Contents
ASTER
7. Bertemu (Bagian 1)
“Green, maaf kita gak bisa sama-sama lagi.”
“Alta, kamu kenapa? Kamu udah janji gak akan tinggalin aku, sekarang kenapa begini? Aku salah apa, Al?” tanya Green dengan suara bergetar. Ia kaget dengan kehadiran Alta yang tiba-tiba dan ingin mengakhiri hubungan mereka.
“Kamu gak salah apa-apa Green, aku yang salah, aku yang gak bisa tepati janji.” Suara Alta pun bergetar saat mengatakannya, sangat jelas bahwa lelaki itu menyesal karena mengingkari janjinya pada Green.
“Cerita dulu sama aku, ada apa sebenarnya?”
“Aku minta maaf Green, aku harus pergi.”
“Alta, aku mohon jangan tinggalin aku.”
“Green, maaf.”
“Jangan pergi.”
Dalam mimpinya, jelas sekali Green melihat Alta berbalik arah, pergi meninggalkannya tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di belakang lelaki itu ada seorang wanita yang menanti, wajahnya samar, Green tak bisa melihat jelas siapa sosok tersebut.
Green berteriak memanggil nama Alta, menahannya agar tetap tinggal, namun laki-laki itu terus melangkah pergi tanpa menoleh ke arahnya lagi. Saat hendak menyusul, ada sebuah tangan yang menahannya sembari mengatakan, “Saya di sini Green.”
Tangan itu, ya itu tangan besar seorang lelaki yang begitu hangat dan menenangkan. Seketika Green fokus pada pemilik tangan tersebut, senyumnya tulus, tatapannya hangat, namun bukan laki-laki itu yang Green mau. Green tidak ingin yang lain, ia hanya ingin Altanya. Green menepis tangan itu dengan kasar kemudian berlari mengejar Alta yang telah hilang dari pandangan.
Hingga akhirnya Green terbangun, matanya terbuka sempurna. Keringat mengucur deras di kening dan pelipisnya, ini kali kedua ia bermimpi tentang Alta dan semuanya buruk. Tuhan apakah ini petunjuk bahwa hubungannya dan Alta akan segera berakhir?
Green melihat ada tangan besar yang menggenggam jemarinya, pemandangan pertama yang ia lihat pun asing, ia baru sadar bahwa saat ini tengah berada di kamar Cherry. Lantas siapa pemilik tangan ini? apakah ini…,
“Kamu mimpi buruk?” Belum sempat Green selesai bertanya pada dirinya, pemilik tangan itu membuka suara.
Green mengelap keringat dan mengusap air mata yang tak sengaja menetes terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Langit. “Saya gak apa-apa.”
“Minum dulu.” Langit menyodorkan segelas air mineral pada Green yang langsung diterima. “Terima kasih, Kak.”
Langit hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Sadar bahwa tangannya masih menggenggam jemari Green, Langit langsung menariknya, takut Green tidak nyaman.
“Maaf Green, saya gak bermaksud..,”
“Saya mohon Kak, tolong jaga jarak sama saya,” potong Green dengan suara lirih.
“Kenapa?” tanya Langit ingin tahu.
“Kak, tolong…,” mohon Green.
Green tak ingin mendengar apapun lagi dari mulut Langit. Baginya, apa yang ia katakan tadi sudah sangat jelas. Green tak ingin terlalu dekat dengan Langit atau lelaki manapun, fokusnya hanya pada Alta. Namun, apakah Alta menginginkan hal yang sama? Atau hanya Green saja yang berharap demikian?
Langit dapat melihat Green sedang tidak baik-baik saja, sejak mimpi buruk yang dialaminya tadi. Ia memilih mengalah, memberi jeda, dan keluar dari kamar Cherry tanpa mengatakan apa-apa.
***
Ini adalah hari Minggu terbaik dalam hidup Cherry. Pagi ini Green berada di rumahnya, ia tidak kesepian meskipun mengisi hari libur dengan mengerjakan tugas kuliah, setidaknya itu lebih baik daripada menggalau di kamar sendirian.
“Green, tadi malem gue kaya denger lo sama Kak Langit ngobrol soal mimpi buruk, bener gak sih?"
“Gak bener, kamu salah denger.”
Itu bukan suara Green, melainkan suara Langit yang tiba-tiba datang. Lelaki itu baru saja selesai olahraga, terlihat dari bajunya yang basah karena keringat. Mata Langit dan Green bertemu, namun Green segera mengalihkan pandangan.
“Beneran Green?” Cherry memastikan.
“Iya Cher, bener. Lagian lo kan tidur, orang tidur biasanya suka salah denger,” jawab Green asal.
Langit duduk dengan tenang sambil mengunyah roti tawar selai coklat, matanya tak lepas dari ponsel. Laki-laki itu tengah mengotak-atik ponselnya. Entah lah, sepertinya dalam hidup Langit semua hari adalah Senin.
“Oke, mungkin emang gue yang salah denger.”
“Habis ini Kakak mau keluar, kamu jaga rumah ya.” Langit telah selesai dengan sarapannya, ia menggeser kursi dan berlalu dari hadapan Green dan Cherry.
“Lo mau kemana?”
“Ada kerjaan.”
“Kerja terus, ini Minggu kak.”
Tak ada sahutan, Langit terus melangkah menuju kamarnya, mengabaikan perkataan Cherry. Green yang menyaksikan hal tersebut memilih diam, tak ingin ikut campur dengan urusan kakak beradik itu.
“Gue berasa tinggal sendirian di rumah ini Green,” adu Cherry pada Green yang sejak tadi tak banyak bicara.
“Lo sabar ya, mungkin emang Pak Langit lagi sibuk.”
“Dalam hidup Kak Langit itu kayak gak ada hari Minggu, semua Senin, heran!” Gerutu Cherry yang kesal karena sang kakak jarang sekali berada di rumah dan menemaninya.
Green tak memberikan tanggapan. Sejak mimpi buruk tadi malam pikirannya tak tenang, bahkan ia tak tidur sampai pagi. Terlebih sampai hari ini pun Alta belum juga menghubunginya, hal tersebut membuat Green semakin cemas dan khawatir.
“Green, ada masalah?”
“Gak ada Cher, yaudah yok, kerjain tugas,” ajak Green sambil tersenyum menutupi kegundahan hatinya.
Cherry tahu Green sedang tidak baik-baik saja, namun lagi-lagi wanita itu memilih menyimpan sendirian daripada bercerita padanya. Jika sudah begitu, Cherry tak bisa memaksa, ia akan menunggu sampai Green mau bercerita dengan sendirinya.
“Ayok, gue juga udah selesai baca.” Cherry mengajak Geen ke halaman belakang, hari ini mereka akan menyelesaikan tugas analisis novel karena tugas tersebut harus diserahkan dalam waktu dekat.
Green dan Cherry tiba di halaman belakang. Mereka langsung membuka laptop dan mengerjakan tugas itu tanpa basa-basi. Keduanya tampak serius membaca kemudian menyalin kutipan yang berkaitan dengan pokok pembahasan. Sesekali Cherry bertanya pada Green dan Green menjelaskan, begitupun sebaliknya. Langit yang melihat hal tersebut tersenyum, ia semakin yakin bahwa Cherry tidak salah memilih teman.
Setelah hampir tiga jam lamanya mereka berkutat dengan tugas, akhirnya Cherry dan Green dapat bernapas lega karena berhasil menyelesaikan tugas itu. “Akhirnya selesai jugaa.”
“Alhamdulillah,” ujar Green sambil meregangkan otot-ototnya.
Green berbaring sejenak sambil memejamkan mata. Ada banyak hal yang sudah terjadi dalam hidupnya, hal tersebut jugalah yang membuatnya bisa bertahan sampai hari ini. “Kamu hebat Green,” pujinya dalam hati.
Cherry ikut berbaring di samping Green sambil memainkan ponsel. Bertepatan dengan itu, terdengar suara seseorang yang sangat ia kenal, suara riang yang sudah lama tak ia dengar.
“Cherry anak gadis bunda…,” teriak wanita paruh baya bernama Kalila, langkahnya menuju taman belakang tempat Green dan Cherry berada.
Cherry yang menyadari bahwa itu suara bundanya, menatap Green yang juga menatapnya. “Bunda gue,” ucap Cherry yang paham arti tatapan Green.
Cherry berdiri disusul Green disampingnya, ia segera berlari menemui sang bunda. Green yang saat itu berstatus sebagai tamu tak tahu harus bereaksi bagaimana. Alhasil, ia hanya diam di tempat sembari menyaksikan seorang pria dan wanita paruh baya memeluk Cherry dengan hangat, tak lupa ada Langit di belakangnya. Lagi-lagi mata mereka bertemu, dan lagi-lagi Greenlah yang menghentikan aksi tatap-menatap itu.
Setelah saling melepas rindu, Kalila dan Jerry melihat ada manusia lain di tengah-tengah mereka.
“Itu siapa?” Kalila menunjuk Green sambil melangkahkan kakinya mendekat kearah Green.
“Kenalin ini Green te…,”
“Oh jadi ini calon mantu bunda,” potong Kalila dengan nada gembira, ia memeluk Green dengan hangat.
Langit yang menyaksikan hal itu segera mendekat, “Bun.., “
“Pantes selama ini kamu gak mau bunda kenalin sama anak-anak temen bunda, ternyata calon mantu bunda cantik begini.” Kalila menatap Green dan Langit secara bergantian, saat melihat Green Kalila tak bisa menyembunyikan tatapan kagumnya.
“Kamu cantik sekali sayang, nama kamu siapa?” tanya Kalila lembut.
Green yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi hanya menjawab pertanyaan Kalila dengan singkat. “Green, tante.”
“Bunda, mulai sekarang kamu panggil saya bunda.”
Green merasa hidupnya dalam bahaya, terlebih wanita yang minta dipanggil bunda ini mengatakan calon mantu pada dirinya, siapa yang akan menikah dengan siapa? Dirinya dan Langit? Tidak tidak, itu tidak boleh terjadi, ia masih sangat mencintai Alta. Langit harus bertanggungjawab atas kekacauan ini, Green menatap Langit dengan tatapan meminta penjelasan, Langit yang mengerti tatapan itu segera mendekat ke arah bundanya.
“Bunda, bunda duduk dulu, dengerin penjelasan Langit.” Langit mengajak bundanya duduk, diikuti dengan seluruh manusia yang berada di sana termasuk Green.
“Bunda, Green ini satu kampus sama Cherry, mereka lagi kerja kelompok,” Langit memulai penjelasannya, “Dan yang terpenting, Langit sama Green..,”
“Kalian akan segera menikah?” Kalila memotong penjelasan Langit.
Langit menghela napas berat, akan sulit baginya menjelaskan jika sang bunda sudah bersikap demikian. Langit menatap Cherry untuk meminta bantuan, namun yang ditatap justru bungkam dan tersenyum menggoda.
“Bun, Langit belum selesai ngomong, biarin Langit selesaikan dulu,” ujar Jerry—ayah Langit dan Cherry.
Kalila melengos, ia menatap Langit dan Jerry dengan tatapan kesal, dua laki-laki itu menurutnya sama saja, sama-sama sering mencari alasan.
“Sayang, kamu sudah makan? Bunda bawa banyak banget oleh-oleh khas Bandung, nanti kalau pulang kamu bawa ya, atau sekalian aja kamu tinggal di sini sama Cherry,” imbuh Kalila.
Green sangat tidak nyaman ada di posisi saat ini. Disatu sisi, ia senang Kalila sangat baik padanya, bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tapi disisi lain, Green merasa itu berlebihan, mengingat ia bukanlah siapa-siapa Langit. Green merasa tak berhak menerima perlakuan tersebut.
Jerry dapat melihat ketidaknyamanan Green dan Langit, sepertinya apa yang terjadi saat ini adalah kesalahpahaman. Namun ia memilih diam, membiarkan Kalila melakukan apa yang diinginkan lebih dulu. Sementara Cherry hanya tertawa, seolah tak menganggap kesalahpahaman ini sebagai masalah.
Kalila mengajak Cherry dan Green duduk di ruang tamu, menggandeng kedua tangan wanita itu dengan lembut. Jerry dan Langit mengikutinya dari belakang, “Lang, ada apa?” bisik Jerry.
Langit diam saja, ia berpikir akan menjelaskan semuanya pada Jerry nanti saja saat Green sudah kembali ke rumahnya.
“Nak, kapan Bunda bisa bertemu orang tua kamu?”
“Bunda mau ngapain ketemu orang tua Green?” tanya Langit cepat.
“Lang, kamu diem aja, bunda lagi ngobrol sama Green.”
Green diam sejenak, kesedihan terpancar jelas di matanya. Hal tersebut membuat Kalila bingung. “Sayang..,” panggil Kalila pelan sambil menyentuh punggung tangan Green.
“Green udah gak punya orang tua Bun. Mama udah meninggal, Ayah udah nikah lagi, sekarang gak tahu dimana.”
Kalila terkejut, ia merasa bersalah telah bertanya hal itu. Kalila mendekat dan memeluk Green. “Maaf sayang, Bunda gak bermaksud.”
Sejenak Green merasa hangat. Dekapan itu, dekapan yang tak pernah ia terima sejak empat tahun terakhir, selama ini ia selalu kedinginan. Satu-satunya kehangatan yang ia rasakan adalah kehadiran Alta yang kini tak sehangat dulu.
“Gak apa-apa, Bun.”
Langit yang melihat interaksi keduanya tersenyum tipis, bahkan Green sudah memanggil bundanya dengan panggilan Bunda juga. Ya, setidaknya wanita itu tidak menjaga jarak pada bundanya.
“Lang..,”
“Iya, Bun.”
“Kamu dan Green harus segera menikah.”
“Bunda, Langit sama Green baru kenal, biarin kita nikmatin masa-masa perkenalan kita dulu.” Langit berusaha menjelaskan pada bundanya.
“Lebih cepat lebih baik Lang.” Kalila bersikeras ingin Langit dan Green menikah.
“Kasih waktu Langit sama Green untuk ngobrolin hal itu dulu, Bun,” tegas Langit.
Mereka sudah terlalu jauh masuk ke dalam kesalahpahaman itu, Green berusaha menolak secara halus, “Bun, Green masih kuliah, Green juga belum mau nikah.”
“Sayang, Bunda cuma mau Langit menjaga kamu sepenuhnya.”
“Bunda, mereka sudah dewasa, biarkan mereka bicarakan ini berdua.” Jerry menyampaikan pendapatnya yang langsung dijawab dengan nada kesal oleh Kalila. “Ayah sama Langit itu sama, sama-sama suka menunda.”
Jerry menghela napas, jika sudah begini Kalila akan tetap pada pendiriannya, wanita itu memang sedikit keras kepala, namun hatinya sangat lembut.
“Gak gitu, Bun,” tutur Langit.
“Sayang, maafkan anak Bunda ya, pasti sulit menjalin hubungan dengan Langit.”
“Enggak kok, Bun, Kak Langit baik banget sama Green.”
Langit kaget mendengar penuturan Green tentang dirinya. Green tersenyum hangat pada Kalila, keduanya tampak sudah sangat akrab, layaknya dua manusia yang sempat berpisah kemudian dipertemukan kembali. Bolehkah Langit berharap ia dan Green nantinya akan bersama karena saling cinta? Bukan hanya sekadar rekayasa atau demi kebahagiaan Kalila?