Try new experience
with our app

INSTALL

Paragraf Terbuang 

Laut Pasang

“Zhi, tak ada kapal yang berangkat, laut sedang bergejolak!" 


Kalimat Zaki membangunkan Zhiya dari ingatan masa lalu. Rasa bersalah pada Ayah semakin menggunung.


“Zhi harus bagaimana, Bang? Kalau Ayah tak ada, Zhi ... ikut bersama Ayah saja.” Tangis Zhiya pecah lagi.


“Hei ... istighfar, Zhi!” Zaki menepuk pundak Zhiya, berusaha menenangkan kekalutan. 


“Ada abang di sini, ada Alifa, Kin juga. Jangan bicara seperti itu!” Lembut namun tegas Zaki menasihati.


Zaki tahu bagaimana rasanya menjadi korban gempa yang menghancurkan Jogja tahun 2006 yang lalu. Kepergian keluarga, teman, serta kehilangan sumber penghasilan. Bukan hanya luka, duka dan buta arah membuatnya limbung. Ia tak mampu memandang kenyataan.


Toko komputer yang dirintisnya hancur tak bersisa. Ia harus tertatih lagi mencari ladang nafkah baru. Saat itu, Zaki baru setahun menikah dengan Alifa. Beruntung istri pilihannya adalah rekan seperjuangan yang tangguh. Keduanya mencoba jalan usaha baru, konsinyasi batik dari produsen, lalu menjualnya dengan berkeliling pintu-pintu rumah kenalan. Mereka juga menawarkannya pada penjual di pasar Beringharjo. Namun, butuh bertahun waktu dan kesabaran menggunung untuk bangkit. 


Mengenang masa ujian hidupnya, empatinya terdesak. Ia tak bisa abai pada penderitaan mereka yang terdampak gempa. Kepedihan itu tak mungkin hilang dalam waktu dekat. Mereka butuh uluran tangan untuk menguatkan hati. Bila hati telah tegar, dunia bisa dijelajahi kembali.


Zaki belum berhasil menghubungi komunitas pendaki di Lombok yang pernah bertemu saat pendakian di Rinjani. 


"Val, hubungi anak-anak, segera galang dana. Catat mereka yang mau jadi sukarelawan mandiri, Abang berangkat sama Zhiya kalau sudah ada kapal." 


Zaki segera membuat broadcast untuk menggalang dana. Dahulu, ia dan keluarganya banyak dibantu saat berada di Lombok, sekarang saatnya untuk membalas kebaikan mereka.


"Zhiya gak usah pulang ke kos. Di sini saja sampai berangkat sama teman-teman yang mau jadi relawan," usul Alifa. Ia khawatir Zhiya melakukan hal yang akan merugikan dirinya sendiri. Saat terluka, manusia jarang bisa berpikir, ia hanya sibuk merasakan sakitnya saja.


Zaki dan Noval setuju. Zhiya hanya diam, pandangannya kosong menatap layar televisi yang menayangkan dampak gempa Lombok. Belum ada tayangan tentang Sumbawa, Zhiya kalut. 


"Kak Zhiya, istirahat di kamar Kin aja, yuk?" Kinabalu meraih jemari Zhiya hati-hati takut tawarannya ditolak. 


"Heem Zhi, istirahatlah biar kamu tenang," Alifa menguatkan ajakan Kinabalu. 


 Zhiya lunglai, melangkah bersama Kinabalu yang menggandengnya. 


Tatapan mata Zhiya terpaku pada kertas-kertas yang berderet hampir memenuhi satu sisi dinding kamar Kinabalu. Diperhatikannya tulisan berbahasa Arab yang tampak familiar.


“Arrahman ... Arrahiim ... Oh, ini Asmaulhusna ya, Kin?”


“Iya Kak, Kin belum hafal semua, jadi Kin tulis besar-besar supaya mudah menghapalnya.”


“Tugas sekolah?” 


“Bukan tugas sekolah, tapi tugas sebagai muslimah. Nanti, kalau Kin sudah dapat haid ‘kan tidak boleh salat. Kata Mama, Kin tetap bisa mengingat Allah dengan zikir, memuji Allah dengan nama-nama yang baik. Jadi, Allah akan mengirim malaikat untuk selalu menjaga Kin dari keburukan.”


Kinabalu benar-benar beruntung. Selain kasih sayang, ajaran agama dan moral tercurah melimpah dari kedua orang tuanya. Tanpa sadar Zhiya membandingkan masa kecilnya dengan Kinabalu. Segera ditepisnya rasa iri yang tiba-tiba muncul, sungguh tak pantas.


Kala seusia Kinabalu, Zhiya belajar mengaji di masjid bersama teman-teman. Karena jarak yang cukup jauh, perjalanan menuju masjid diisi dengan senda gurau agar tak terasa. Tak jarang anak-anak lelaki mengajaknya berganti haluan, mencari arbei hutan yang tersembunyi di antara semak dan jelatang berduri. Ketika mentari senja semakin redup, mereka berlarian ke rumah. Hutan merupakan daerah terlarang bagi Zhiya dan anak-anak lain. Peringatan keras bahkan pukulan akan diterimanya bila melanggar. Bukan tanpa alasan, karena babi hutan masih banyak berkeliaran bebas di sana. Meski cenderung berada di bagian dalam hutan lebat, tak jarang mereka tersesat mencari makan, mendekat ke rumah penduduk.

Berkali-kali Zhiya dan teman-teman tertangkap basah dan dihukum, namun tak juga jera.


Bukan kenakalan masa kanak-kanak yang ia sesalkan, tapi Ayah dan Ibu yang tak pernah mengajaknya mengaji bersama. Senyum getir terpajang di wajah Zhiya.


Zhiya berbaring di samping Kinabalu yang bersiap tidur. Meski sangat sedih, Zhiya tak mau Kinabalu canggung menemaninya karena tak tahu harus bagaimana menghibur Zhiya. 


“Kin, paling suka waktu mendaki ke mana?” Zhiya membuka obrolan agar sedihnya terurai meski sejenak.


“Rinjani.”


“Apa yang menarik dari Rinjani?”


“Banyak tempat yang bagus, Kak. Ada sumber air panas, ada Goa Susu, terus ada Segara Anak. Kin mancing di sana dapat ikan besar sekali. Mancingnya juga pakai kayu, eh, ada juga yang pakai tracking pool ... ah, seru pokoknya.”


“Wah ... kakak jadi ingin ke Rinjani juga. Kakak baru pertama mendaki ke Merbabu, waktu kita bertemu. Padahal, rumah kakak di kaki Tambora, tapi sebelumnya tak pernah mendaki.”


“Tambora itu di mana, Kak?”


“Di Pulau Sumbawa. Dari Lombok, Kin harus menyeberang naik kapal feri sekitar satu jam. Di sana, Kin bisa lihat hewan- hewan berkeliaran di jalanan dengan bebas. Di sepanjang jalan menuju Tambora, pemandangan laut dan pantai menemani. Rumah-rumah panggung di sekitar pantai sangat asyik buat berfoto, sambil menunggu matahari terbenam ....”


Pikiran Zhiya menerawang, mengenang kampung halaman yang sudah tiga tahun ditinggalkan. Kepalanya menengok ke arah Kinabalu yang terlelap, pantas saja tak ada komentar dari mulutnya. Zhiya tersenyum memperhatikan wajah polos Kinabalu.


Zhiya meraih gawainya yang bergetar dengan sigap, mengira ada balasan dari Ayah atau Paman, atau siapa pun yang tahu keadaan Ayah. 


“Kamu gak apa-apa, Zhi? Ada kabar soal keluargamu di sana?" 


Aswin, setelah satu bulan tanpa kabar ia hanya mengiriminya pesan. 


“Belum ada kabar, aku bahkan belum bisa pulang mencari Ayah. Aku menginap di rumah Kin. Kamu gak perlu khawatir.”


“Mana mungkin aku tak khawatir, Zhiya maaf, aku belum bisa bantu kamu sekarang ...." 


Aswin mengalihkan chat menjadi video call, ia menceritakan sulitnya mencari celah agar bisa pergi dari Jakarta karena babenya memaksa Aswin untuk bekerja di kantornya. 


"Zhiya, aku kangen. Gak tepat banget waktunya ya? Tapi, aku pengen kamu tahu, aku akan bantu kalau kamu butuh sesuatu.” 


Zhiya tersenyum, perhatian Aswin memang hangat, tapi nyatanya ia tak ada di sisinya saat Zhiya butuh pelukan damai. 


“Maaf, Zhiya, yang kuat ya!" Akhirnya hanya satu kata ajaib yang tersampaikan. Meski tak cukup ajaib menyembuhkan gelisah hati keduanya. 


Malam merayap perlahan, heningnya membuat Zhiya resah mengingat Ayah dan Ibu. Diejanya setiap kejadian yang masih tertanam di ingatan.

Tanah kelahiran ia tinggalkan demi cita-cita idealis, jadi wanita karir di tanah Jawa. Bahkan, pertengkarannya dengan Ayah masih masih membuatnya merasa berdosa. Tapi, apakah keinginannya untuk bertemu Ibu adalah keinginan yang egois? 


Apakah selama ini Ibu bahagia? Setelah meninggalkanku dan Ayah?


Lewat tengah malam Zhiya belum juga terlelap. Ia keluar kamar menuju dapur, mencari air minum untuk menyejukkan tenggorokannya yang kering. Zhiya terkejut saat hampir bertabrakan dengan Zaki.


“Eh, Bang Zaki ....”


“Zhi, belum tidur?”


“Belum bisa tidur, Bang. Zhi mau minta air putih.”


“Ambil saja Zhi, itu gelasnya di sana.” Zaki menunjuk lemari dapur berkerangka alumunium. Zhiya melangkah sesuai petunjuk. 


“Abang mau masak mie, kamu mau?”


“Boleh Bang, Zhiya buat sendiri saja biar Abang gak repot.”


“Gak apa-apa biar sekalian. Kamu duduk saja, tunggu matang.”


 Sepuluh menit kemudian, disodorkannya semangkuk mie rebus yang masih mengepulkan asap. Zaki duduk di berhadapan dengan Zhiya, terhalang meja.


"Di Sumbawa ada siapa saja selain Ayah dan Ibu?"


"Hah?” Zhiya terkejut mendengar kata Ibu. 

Zhiya menangis lagi, Ibu adalah masalah terbesar Zhiya. Zaki hanya bisa menepuk pundak Zhiya pelan. 


“Setiap menyebut Ibu kamu pasti menangis, kamu mau cerita? Mungkin saat ini, itulah yang kamu butuhkan, Zhi. Abang siap mendengarkan."


Senyum dan tatapan Zaki yang melontarkan kata-kata penuh perhatian, membuat Zhiya merasa aman untuk menceritakan bebannya. 


Zaki mengajak Zhiya berdiskusi seperti menggelar papan catur. Keduanya bertukar ide, mengatur langkah setiap bidak untuk melancarkan serangan terampuh, agar sampai ke tujuan, melumpuhkan akar masalah. Zaki menuntun Zhiya agar fokus pada solusi. 


"Ya, banyak yang menderita di sana, sedang Ayah mungkin masih hidup." Zhiya bermain dengan logika agar hatinya tak terlalu lara.


"Berdoa saja, Zhi. Besok kita cari info lagi soal kapal."