan untuk tetap bersikap biasa. Dengan wajah dibuat seceria mungkin, aku mengantar mereka hingga ke pintu depan dan masuk ke dalam mobil.
Kuhela napas berat seraya berpikir. Apa yang harus kulakukan untuk melihat Alena menerima piagam?
***
Saat sedang membantu Bik Sumi mencuci piring di dapur, tanpa sengaja aku menjatuhkan piring hingga hancur berantakan. Suara pecahannya sedikit membuatku tersadar akan lamunan.
"Ya Allah, Ibu ga papa? Udah sini biar saya aja yang nerusin, Bu."
"Ga papa, Bik. Biar saya lanjutin aja, tanggung tinggal dikit lagi, kok."
"Bu Runa, kenapa? Kok kayak lagi ada yang dipikirin gitu?" tanya Bik Sumi. Sepertinya ia memperhatikan kegusaranku sedari tadi.
"Hari ini Alena terima raport, Bik, dan akan ada penyerahan piagam juga karena dia berhasil meraih peringkat kedua di kelasnya. Saya ingin sekali datang untuk melihatnya menerima piagam," ceritaku pada akhirnya kepada Bik Sumi.
"Ya udah, ibu ke sana aja. Ibu, kan, orang tuanya Non Alena, pasti diundang."
"Iya, Bik. Tapi Alena gak ngomong apa-apa ke saya."
"Hmm, kok aneh? Seharusnya, kan, Non Alena bilang ke ibu," ujar Bik Sumi lagi.
"Itulah, Bik. Saya tahunya juga karena nggak sengaja menemukan surat undangannya waktu kemarin lagi membersihkan kamar Alena, Bik. Saya ingin sekali datang ke sana, tapi takut Mas Kahfi marah seperti tempo hari. Kira-kira saya harus gimana ya, Bik?"
"Gini aja, kalau menurut Bibik, Ibu datang saja ke sana. Ibu perkenalkan diri sebagai ibu dari Non Alena."
"Mereka pasti akan marah kalau tiba-tiba saya muncul, Bik. Saya nggak mau, ah, kalau sampai dimarahi di depan umum. Bibik, kan, tahu gimana sikap bapak sama saya."
"Bu, Bibik punya ide bagus."
Bersambung.