Try new experience
with our app

INSTALL

Ikatan Cinta: Ketika Aldebaran 

5. Ketika Aldebaran Membujuk

Masih ketika Aldebaran sakit


Sepuluh panggilan tak terjawab dan lima pesan belum dibaca dari Mas Al terpampang di layar ponsel saya. Senyuman tipis tersungging begitu saja di wajah. Saya tahu persis bahwa pria itu pada akhirnya sadar dia membutuhkan bantuan saya pada saat ini. Bisa-bisanya dia mengusir secara langsung seperti tadi.


Mas Al:

(Andin cantik, Mas enggak ngusir kamu tadi. Sini coba balik lagi.)


Mas Al:

(Ndin, Mas kayaknya kutuan? Apa ketombean? Mas minta maaf, deh. Mas beneran butuh bantuan kamu buat keramas.)


Mas Al:

(Andin.)


Mas Al:

(Kamu enggak inget kebaikan yang Mas lakuin ke kamu? Tega banget giniin Mas.)


Mas Al:

(Kamu enggak tahu siapa yang buangin ingus kamu waktu kamu nangis di sekolah digangguin bocil nyebelin? Yang ngobatin luka kamu pas jatoh dari sepeda? Yang gendong kamu waktu kejebur got habis ngejar kucing? Yang buatin PR kamu kalau kamu keasyikan main sampai lupa ngerjain tugas? Yang motongin rambut kamu kalau kamu ngerasa udah gerah rambut panjang? Yang anter jemput kamu ke sekolah dari mulai pakai sepeda terus ganti jadi motor?)


Astaga, saya meringis membaca rentetan pesan yang dikirim oleh Aldebaran. Jika diingat-ingat memang, Aldebaran hampir selalu ada di setiap momen dalam hidup saya. Entah itu ketika momen bahagia, sedih, bahkan hingga memalukan. Pria itu adalah saksi bisu dari perjalanan hidup saya sejak saya baru brojol ke dunia bahkan hingga detik ini.


Mencuci wajah sebentar kemudian mengeringkannya dengan tissue, saya bergegas keluar dari toilet. Memang saya tidak pergi ke mana-mana sebenarnya. Setelah keluar dari ruangan Aldebaran barusan, langsung berbelok ke toilet untuk buang air. Sudah kebelet. Dan yaaa sekalian saja memberikan pelajaran pada lelaki yang berani mengusir keberadaan saya tadi.


Ceklek!


Dapat saya lihat Aldebaran langsung memusatkan atensi waktu saya membuka pintu kamar rawatnya. Tampang pria itu terlihat terkejut sekaligus lega atas kehadiran saya di sana.


"Astaga, Ndin! Kirain Mas kamu enggak mau balik lagi," gumam Aldebaran setengah putus asa. Wajahnya begitu mengiba.


Saya berusaha mempertahankan wajah dingin yang saya buat saat terakhir meninggalkan ruangan tersebut. "Aku balik cuma karena mau balas budi aja. Males banget sama orang yang ngungkit-ngungkit kebaikannya."


Aldebaran terkekeh geli mendengar sindirian pedas saya. "Ngambek nih ceritanya? Tersinggung?"


Sudah tahu iya, masih saja nanya. Untung Andin baik hati dan kesabarannya setebal kamus Oxford. Tapi bohong.


"Berapa lama enggak keramas?" saya bertanya dengan ketus.


Aldebaran tampak merenung sejenak, berpikir. "Kurang lebih sepuluh hari kayaknya," tandas pria itu setelah hampir lima detik memikirkan jawaban.


Sontak saja saya terperangah tak percaya. Seorang Aldebaran yang hampir seumur hidupnya sering mengkritik Andin jarang mandi dan keramas, kini dia sendiri yang begitu jorok.


"Mas, rekor terjorok aku aja enggak keramas satu minggu! Gimana bisa Mas yang biasanya paling vokal ngomong aku bau domba sekarang malah gak keramas sepuluh hari? Mas sehat?!"


Aldebaran berpura-pura menutup kuping mendengar lengkingan suara saya yang begitu nyaring. Bahkan seorang Nenek di bangsal samping pun tampak terbangun mendengar suara saya. Dia terlihat misuh sejenak sebelum kembali terlelap dalam tidurnya yang sesekali mendengkur halus.


Aldebaran bergegas mengeluarkan sesuatu dari dalam nakas di samping tempat tidur. Sebuah handuk dan baju ganti yang sepertinya memang sudah dibawakan oleh Mama Rosa sejak tahu bahwa Aldebaran dirawat. Tidak ada yang lebih telaten mengurus seseorang ketimbang seorang ibu, bukan? Bahkan di samping tumpukkan kain yang disinyalir adalah baju ganti Aldebaran, terdapat pula sebuah pouch berisi peralatan mandi.


"Mama Rosa yang bawain?" saya bertanya karena penasaran.


Aldebaran mengangguk singkat. "Iya, siapa lagi yang mau rempong bawain ini semua ke sini?"


Saya hanya mendesah pelan. Dia pikir dirinya tidak rempong. Dia bahkan bisa lebih rempong jika sudah mengurusi orang sakit. Contohnya saat saya sakit.


"Bisa jalan sendiri enggak? Atau mau pakai kursi roda?"


"Pakai kursi roda," dia membalas agak pelan.


"Lemah amat kudu pakai kursi roda?"


"Lah, emang lagi sakit, ya lemah lah. Gimana, sih, kamu?"


"Tapi kalau ngomel masih punya tenaga?" sindir saya, membuat Aldebaran hanya bisa berdecak pelan. Lagi-lagi saya membuatnya kesal, tetapi saya senang.


"Kalau berdiri lama-lama mah ambruk, Andin. Emang mau kamu nahan bobot tubuh Mas dengan badan mungil kamu itu?"


Saya tersenyum singkat. "Ngapain nahan tubuh Mas? Biarin aja Mas ambruk ke lantai, kan mantep entar bangun-bangun encok?"


Decakkan Aldebaran sekali lagi terdengar. "Kamu beneran balas dendam gara-gara Mas tadi ngusir kamu nih ceritanya?" dia bertanya dengan nada yang terdengar seperti, ya ... sedikit mengiba, mungkin?


Tidak menjawab pertanyaannya, saya langsung keluar untuk meminjam kursi roda kepada perawat guna memandikan bayi besar. Beberapa menit kemudian ketika kembali, saya malah disuguhkan dengan pemandangan yang seketika membuat saya terdiam.


Aldebaran tengah terlelap. Mungkin dia benar-benar lelah, saya pikir. Tidak, dia memang sungguh lelah. Lihat saja wajah pucat dengan sepasang matanya yang dihiasi oleh lingkar hitam yang cukup pekat. Sejenak, jantung saya mencelus. Iba melihatnya terlihat lemah seperti itu. Padahal biasanya, Aldebaran terlihat sehat dan bugar, tetapi kini kebalikannya.


"Ndin," panggil pria itu sesaat setelah dia kembali terbangun. "Gak boleh marah, ya? Maafin Mas. Beneran enggak maksud buat kamu tersinggung dengan cara ngusir kamu kayak tadi."


Hal pertama yang disampaikan pria itu begitu melihat saya kembali justru adalah permintaan maaf dengan wajah sendunya. Manusia mana yang tidak akan terenyuh karena hal tersebut? Niat saya untuk ngambek lebih lama jadi urung.


"Mau jadi keramas enggak?" tanya saya, alih-alih menjawab ucapannya barusan.


Aldebaran berusaha bangun dengan susah payah. Tampak sekali dia begitu lemas sekarang. "Jadi. Tapi kamu ikhlas, nih?"


"Enggak. Kalau Mas udah sehat aku mau minta bayaran," saya jawab dengan wajah serius. Tapi pria itu malah tersenyum, entah karena apa.


"Bayarannya pasti bukan uang, kan? Mau minta apa?"


"Enggak sekarang, nanti aku pikirin mau minta apa."


Aldebaran terkekeh lemah. Lalu bergegas untuk turun dari ranjang. Tapi karena energinya yang terbatas, dia terlihat kepayahan. Jelas saja saya tidak tega melihat hal itu sehingga pada akhirnya saya berinisiatif untuk membantu. Tentu saja hal itu membuat senyuman lebar seketika terpatri di wajah lelaki itu.


"Makasih, ya. Andin-nya Mas Al baik banget."


Saya melirik sebal padanya. "Andin-nya Mas Al dari Hongkong," seloroh saya ketus, membuat Aldebaran terkekeh pelan.


Bisa-bisanya ketika sedang sakit seperti ini Aldebaran menjadi lebih sering tersenyum. Padahal biasanya butuh effort lebih keras agar bisa melihat wajah cerianya.


***