Contents
Ikatan Cinta: Ketika Aldebaran
7. Ketika Aldebaran Cemas
Jakarta, Juni 2009
Aldebaran biasanya tidak pernah ceroboh. Sebelum bepergian ke mana pun, dia selalu memastikan tidak melewatkan apa pun. Yang selalu begitu biasanya adalah saya, sehingga selalu mendapat ceramah panjang lebar darinya. Namun hari ini tumben sekali, dia meninggalkan barang keramat yang biasanya selalu dia bawa ke mana pun: dompet.
"Maaf banget ya, Ndin. Mama ngerepotin kamu."
Mama Rosa menyentuh lengan saya sambil menyodorkan dompet yang beliau minta untuk saya antarkan pada pemiliknya.
"Enggak apa-apa, Ma. Lagian Andin juga udah pernah ke kosan Kak Evan. Jadi Andin tahu alamatnya," jawab saya. Untung sebelumnya Aldebaran sudah izin ke Mama Rosa dan bilang ke mana dia pergi. Untungnya lagi, saya memang pernah diajak ke kosan Kak Evan, teman kuliah Aldebaran, sehingga tahu di mana alamat pria itu.
"Ya udah, hati-hati bawa motornya, ya. Jangan ngebut." Mama Rosa mengangguk dengan senyuman hangat terpatri di wajah.
Saya langsung bergegas pergi sebelum hari semakin sore dan hujan akan turun. Ah, seharusnya memasuki bulan Maret memang sudah musim kemarau, tetapi entah mengapa meski sekarang sudah bulan Juni, kadang-kadang masih terjadi hujan. Alam kadang selalu bercanda.
Setelah membelah jalanan sekitar setengah jam, akhirnya saya tiba di depan kosan campur berlantai dua di kawasan Kebayoran Baru. Jalanan Jakarta pada saat itu memang sudah ramai kendaraan, tetapi tentu tidak semacet sekarang.
Turun dari motor matic yang baru bisa saya gunakan sekitar tahun lalu, saya berjalan santai memasuki rumah kost tersebut dengan dompet Aldebaran yang saya tenteng di tangan.
Pintu kosan tersebut terbuka lebar, tetapi begitu sepi. Saya mungkin akan ragu apakah Aldebaran ada di dalam atau tidak jika saja saya tidak melihat motornya terparkir di depan tadi.
Sambil menghubungi ponsel Aldebaran sekali lagi, saya mengetuk pintu. Tidak etis rasanya jika saya menyelonong masuk begitu saja. Apalagi saya tidak tahu letak pastinya kamar Kak Evan.
Seorang pria berbadan tinggi kurus dengan rambut agak ikal keluar dari salah satu pintu kamar. Tepatnya pintu kedua sebelah kanan dekat pintu utama.
"Kak, mau ketemu Kak Evan. Ada?" tanya saya seketika.
Pria itu langsung menolehkan wajah ke belakang. "Masuk aja, Dek. Kamar paling ujung. Tuh, yang pintunya kebuka," gumamnya, mengedikkan dagu ke arah kamar yang disinyalir adalah kamar Kak Eva.
Usai memberikan informasi tersebut, pria itu lekas masuk kembali ke kamarnya. Sementara saya bergeming bingung sesaat. Kenapa kosan sebesar ini sepi sekali? Apa jangan-jangan para penghuninya sedang pulang kampung? Batin saya.
Sambil melihat-lihat sekitar, saya berjalan menyusuri kosan tersebut sampai tiba di depan pintu kamar yang saya taksir adalah kamar Kak Evan. Namun, alangkah terkejutnya saat saya sedikit membuka pintu kamar tersebut. Sebab, saya melihat sesuatu yang tidak seharusnya saya lihat.
Tubuh saya kaku seketika. Seolah baru saja disirami oleh air es, saya membeku. Bahkan tangan saya tidak mampu lagi untuk menggenggam apa pun hingga dompet Aldebaran jatuh begitu saja.
Suara yang dihasilkan oleh dompet Aldebaran yang terjatuh membuat sepasang manusia di dalam ruangan tertutup tersebut seketika terperanjat kaget. Bukan hanya mereka, saya juga terkejut bukan kepalang. Buru-buru saya menyadarkan diri saya dan berjalan meninggalkan tempat tersebut secepat yang saya bisa.
Sialan.
Sialan.
Sialan.
Entah mengapa saya hanya ingin terus mengumpat saat itu. Wajah saya terasa begitu panas. Mungkin ia telah memerah pada saat itu.
Dengan pikiran yang kosong, terlalu terkejut sampai tidak bisa mencerna apa pun, saya melajukan motor dan pergi meninggalkan kawasan kosan tersebut. Saya ... tidak tahu apa yang saya lakukan saat itu.
Bukannya kembali ke rumah, saya malah melajukan kendaraan ke arah yang saya sendiri tidak tahu ke mana. Saya benar-benar syok sampai tidak menyadari apa pun, sampai akhirnya setetes air yang hinggap di pucuk hidung membuat saya melebarkan mata dan tersadar. Sialnya, setetes air tersebut membawa banyak teman pada akhirnya.
"Aihs, kenapa harus hujan, sih?" saya menggerutu setengah kesal. Apalagi tanpa aba-aba hujan makin deras. Terpaksa saya menepi untuk berteduh. Untungnya, ada sebuah kedai mie ayam dan bakso yang kosong.
Meski awalnya tidak berniat untuk makan, tetapi perut tidak bisa dikondisikan. Hujan deras, udara dingin, dan aroma kuah ayam yang kaya dengan rempah, membuat perut seketika keroncongan.
Saya memutuskan masuk. Lekas disambut oleh seorang ibu berpakaian gamis yang bertanya hendak pesan apa.
"Mie ayam satu, Bu. Sayurnya agak banyakan."
"Baik, Neng. Kalau mau angetin badan, di sana ada teh panas, Neng. Ambil saja," balas si Ibu.
Saya mengangguk ramah. Mengambil gelas dan menuangkan teh dari dalam teko alumunium besar. Benar saja, asap langsung mengepul begitu saya menuangkan cairan di dalam teko tersebut. Sepertinya, teh tersebut belum lama dibuat.
Menyesap teh dan menghidu aromanya yang menenangkan membuat saya kembali terhanyut ke dalam lamunan panjang. Sialnya, benak saya terus mengulang adegan demi adegan yang tadi saya lihat di kamar kos Kak Evan.
"Lo gila, Ndin!" monolog saya, memukul kening dengan tangan yang terkepal.
Ponsel di dalam tas kecil saya bergetar. Nama Mas Al terpampang di layar begitu saya mengambil benda persegi tersebut. Bukan hanya itu, di atas kiri layar juga tersemat ikon panggilan tak terjawab. Sepertinya Aldebaran menghubungi saya sejak tadi, tetapi saya tidak menyadarinya. Namun bahkan, setelah sadar seperti saat ini pun, saya tidak memiliki keberanian untuk mengangkat.
"Neng, mie-nya. Kalau kurang apa-apa bilang saja, ya, sama Ibu."
"Baik. Terima kasih, Bu."
Usai Ibu pemilik kedai berlalu, lekas saya memakan mie ayam di hadapan sebelum ia berubah menjadi lembek. Dalam waktu singkat, mie di mangkok pun ludes. Sepertinya, saya memang kelaparan.
Di luar hujan masih deras meski tak sederas sebelumnya. Namun mengingat langit sudah benar-benar gelap dan hujan seperti ini akan sangat sulit berhenti, saya memutuskan untuk pulang saja. Tidak apa-apa mungkin menerobos hujan sebentar saja, pikir saya.
Merogoh tas berniat untuk membayar, kening saya berkerut. Pasalnya, saya tidak bisa menemukan dompet kecil yang biasa saya bawa.
Tunggu!
Jangan bilang, saya membawakan dompet Aldebaran tetapi lupa membawa dompet saya sendiri?
Aihs. Sial, lagi.
Saya merenung sejenak, mencari cara. Pasalnya tidak ada sepeser pun uang yang saya bawa sekarang.
Getar ponsel di dalam tas kembali terasa. Tulisan 'Panggilan Masuk Mas Al' di layar berwarna kuning terpampang. Pada detik itu, saya tidak memiliki pilihan lagi selain mengangkatnya. Dan ....
"Andin, kamu di mana?" suara Aldebaran dengan nada yang melengking terdengar di ujung sana.
***