Contents
Risalah Cinta
Diana
Kebanyakan orang mengatakan bahwa tinggal di panti asuhan membuat anak-anak hidup dalam penderitaan; bahwa siapapun yang tinggal di sana tidak punya masa depan, tidak diinginkan dan penuh kemalangan sebab tak punya orang tua yang menjaga mereka seperti keluarga lain di luar sana. Tapi, apakah benar demikian?
Aku sendiri tidak tahu apakah kehidupan memang begitu adanya, sebab seumur hidup aku sama sekali belum pernah tinggal atau bahkan mengenal keluargaku –setidaknya kalau yang dianggap keluarga itu harus punya hubungan darah. Oma Rose, pemilik panti asuhan ini mengatakan bahwa aku ditemukan di teras panti dalam kondisi menggigil, tubuh membiru dan hampir meninggal dunia. Tubuhku sangat mungil kata itu, terbungkus dalam kain jarik berwarna cokelat tua. Tangisanku kencang sekali, menyaingi derasnya hujan. Sebagai anak yang baru lahir, tidak seharusnya aku mendapatkan perlakuan demikian tapi apa mau dikata? Barangkali memang ibuku tak mampu merawatku, atau malah tak pernah menginginkan kelahirkanku. Nyatanya, tak semua orang tua mampu membesarkan anak mereka. Dan sayangnya, itu benar. Aku tidak sendirian. Banyak anak-anak yang mengalami nasib sama denganku.
Panti asuhan tempatku hidup dua puluh enam tahun terakhir telah menampung dan membesarkan ribuan anak sepanjang perjalanannya. Dan, semua itu berkat Oma Rose –orang yang kini sibuk membariskan anak-anak di halaman belakang dengan penuh ketelatenan seorang diri. Petugas panti lainnya tengah libur lebaran, mereka baru akan pulang seminggu lagi dan itu artinya hanya kami berdua lah yang ada di sini, bertanggung jawab atas sepuluh remaja, dua puluh lima anak dan lima balita. Terdengar tidak mudah memang tapi percayalah kalau semua tak semenyedihkan itu. Terlebih karena anak-anak yang usianya lebih tua sudah biasa membantu menjaga adik-adiknya. Mereka semua bisa diandalkan tapi aku berharap anak-anak ini tak segera menemukan rumah, keluarga yang menyayangi dan mau membesarkannya.
“Aku tidak mau mereka menjadi sepertiku, tinggal di panti asuhan sampai dewasa. Tapi, bukan berarti aku tidak menikmati, hidupku hanya saja punya keluarga sendiri dengan tinggal di panti asuhan pastinya berbeda kan, Bar? Lihat kamu sekarang, berkat keluarga barumu yang mapan kamu bisa menjadi dokter dan meraih mimpimu.”
Pria berhidung mancung yang sejak tadi berjalan di sampingku hanya tersenyum dan memperlihatkan guratan aneh di wajahnya. Namun, dia menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Semua terlihat jelas di mataku. “Andai aku bisa melakukan sesuatu untukmu dahulu, Diana.”
“Tidak usah terlalu dipikirkan!” Kutepuk bahunya lembut tapi penuh penekanan. “Ini bukan salahmu dan bukan tanggung jawabmu, Akbar. Yang penting sekarang kamu sudah jadi orang hebat. Aku bangga karena kamu sudah punya pekerjaan bagus. Semoga dengan pelantikanmu sebagai dokter, kamu bisa lebih bermanfaat untuk orang lain. Tapi yang paling penting, jangan lupakan kami di sini.”
“Mana bisa aku melupakanmu, Diana!” Akbar terkekeh. Senyumannya masih cerah seperti saat aku mengenalnya dahulu. Hampir lima belas tahun dia meninggalkan panti asuhan ini tapi Akbar selalu rutin mengunjungi kami. Setiap kali datang ke panti, dia akan membawa banyak hadiah untuk anak-anak, misalnya seperti pagi ini. Dia menyiapkan banyak makanan dan kado, menggelar acara syukuran sekaligus perayaan ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh tahun.
“Omong-omong, bagaimana kabar orang tuamu?”
“Mereka pergi ke Beijing dan baru pulang bulan depan,” jawab Akbar. “Oh iya, Mama berjanji akan membelikan anak-anak buku dan komputer baru supaya mereka bisa belajar lebih efektif. Bulan depan sepertinya barangnya akan datang. Aku sudah membicarakannya dengan Oma Rose.”
“Kamu serius?”
“Tentu saja.”
“Ya ampun, Bar! Mama kamu baik sekali. Tidak terhitung berapa banyak kebaikan yang sudah keluarga kalian berikan ke panti ini.”
?????
Bebas. Lepas. Tanpa batas.
Ini bukan slogan iklan rokok atau semacamnya, melainkan moto yang dipilih oleh Evan untuk menjadi jalan hidupnya. Bukannya aku sok tahu, tapi itulah yang selalu dia katakan setiap kali manggung.
Di atas panggung megah itu Evan memetik gitar, membiarkan suaranya menjadi hiburan utama pada konser musik yang diusung oleh tiga orang pemuda tersebut. Tampak di sampingnya, seorang perempuan seusianya dengan rambut cokelat, melambai-lambaikan tangan ke arah penonton, sesekali dia menyandarkan kepalanya di bahu Evan. Romantis sekali. Mereka pasangan selebritis paling terkenal tahun ini. Siapa yang tidak mengenal Evan Wiyoko dan Aira Handoko? Dari anak-anak hingga orang dewasa, dari yang suka musik sampai sekadar penonton YouTube, semua mengenal keduanya. Mereka sangat serasi, wajah Evan tampan dan menjadikannya salah satu icon pria tertampan di Indonesia sementara Aira sendiri merupakan aktris yang wajahnya paling sering menghiasi layar bioskop dan series populer. Hampir semua film romansa menjadikannya pemeran utama.
“Dia semakin terkenal saja,” komentar Akbar ketika kami mengelap piring yang akan digunakan untuk makan siang. “Setiap kali aku menonton televisi –yang muncul selalu wajah Evan. Dari berita gosip sampai sponsor produk, semua isinya Evan dan Aira.”
Aku menoleh kembali ke arah televisi. “Nggak menyangka ya, Bar.”
“Ya.” Akbar mengangguk setuju. “Padahal dulu dia cuma anak kecil tukang nangis yang kalau dibawa ke panti selalu minta pulang.”
“Karena takut sama Mang Ucup,” tambahku bernostalgia. Kami pun tertawa bersama setelahnya, terpingkal-pingkal seolah mengingat semua kejadian itu di depan mata untuk kesekian kalinya setelah beberapa tahun lamanya. Yah, aku masih bisa mengingat betul hari itu, ketika Evan kecil pertama kali dibawa oleh ibunya berkunjung ke panti asuhan. Dia punya pipi yang besar dan bulat, kemerahan mirip buah apel matang. “Kalau nggak salah dia takut sama Mang Ucup karena ....”
“Jenggot Mang Ucup yang kepanjangan!” sambung Akbar sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, menahan tawa.
“Ternyata kita sudah tua juga ya, Bar.”
“Maksudnya?"
“Ya, kan Evan sudah sebesar itu.” Aku meletakkan piring kering kembali sisi lain meja, dan mengulanginya dengan piring basah lainnya. “Itu artinya, kita berdua semakin tua dong?”
“Bukan tua, Diana.”
“Terus apa?”
“Dewasa!”
“Nggak mau banget disebut tua?” candaku.
Akbar memasang senyuman lebar dengan mata membulat, lalu menepuk bahuku cukup kuat. Sekali lagi, ini mampu memecah tawa kami berdua. Sebuah tawa yang jelas selalu menarik perhatian menurutku. Yah, bagaimanapun juga kami masih sama. Dia sahabatku dan aku sahabatnya. Sebelum akhirnya, Oma Rose masuk ke ruangan dan buru-buru mematikan televisi tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya memerah, menahan amarah. Mengerikan.
Aku dan Akbar saling berpandangan, melempar pertanyaan melalui kode mata sebelum akhirnya menepuk kening bersamaan. Astaga! Bagaimana mungkin kami lupa sesuatu yang sangat penting di sini? Peraturan tidak tertulis tapi sangat penting, setidaknya untuk beberapa bulan ke belakang.