Contents
Ikatan Cinta: Ketika Aldebaran
4. Ketika Aldebaran Sakit
Saking jarangnya Aldebaran sakit, ketika saya kecil, saya sampai beranggapan bahwa Aldebaran adalah Superman. Yah, saya tahu jelas bahwa aktivitas Aldebaran sangat padat setiap harinya. Pria itu seolah tidak pernah memiliki waktu senggang untuk sekadar berleha-leha. Pokoknya, Aldebaran adalah pribadi yang berkebalikan dengan saya yang sukanya leha-leha dan mengerjakan tugas jika sudah mepet tenggat waktu.
Di tengah aktivitasnya yang padat itu, sangat menakjubkan bahwa Aldebaran tidak memiliki banyak keluhan terhadap kesehatan. Waktu kecil, Aldebaran memang agak lamban. Tapi dia tekun dan rajin jika mengerjakan sesuatu. Setiap hari waktunya selalu diisi oleh kegiatan yang positif. Kadang hal itu membuat ibu saya iri, berharap saya memiliki setengah dari sifat rajin Aldebaran. Namun tentu saja harapan tersebut tidak pernah terwujud. Hehehe.
Ketika Aldebaran pada akhirnya tumbang, jelas hal itu membuat semua orang khawatir. Jarang sakit, tapi sekali sakit pasti harus dilarikan ke UGD dan dirawat di rumah sakit. Begitulah Aldebaran. Seperti yang terjadi pada sekitar akhir tahun 2008. Sibuk skripsian sampai bergadang setiap hari, pola makan berantakan, jarang keluar kena sinar matahari, jarang healing, stres, akhirnya tipes. Astaga.
Dengan sekeranjang buah yang dititipkan oleh Mama, sore-sore saya datang menjenguk Aldebaran ke rumah sakit. Namun alangkah tak habis pikirnya saya saat melihat Aldebaran tengah berbaring setengah duduk, sementara di pangkuannya laptopnya menyala.
"Udah dipasang selang infus, masih aja ngeyel buka laptop ngerjain skripsi," gerutu saya, membuat Aldebaran mengalihkan atensi dari laptopnya. Sepertinya dia baru sadar bahwa saya datang.
Meletakkan keranjang buah yang saya bawa di atas nakas samping tempat tidur Aldebaran, saya lantas berdiri sambil mensedekapkan tangan di dada, menatap lurus pada sosok Aldebaran yang juga menatap saya demikian.
"Kamu datang sendirian?" tanya Aldebaran setelah beberapa sekon. Sepasang netranya menyisir pandang ke sekitar. Mungkin mencari keberadaan Mama Rosa maupun orang tua saya. Namun nihil, karena pada kenyataannya saya memang datang sendirian.
"Kenapa? Takut kena omel Mama Rosa?" saya bertanya sarkastik.
Aldebaran mengedikkan bahunya. "Kamu pikir Mama bisa lebih resek dan nyebelin daripada kamu?" dia menjawab enteng.
Saat itu juga kedua mata saya membulat sempurna. "Jadi Mas mau bilang kalau aku resek dan nyebelin?"
Aldebaran malah menyengir lebar. "Itu kamu tahu."
"Ihsss! Ngeselin."
"Buah dari siapa?" Aldebaran melirik keranjang buah yang saya simpan.
"Yang bawain siapa?" saya balik tanya.
Pria itu menyunggingkan senyum tipis. "Ya, kan, siapa tahu kamu cuma bawain aja, terus buahnya sebenarnya titipan orang."
"Cih, aku yang beli tahu! Habis ngorek celengan."
"Bangga banget habis ngorek celengan," gumam pria itu, terdengar seperti meledek. Tentu saja saya agak kesal dibuatnya. "Mau jeruknya, dong. Kupasin."
Namun meskipun agak kesal, tetap saja saya menuruti permintaan lelaki itu. Jika saja dia tidak sakit seperti sekarang, sudah pasti saya tidak sudi melakukannya. Ehm, mungkin.
Sementara saya mengupas buah jeruk Mandarin seperti yang dipinta, Aldebaran kembali sibuk dengan layar laptop di pangkuan. Sesekali saya melirik pria itu. Terlihat dia begitu fokus menggulir layar melalui touchpad laptopnya. Sepertinya dia tengah membaca ulang bahan yang dia tulis.
"Emang enggak bisa ditinggalin barang sebentar pun gitu? Gak pantes banget lihatnya, udah kena tipes masih aja sibuk sama skripsi."
Aldebaran menoleh sejenak, bertepatan dengan saya yang selesai mengupas jeruk sehingga sekalian saya menyuapinya. "Kamu juga bakal ngerasain sendiri entar, Ndin," jawabnya setelah menelan jeruk yang dia makan dari tangan saya.
Saya bergidik seketika. "Idih, enggak. Aku, sih, ogah kalau sampai gila-gilaan kuliah kayak Mas. Mau segimana pun pentingnya skripsi, kesehatan tetap yang utama."
"Yakin?" delik Aldebaran seolah tak percaya.
Saya mengangguk dengan mantap. "Yakin lah! Nih, buktinya sekarang jelang ujian nasional aku masih bisa kelayaban!" pungkas saya dengan begitu bangganya pada saat itu.
Aldebaran, entah dengan kekuatan dari mana, berhasil menggapai saya dan mendaratkan jitakkan manis di kepala saya yang lucu.
"Kamu tuh bener-bener, ya! Yang kayak gitu dibanggain, bukannya merefleksikan diri, berbenah diri, mulai mikir. Ini malah ...."
Dengam ringannya saya malah cengengesan. "Ngapain jor-joran banget belajar, ah? Kalau udah terjun ke dunia nyata mah tetep aja yang pinter dan rajin kalah sama orang yang punya koneksi. Satu lagi, orang yang punya keberuntungan."
Helaan napas Aldebaran terdengar begitu keras mendengar pernyataan saya tersebut. Dia pasti sangat kesal.
"Susah ngomong sama orang yang dari awal aja mindset-nya udah kayak gitu."
"Aku ngomongin fakta, Mas!" saya bersikeras.
Aldebaran membuka mulutnya. Mengerti bahwa pria itu kembali meminta jeruk, saya menyuapinya. Lagi.
"Tapi gak semua orang punya koneksi dan keberuntungan, bukan? Kalau enggak punya keduanya, ya minimal punya usaha. Kalau udah ikhtiar mah, enggak mungkin hasilnya nol banget. Iya, kan?"
Saya mengangguk agak keras beberapa kali. "Iya, iya, iya, Mas Aldebaran Teguh."
"Yeuh, dibilangin malah ngeyel," gerutu Aldebaran sebal. Saya hanya bisa menyengir kuda.
"Kalau Mama Sarah tahu Mas masih ngerjain skripsi di saat drop begini, pasti dia bakalan ngomel."
Aldebaran langsung melayangkan tatapan tajam. "Mama enggak bakalan tahu kalau enggak ada yang ngadu," pungkasnya, seolah menegaskan bahwa satu-satunya orang yang bisa membocorkan hal tersebut adalah saya. Dan itu, memang benar adanya.
"Aku enggak pernah ngaduin apa-apa, ya!" saya membela diri dari tuduhan tak langsung yang dilayangkan Aldebaran.
Tetap saja Aldebaran masih menatap saya dengan tatapan penuh peringatan. "Beneran, ihhh!" rengek saya, membual.
"Awas aja kalau sampai Mama tahu. Mas dirawat di rumah sakit juga kamu yang aduin ke Mama, kan?" tuding Aldebaran.
Saya mengangguk polos. "Masa Mas sakit terus Mama gak dikasih tahu? Durhaka banget jadi anak," seloroh saya.
"Lebih durhaka anak yang bikin orang tuanya khawatir terus."
"Lah, kondisi Mas yang kayak gini emang enggak bikin orang khawatir? Mau Mama enggak aku kasih tahu pun, lambat laun dia bakal tahu sendiri. Kata mama aku, insting seorang ibu itu kuat banget, Mas Al."
Aldebaran menghela napas panjang. Tampaknya berdebat dengan saya lebih sulit ketimbang berdebat dengan dosen atau teman-temannya. Lagian, masih sakit juga masih saja hobi ngomel. Kadang saya mikir, kok bisa-bisanya dia punya tenaga buat meladeni setiap perkataan saya?
"Konsentrasi Mas kayaknya jadi buyar gara-gara kamu datang. Bisa pulang aja enggak kamu?"
Ini bukan usiran secara halus, tetapi usiran secara langsung, to the point, tanpa basa-basi. Wow.
"Aku diusir?" saya bertanya dramatis.
Aldebaran mengangguk. "Enggak ngusir. Tapi alangkah baiknya kalau kamu pulang, begitu."
Saya mencebikkan bibir. "Enggak tahu terima kasih banget. Padahal niat ke sini mau bantuin Mas keramas. Kata Mama Rosa Mas belum keramas."
Bergegas saya berdiri dengan tampang judes. Meninggalkan Aldebaran di sana dengan langkah lebar. Dan di langkah ketiga yang saya ambil, teriakkan Aldebaran terdengar.
"Eh, enggak jadi! Ndin, sini balik lagi!"
Tapi, saya tidak peduli.
***