Contents
Biru Berderai
Bab 7 Asimetris Fraktur
Nanti aku jemput jam berapa?
Dibaca satu jam yang lalu. Niat dibalas satu menit setelah selesai dibaca. Realisasi, lima puluh sembilan menit kemudian. Kesimpulan: eksekusi tertahan.
Buku-buku dibereskan. Lembaran kertas tempatnya menulis ditumpuk jadi satu, dimasukkan ke map folder merah jambu. Bolpoin ditutup dan dimasukkan ke wadahnya. Kecuali buku-buku, itu tadi semua dibawa keluar area baca. Dia menuju loker dan mengambil ransel.
Baru keluar dari perpus. Bisa jalan balik sendiri. Nggak usah jemput.
Gara-gara bengkel langganan kelewat terkenal, tiga hari masuk bengkel motor Inbi belum juga sembuh. Curiganya malah belum disentuh oleh montir. Terpaksa dia harus jalan kaki atau nebeng teman. Kalau beruntung, ya dengan Lulu yang dapat pinjaman motor.
Derai berulang kali memberinya pilihan untuk diantar jemput. Hanya saja Inbi menolaknya. Pertama dia masih malu. Kedua dia tahu benar Derai bukan orang dengan jam lowong. Kehadirannya lebih dibutuhkan di tempat lain.
Perkara jalan dari kost ke kampus dan sekompleksnya bukan hal besar. Bukan pertama kali terjadi dan bukan hal mendesak. Lagi pula ada yang ingin Inbi lakukan. Jika dijemput Derai, maka dia kesusahan untuk melakukannya.
“Habis jogging?” komentar Bram. Dia mencermati Inbi yang melepas jaket. “Apa kena siraman air di mana?”
Inbi menjemur jaketnya di punggung kursi. “Tolong bilang kang bengkel Jl Petir, motorku dicepetin servisnya. Betisku udah segede singkong nih,” kata Inbi sebelum menegak air mineral yang tadi dibeli di koperasi mahasiswa. Dia duduk bersandar dan menaruh kaki ke kursi lain.
“Tidur sana di kamarku,” suruh Bram.
Inbi melotot. “Nggak mau lah. Dibunuh aku nanti sama pacarmu.”
“Dimutilasi nanti aku sama pacarmu,” Bram berbalik ancaman.
“Nah, itu yang mau aku tanyakan,” sahut Inbi. Tangannya sibuk mengipaskan sebuah buku.
Bram duduk di bawah. Bersandar ke tiang. “Kamu mau ngaku kalau pacaran sama Derai?” Dagunya diangkat.
“Bukannya udah tahu,” tantang Inbi balik. Dia menaruh buku. Dilihatnya pepohonan di halaman kontrakan. Taman yang dibuat anak-anak kontrakan. “Kamu sudah kasih tahu mas Derai apa saja, Mas?”
Bram tak perlu mendongak untuk memandangnya. Mata mereka sudah sejajar. “Maaf lancang, tapi aku sudah cerita semua yang aku tahu tentang kamu ke Derai. Nggak bisa bohong aku kalau ke anak itu. Sekali bicara dengannya, selanjutnya itu kayak kena vaccum cleaner.”
Ah, ada benarnya. Inbi juga merasakan hal serupa. Jangan-jangan Bram juga ..., tidak ah. Bukan begitu yang dimaksud.
Inbi menaruh tangan di atas dada. Kembang kempis nafasnya, normal. “Soal Malik?” sebut Inbi.
“Ya,” timpal Bram.
“Soal Atmaja?” lanjut Inbi.
Bram diam. Mengangguk. “Ya, itu juga,” ungkapnya.
“Soal bapak?” tanya Inbi ragu.
“Kamu nggak pernah cerita soal keluargamu, Bi. Aku tahunya kamu cuma sama bapakmu sebelum beliau meninggal. Lalu sekarang kamu ikut bulikmu. Ya itu yang aku kasih tahu ke Derai. Mendiang bapak kerja apa, orangnya gimana, wajahnya seperti apa, kamu aja ndak pernah cerita.” Bram menggeleng-geleng. “Aku juga nggak akan tanya itu ke kamu. Derai hanya nanya ke aku. Dia tidak menanyai semua orang yang kenal kamu.”
Inbi ikut menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku juga bakal cari tahu soal mas Derai. Aku kan perlu tahu sifat dia. Kalau dari orang lain kan lebih objektif.”
“Ya, aku bakal cerita ke kamu sesuai yang aku tahu. Nggak lebih, nggak kurang. Kalau aku tahu Derai brengsek, pasti aku langsung jauhin dia dari kamu. Kayak yang seharusnya aku lakuin ke cowok itu.”
Sekali lagi Inbi menggeleng. “Nggak usah gitu, Mas. Sudah kejadian, mau gimana lagi.”
“Biar nggak terulang,” kata Bram tegas.
Suara motor memecah perhatian mereka. Kedua menoleh ke halaman bersamaan. Tiba-tiba Inbi menurunkan kakinya, duduk dengan benar di kursi. Bram sendiri masih duduk santai.
“Aku nggak kasih tahu dia lho,” heran Bram. Dia menggaruk kepala. “Dia pasti sudah cek ke kost dan kampus. Taruhan, cek ke kampus apa kost dulu?”
“Haram!” sergahnya. Masih mengawasi pengendara motor melepas helm. “Nggak boleh taruhan, dosa,” imbuhnya.
Derai masih dengan sneli dan memanggul ransel kotak hitam, berjalan ke teras. Dia berkacak pinggang. “Sibuk apa sampai nggak ngecek ponsel?” ujarnya entah ke arah siapa.
Baik Inbi dan Bram sama-sama mengeluarkan ponsel masing-masing. Sibuk membuka ponsel. Tertunduk ke atas layar. Inbi mendapati banyak pesan dan telepon tak terjawab. Dari Derai.
“Boleh numpang pacaran di sini asal nggak mesum,” kata Bram, lalu melesat ke dalam kontrakan.
Derai menaruh ranselnya ke meja. Kemudian melepas jas dan memasukkannya ke dalam ransel. “Dikira sini nggak kuat modal ke hotel berbintang apa,” gerutunya.
“Aku nggak mau!” sambar Inbi, bergeser menjauh dari Derai yang hendak duduk di sebelahnya.
Derai melipat lengan kemeja. “Siapa juga yang mau ngajak kamu,” sungutnya. Duduk begitu saja. Bersedekap, bibir dirapatkan menipis.
Kepala Inbi tiba-tiba jadi terasa gatal. Digaruknya keras-keras. Pandangannya dialihkan jauh-jauh dari Derai. Tapi, ya ampun, aroma yang menguar dari Derai sungguh meresahkan jiwa. Belum lagi radiasi panas sulit dielakkan.
“Apa kamu nggak capek?” tanya Derai.
“Capek kenapa?” jawab Inbi.
Derai mengangkat tangan Inbi yang masih menggaruk kepala. “Capek garuk kepala. Rontok nanti rambutmu. Jalan kaki keliling kampus bikin gerah kan? Nih, kepalamu sampai gatal. Makanya, kalau mas bilang itu didengerin.”
“Eng....”
“Capek kan? Sampai nggak bisa ngomong,” tandas Derai. Dia mengusap punggung Inbi. “Kamu kenapa sih, Biru? Kayaknya kamu menghindar dariku ya?”
Eh, mas Derai bisa-bisanya berpikir seperti itu. Meski pun ya, hampir benar. Inbi memang malu bertemu dengan Derai lagi setelah kejadian malam kemarin dulu itu. Melantur sampai membuat Derai datang di tengah malam sehabis hujan. Saat harusnya dia beristirahat, malah menghibur gadis galau.
Belum lagi perut kosong Inbi yang berbunyi setelah dia setengah tak sadar memeluk Derai. Dia benar-benar tak sanggup mengangkat wajah selama beberapa menit. Bahkan kesulitan berkata-kata, pasrah diajak duduk. Untung ruang tamu remang-remang, Derai tak bisa melihat betapa memerahnya muka Inbi.
“Enggak kok. Aku nggak kenapa-kenapa,” elak Inbi.
“Habis denger omongan siapa? Sejak beberapa hari lalu kamu kayak gini. Pesan nggak direspon, telepon diabaikan. Ditemui menghindar. Belum lagi tiba-tiba ada pertanyaan malam kemarin itu. Apa yang kamu dengar soal aku? Kamu banding-bandingin aku,” sahut Derai. Desahan kesal.
Jari-jari kiri kanan ditaut-tautkan. “Bukan gitu. Kan aku kuliah, mas juga kerja.”
Derai menoleh ke arah Inbi. Tangan kembali dilipat. Bibir dan mata bagai garis sama dengan.
Inbi menelan ludah dengan berat. Dia menurunkan arah mata ke hidung orang di hadapannya itu. Ludah ditelan lagi. “Aku malu, Mas,” cicitnya.
“Malu kenapa?” ujar Derai tajam. Masih dalam pose dinginnya.
“Perutku bunyi,” bisik Inbi.
“Kalau lapar ya bakal bunyi. Siapa suruh nggak makan,” ketus Derai.
Inbi mengusap siku tangan. “Jangan marah ya. Siang itu aku habis ketemu Malik,” dia akhirnya mengaku.
Derai bergumam ya. Mata Inbi menaik lagi ke mata Derai, disambut kuncian tegas. Dia diam menunggu.
“Dia…, dia bilang nggak suka aku sama mas Derai. Dia bilang harus hati-hati sama kamu. Dikata aku kan nggak kenal mas Derai. Siapa yang jamin mas Derai baik? Gimana kalau..., kalau..., kalau mas Derai sama....”
“Sama bajingannya kayak Atmaja,” Derai meneruskan.
Mulut Inbi ternganga. Bahunya lunglai, tangan terkulai. “Nggak kan?” gumamnya.
“Saat ini nggak,” kata Derai.
Inbi membelalak pelan-pelan. Terpana. “Aku cuma bikin cowok nafsu?” Kepalanya miring, berat untuk ditegakkan.
“Kalau nggak nafsu, pasti ada problem. Seandainya pun aku cuma nafsu ke kamu, udah dari kemarin tak perkosa. Ngapain nunggu lama-lama.”
“Nunggu kesempatan?”
“Cemen.”
Inbi menghela nafas. Tungkainya tak ada yang kuat digerakkan. Mirip tangan kaki boneka kain hilang busanya. Dahinya disandarkan ke pundak Derai.
“Makasih udah bilang. Aku bisa paham Malik jadi cemburu ke aku. Tempo hari, nggak sengaja dia lihat foto kamu di laptopku. Aku juga paham dia berjaga-jaga biar kamu nggak ketemu orang jahat lagi. Gara-gara aku pajang foto kamu yang pas lagi tidur di mobil, mungkin dia mikir aku ada penyimpangan,” kata Derai memberitahu.
Kepala Inbi digelengkan. “Makanya pakai foto aku pas cantik dan pose normal,” katanya.
“Lha kamu cantik terus kok. Ngupil aja elegan.”
Inbi mengerang. “Kamu aneh tahu nggak, Mas. Pantas kalau Malik khawatir.”
“Dibilang oleh orang bisa-bisanya minta maaf ke semua pasien di UGD terus maki-maki temannya sendiri,” ejek Derai. Diusapnya kepala Inbi. “Aku suka kamu, Biru. Apa kamu nggak suka aku? Ya benar aku nggak sembilan puluh persen baik. Tapi aku berusaha baik setiap saat.”
“Udah ih, Mas. Aku minder,” keluh Inbi. Dia menaruh dagu ke pundak Derai. “Makan aja yuk. Aku pengen makan mie ayam. Biru yang traktir deh. Sekalian minta maaf udah bikin salah paham.”
Derai memberi sebuah senyum. “Ya, oke. Dari siang aku juga belum sempet makan,” jawabnya. Dia menarik Inbi berdiri. “Bram! Ada helm nganggur?” seru Derai.
Dengan cepat Bram muncul. Berikut sebuah helm. “Mau kemana? Mau ngapain? Kost Inbi kan deket. Kenapa perlu helm?”
Helm disambar. “Mau bawa Biru ke hotel. Mumpung anaknya mau,” kata Derai tanpa humor.
“Kelahi dulu yuk, Der,” balas Bram.
Inbi berkacak pinggang. “Aku jalan pulang aja deh.”
“Jangan dong, Biru. Uh, uh, sini, jangan ngambek,” tahan Derai. Dipakaikan helm ke kepala Inbi. Dituntun ke motornya.
**
Derai memindahkan potongan daging ayam ke mangkok Inbi. Disusul dengan cacahan sawi hijau. Tinggal mie dan kuah di mangkoknya. Tapi dia makan dengan lahap.
Di lain pihak, Inbi kewalahan mengaduk isi mangkoknya. Sudah penuh, jadi makin penuh. Ada-ada saja Derai memberinya tambahan isi. Memang Inbi lapar, tapi tidak rakus juga. Kan, malah jadi ingat lagi bagaimana Inbi menghabiskan nasi goreng yang Derai bawakan malam itu.
“Nggak usah pakai malu. Makan banyak nggak apa-apa,” kata Derai sebelum Inbi mulai bicara.
Dia tidak membantah. Serapi mungkin memakan mie tersebut. Tidak cepat-cepat pula. Tiap suapan dikunyah 32 kali. Tidak usah membayangkan sedikit berlepotan nanti bakal dilap sapu tangan oleh Derai. Kalau kejadian, bakal tambah malu si Inbi.
“Kamu mau kalau aku ajak ke rumah?” tanya Derai.
Inbi berhenti mengunyah. Mata terbuka lebar. Dia menelan cepat-cepat kemudian. Tapi malah jadi terbatuk-batuk. Ada yang keliru lewat kerongkongan bukan tenggorokan.
“Hati-hati,” nasehat Derai.
Inbi menenangkan diri. “Ke rumah mau ngapain?” tanya Inbi, malu. Pikiran melalang buana pula.
Derai menaruh sendok. Bertopang dagu. “Mas kenalin ke keluargaku. Bapak, ibu, adik-adikku. Ya, main aja sih.”
Tangannya mengaduk isi mangkok, tanpa dilihat. “Tapi nggak sekarang kan? Kucel ini habis kuliah.”
“Iya, nanti lain waktu. Biar kamu ketemu sama dokter Darmadi. Bisa-bisanya kenal sama bapak.” Derai tersenyum jahil. Disentilnya hidung Inbi.
“Iih..., maaf. Aku kan nggak tahu. Si Malik yang panggil gitu. Ya, aku kira itu memang namanya Mas.”
Derai mendengkus. “Kan ada papan nama. Dibaca dong.”
“Nggak kebaca. Mata aku ngeliatnya ke arah lain terus.” Inbi membungkam mulut. Dia melirik ke arah lain. Tangannya berhenti mengaduk.
Derai tertawa lirih. Dia menarik pipi Inbi. “Ke sini dong. Nanti kalau aku dilirik cewek lain gimana. Kamu kecolongan lho.”
Inbi cemberut. “Jadi bapaknya mas dokter juga?” dia mengalihkan.
“Iya, bapak dokter, ibu bidan, adik pertama calon dokter gigi, adik kedua suka hewan,” sebut Derai.
“Dokter hewan?”Inbi menanyakan.
Derai mengedikkan bahu. “Iya paling. Masih kuliah semester tiga. Dimarahi bapak terus. Anak paling bandel dia itu.”
“Bukan anak sulungnya yang terbandel?”
“Ck! Ih..., bukan lah. Anak sulungnya itu paling baik, paling ganteng, paling nurut, paling rajin. Pokoknya yang paling yang bagus-bagus lah.”
“Iya, ya. Paling disukai Biru juga.”
Inbi tersipu. Tertawa lirih sendiri. Ditundukkan kepala dan meneruskan makan. Ada-ada saja dia malah bicara seperti itu tadi.
“Adik aku cowok sama cewek. Dokter gigi ganteng juga lho. Lulus kemarin, nanti kamu kalau ketemu, jangan mau digodain sama dia,” Derai memperingatkan.
“Hahaha! Iya, iyaaa. Cemburuan amat.”
“Bener. Aku gampang cemburu. Kamu tahu, pas di kantin lihat Malik deketin kamu aja udah cemburu. Tapi, ngomong-ngomong, kenapa dia manggil kamu Bibi?”
Inbi tersedak. Dia terbatuk-batuk lagi. “Maaf, Mas. Kaget asli. Malu juga mau jawab. Ya ampun, kok ya masih ingat.”
“Ingatlah! Gimana ceritanya Malik kasih kamu panggilan kayak gitu. Dia manggil aku aja berani pakai nama bapakku.”
Inbi menegak sebotol air mineral. Diusapnya pelipis yang berkeringat. “Mas Derai tahu Justin Bieber?” tanya Inbi merendahkan suaranya.
Derai mengangguk. “Tahu. Penyanyi asal kanada itu.”
“Fansnya kan namanya belieber dari nama dia bieber dan kata believe, kalau nggak salah. Kalau Malik kasih nama panggilan ke aku biebi. Dari Biru dan lagu kesukaan dia dari Justin yang Baby itu.”
“Nggak paham. Bibi kan adik dari bapak atau ibu. Nyambungnya apa ke itu tadi.”
Inbi mengerutkan wajah, menahan tangis. “Bukan bibi. Biebi. B-I-E-B-I,” jelas Inbi, menutupi wajahnya.
“Apaan itu?” sambat Derai. Tergelak tawa.
“Ketawanya puas banget gitu sih. Udah, ah, dari tadi bahas yang bikin aku malu.”
Derai menutup mulut. Tawanya tertahan. Lalu berhasil tenang. “Aku nggak akan kasih kamu nama panggilan macam gitu deh. Nama dari bapak kamu sudah bagus. Beruntung banget aku bisa ngucap doa yang bapakmu panjatkan sejak kamu lahir dulu.”
Inbi mendorong salah satu sisi bibirnya untuk tersenyum. Sedetik saja bertahannya. Dia mengalihkan arah kepala. “Aku berharap bisa mengubah namaku. Jadi doa baru. Doa yang lebih sederhana dan kumengerti.”
“Ada cerita apa?”
Inbi mengangkat bahu. Pelan-pelan menyendok isi mangkok yang tinggal sedikit. “Enggak tahu. Aku belum pernah dikasih tahu bapak soal namaku. Pas aku pengen tahu, itu setelah bapak meninggal. Bingung tanya gimana ke siapa. Kata bulik, pulang dari rumah sakit, aku sudah dikasih nama itu. Usulan nama dari tetua ditolak semua.”
Derai mengusap punggung tangan Inbi. “Belum coba tanya ke ibu?”
Tangan Inbi yang memegang sendok diletakkan. Dia menengadah ke arah Derai di depannya. Sebenarnya kedua tangannya bergetar. Hanya saja tangan Derai sudah membungkus satu tangannya.
“Biru nggak punya ibu,” lirih dia berkata.
Derai tak memutus pandangan mereka. Dipertahankan sampai pedas kedua mata Inbi. Sampai beberapa butir air mata menetes. Tangan mereka masih terjalin. Tangan Derai yang tak menjalin, mengusap air mata Inbi perlahan.
“Pulang yuk,” ajak Derai kemudian.
Derai melepas tangan Inbi. Bergegas ke kasir, sesekali menoleh pada Inbi yang memanggul ransel dan melangkah ke luar warung. Di tempat parkir mereka dengan ringkas memakai helm lalu naik ke motor.
Tangan Inbi yang memegang tepi jaketnya ditarik mengitari perut. Ditepuki pelan sebelum menyeimbangkan setang motor. Inbi mengisak pelan. Dia menyandarkan pipi ke punggung Derai. Susah, terantuk helm. Dia hanya mengeratkan rengkuhan ke Derai.
“Sepi banget?” heran Derai memasuki ruang tamu kost.
Inbi menaruh helm pinjaman ke rak. Dia menoleh ke papan absen di sebelah rak. “Banyak yang pulang akhir pekan gini. Lainnya ada yang piknik,” beritahu Inbi.
“Kamu biasanya juga pergi kalau akhir pekan?” tanya Derai, menepuki sofa. Tangannya terulur ke arah Inbi.
“Kadang-kadang naik, sekedar kamping. Tapi ya seringnya di kost saja. Nonton anime atau serial asia sama Lulu kalau dia nggak pacaran sama Abe,” jawab Inbi menyambut uluran Derai. Dia duduk mendesak ke laki-laki itu.“Gini nggak apa-apa?”
Derai terangguk-angguk. Lengannya merangkul punggung Inbi. “Aku bikin kamu nggak bisa ngelakuin itu tadi dong?”
Inbi melingkarkan tangan ke badan Derai. Pipinya direbahkan ke dada. Mata dipejamkan. “Nggak masalah. Di sana Biru seringnya jadi wasit. Biarin aja. Biru maunya sama mas Derai.”
Laki-laki itu terkekeh. “Padahal mas nggak pakai pelet. Kenapa kamu bisa kayak gini dalam waktu cepat?”
“Mana Biru tahu. Tahunya, kalau dekat mas Derai rasanya aman dan nyaman. Kayak slogannya Kebumen.”
“Apa itu?”
“Beriman. Bersih, indah, manfaat, aman, dan nyaman.”
Derai mengusap rambut Inbi. “Bisa aja rika,” ujarnya.
Inbi menyengir. Telunjuknya membuat pola tak kasatmata di dada Derai. Sulur-sulur imajiner. Jalur maze tak berujung. “Aku nggak tahu soal ibu. Nggak kenal dia, nggak ingat wajahnya. Namanya juga nggak tahu. Tapi mereka punya aku setelah menikah. Bukannya aku anak haram. Bapak hanya nggak pernah cerita soal ibu. Kasih tunjuk foto tidak pernah juga.
Aku dihina sebagai anak tanpa ibu selain karena namaku. Bapak nggak pernah nikah lagi atau dekat dengan wanita lain. Dia hanya punya aku. Bahkan saat aku bilang mau kuliah seni rupa, bapak nurut aja. Meski pun sebenarnya bapak maunya aku jadi guru atau nggak ya bidan gitu. Aku nggak mau.”
“Nggak apa-apa. Kan nanti suamimu dokter. Kamu bisa jadi desainer sambil ngurus anak-anak. Aku yang kerja cari uang,” dukung Derai.
Inbi malah tertawa kecil, pahit. “Aku baru ingat, Mas. Beberapa minggu sebelum bapak meninggal, beliau pulang marah-marah. Tiba-tiba bilang ke aku gini: Kak, nanti jangan pacaran sama dokter. Sudah sombong, sok tahu pula.”
“Waduh. Ya udah, aku langsung lamar kamu saja ya,” timpal Derai.
“Mas ngomong apa sih dari tadi. Kok GR banget. Apa dikira Biru mau dinikahi mas Derai?”
“Kamu ngomong apa sih? Kok bisa kamu nggak mau dinikahi aku? Katamu aku Beriman? Ya, nikah lah jawabannya. Sesuai pesan bapak, jangan pacaran sama dokter. Nikah aja langsung.”
Inbi mendecakkan lidah. “Ternyata benar kata bapak,” kata Inbi datar.
“Yang mana?”
“Sudah sombong, sok tahu pula.”
Dada Derai berguncang. Dia memeluk erat gadis yang menempel padanya. “Kamu ini ih, Biru. Pengen tak bawa pulang sekarang.”
“Makanku banyak.”
“Tahu. Aku juga makan banyak. Aku bisa masak lho. Masak air aja sedap. Selain itu, mas pandai berbenah. Pintar membuat layang-layang.”
“Hati-hati, Mas. Jangan tinggi-tinggi. Kesrempet pesawat bisa berabe.”
Derai mencubit pipi Inbi. “Nggak bisa ya ngegombal ke kamu.”
“Apa lagi modal “bapak kamu blablabla”. Blacklist langsung. Bapak aku nggak boleh jadi bahan becandaan. Sehina apa pun beliau semasa hidup.”
“Aku jadi nggak sabar punya anak dari kamu yang sayang sama aku sebesar ini.”
Inbi membelalak. Dia membebaskan diri dari rengkuhan Derai. Jadi dingin sih. Tapi dia mau memicingkan mata dulu ke dokter satu ini. Berkacak pinggang. Kepala digelengkan dengan memasang wajah prihatin.
“Tunggu sampai Biru lulus kuliah,” tegas Inbi. Dia melipat kedua tangan.
Derai duduk sedikit menjauh. Matanya memperhatikan Inbi dengan saksama. “Oke. Mas siap menunggu. Kalau aku sih udah yakin. Setahun, dua tahun kemudian, kayaknya apa yang mas rasain ke kamu masih sama. Bisa jadi lebih sih. Puluhan tahun kemudian pun.”
“Sombong dan sok tahu,” bisik Inbi.
Laki-laki itu hanya tersenyum. Hanya memperhatikan Inbi sampai gadis itu salah tingkah. Ikut melipat kedua tangan. Pandang memandang, berkedip, menghela nafas.
**
“Dok,kenapa?” tegur perawat yang bertugas bersamanya siang itu.
“Malam minggu, Bu. Pasti sudah membayangkan mau ngapain sama pacar,” sahut rekan dokter yang lain.
Derai menggaruk kepala. Dia menulis kembali. “Baru mikir tesis juga,” elaknya.
Rekannya mendenguskan tawa. “Maklumlah, masih anget-angetnya. Setelah sekian lama menjomlo. Anak mana yang kena mantramu, Der?”
“Sudah, dokter Adit. Kasian dokter Derai jadi malu gitu. Temannya senang kok malah diledekin,” perawat itu menengahi.
“Iri, Bu, dokter Adit nggak bisa malem mingguan,” balas Derai.
Adit tertawa saja. “Tapi, gercep juga lho, Der. Baru berapa hari kenal kemarin itu. Kamu ini ya, ternyata diam-diam jago juga gaet cewek.”
Derai ganti terkekeh. Dia tidak menyahut apa pun. Lebih cepat dia menyelesaikan tugas, lebih cepat dia bisa mengerjakan hal lain. Lebih cepat pula dia bisa bertemu Biru lagi.
“Beneran nggak kamu rebut dia dari koas itu?” tanya Adit. Bu perawat ikut menunggu jawaban.
“Mana ada. Mereka udah putus lama sebelum kami ketemu. Mantan yang belum move on kali,” jawab Derai, menggeleng prihatin.
“Dia masih muda lho, Der,” timpal Adit.
Derai menepuk dahi. “Apa lagi sekarang? Dia sudah dua puluh tahun, bukan anak-anak. Lagian nggak jauh-jauh amat jarak umur kami. Kok kayak pada nggak dukung saya sama Biru sih.”
“Oh, namanya Biru, Bu. Pantesan akhir-akhir ini semua outfit Derai warnanya sekitaran biru. Makin bergaya kayak muda pula.”
Bu perawat hanya tersenyum sabar. Sesabar Derai yang menghela nafas dalam-dalam. Ada saja kelakuan rekannya ini. Kadang mendukung, seringnya mengolok-olok.
“Dah, Bu, saya mau keliling dulu. Ini tolong dokter Adit sama ditenangkan,” tandas Derai beranjak dari konter jaga.
Beberapa jam kemudian, Derai terbebas dari perawat dan rekan sesama dokter yang menggerecoki. Sudah mandi dan berganti baju yang katanya modis khas anak muda. Lhah, dia kan memang masih muda. Dia menstater motornya. Bersiap menuju rumah.
Di lampu merah, dia sempat berpikir untuk mengirim pesan ke Biru. Apa baiknya dia mampir dulu ke kost gadisnya. Di rumah paling juga hanya menaruh ransel kemudian pergi lagi. Adik-adik sudah pasti sibuk sendiri. Ibunya masih praktik di rumah.
Saat itu dia memandang asal ke pinggir jalan di seberang. Warung makan yang belum lama buka. Begitu ramai. Dia melihat dua orang yang dikenalnya. Hatinya bersorak riang tahu itu adalah Biru dan Lulu tengah memarkirkan motor.Dia berniat memutar arah dan menyusul keduanya.
Namun lampu menyala hijau. Dia mendengar teriakan klakson. Mau tak mau berjalan lurus sesuai rute awal. Dia bergegas saja sampai rumah. Kalau dipikir, lebih baik begitu. Biar Biru ada waktu bersama sahabatnya. Dikira nanti dia cowok yang mengekang.
“Kamu mau keluar lagi, Mas?” sambut ibunya yang keluar dari ruang praktik. Pasiennya sudah sepi.
Derai berhenti dari melangkah menuju kamarnya. “Iya, Bu. Ada yang perlu dibantu?”
“Ibu gangguin mas Der deh,” adiknya yang terkecil melonggokkan kepala dari kamar.
“Lhoh, kamu sibuk apa, Der?” heran ibu.
“Pacaran lah, Bu! Mas Der punya pacar lhoo, Bu. Apa belum dikenalin?” adiknya mengompori. Tertawa-tawa puas.
Ibu menoleh bergantian pada anak-anaknya. “Benar itu, Derai? Kamu punya pacar?”
Derai membenarkan. “Derai baru mau ajak dia ke rumah minggu depan. Pas bapak di rumah juga. Maaf belum cerita ke ibu.”
“Memangnya sejak kapan?” kejar ibunya.
“Dua bulanan, Bu. Belum lama kok. Nanti Derai cerita ke ibu. Itu ada pasien datang lagi.” Derai melanjutkan menuju kamar. Sementara ibunya kembali praktik. Tidak melanjutkan interogasi. Ditunda.
“Kenalin ke aku dulu dong, Mas. Calon kakak ipar cantik ya,” goda adiknya.
“Kamu jangan buka-buka laptop mas ya, Rum. Usilmu itu dikurangi. Sudah kuliah juga masih kekanakan,” tegur Derai.
Adiknya mencibir. “Nanti aku minta nomor ponselnya. Biar jadi temen mainku.” Dia melesat masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Derai menggeleng-geleng. Nasib punya adik yang masih muda. Ada-ada saja tingkah lakunya. Tapi, nanti kalau adiknya juga dekat dengan cowok, bakal dia awasi dengan ketat. Cowoknya tidak akan semudah itu mendekati adiknya.
Tidak seperti Biru yang tidak punya pengawas. Tugas Derai yang mengawasi Biru. Bukannya dia posesif atau obsesif semata. Kalau Biru punya kakak laki-laki, tentu saja Derai akan bernegosiasi dengannya.
Birunya tidak punya siapa-siapa. Buliknya saja membebaskan dia di kost. Sampai sekarang belum pernah mereka bertemu. Penghuni kost lain juga tidak menggubris kedatangan Derai yang cukup sering dan pada jam-jam tak normal. Bukannya mereka juga melakukan hal yang serupa.
Kadang Derai malah berharap ada yang melapor ke bulik Biru. Sehingga dia bisa bertemu dengan keluarga Biru satu-satunya. Lalu dia bisa berkenalan lebih jauh. Dia sudah sangat serius atas hubungan mereka.
“Dok, bisa ke rumah sakit sekarang?” seseorang meneleponnya dengan tergesa-gesa.
“Maaf dengan siapa ya?” tanya Derai. Dia menyisir rambut tak tentu arah. Berpikir hendak membawakan apa untuk Inbi. Dia belum mengirimkan pesan juga.
Orang di seberang sedikit terisak. “Ini Lulu, Dok. Inbi ada di UGD. Maaf lancang menelepon, sudah dari kemarin Inbi kasih nomor dokter ke saya,” beritahunya.
Derai terperanjat. “Sudah mendapat penanganan? Saya segera ke sana,” sahut Derai kalut.
Lulu memberitahunya kalau Biru sudah mendapat perawatan. Tapi ada hal yang terjadi. Lulu tidak bisa mengatakan lewat telepon. Apa lagi anak itu malah menangis.
“Pelan-pelan napa,” protes Aurum yang dilewati Derai di ruang depan. Adiknya memberengut.
“Maaf, panggilan UGD,” sahut Derai, mengambil kunci mobil di gantungan. Dia tidak lagi mendengar kata-kata adiknya. Atau pula seruan ibunya. Berpapasan dengan adik pertamanya juga tak bertegur sapa.
Pikirannya sudah penuh. Dia mengeluarkan mobil dari garasi tergesa-gesa. Di jalan dia bolak-balik melirik ponsel. Ada sejumlah notifikasi. Dari rekan sejawat dan rumah sakit. Tapi tidak ada dari Lulu, pun dari Biru.
Derai setengah berlari keluar dari tempat parkir. Sekuriti menyapanya terheran-heran. Hanya dilambaikan tangan. Dia lurus menuju UGD. Ada sejumlah pasien dan pengantar.
“Ada apa, Dok?” sapa rekannya yang berjaga.
Derai mengedarkan pandang. “Ada pasien baru masuk bernama Biru?”
“Dok!” panggil Lulu. Dia bergeser dari salah satu bilik. Tampak lebam dan lesu.
“Perkelahian, Dok. Empat orang, tapi yang satu dibawa pergi. Dokter kenal mereka?” kata rekannya.
“Iya, maaf ya. Permisi dulu,” sahut Derai. Segera menghampiri Lulu.
Anak itu berdiri di dekat bed yang dihuni oleh seorang laki-laki muda. Mukanya juga lebam. Lebih parah dari Lulu. Derai rasa dia mengenali laki-laki tersebut. Pernah ditemui di kontrakan Bram. Hanya saja tidak ingat namanya.
“Mana Biru?” bisik Derai. “Kalian baik-baik saja?”
Lulu mengangguk. Dia menunjuk ke bed sebelah yang tirainya ditutup rapat. “Tadi kami bertiga pergi makan. Malah bertemu dengan Atmaja. Dia nyerang Inbi. Terus ya kami baku hantam. Inbi masih syok, Dok. Mana dia terbentur juga.”
Derai membeliak. Darah menggelegak dalam dirinya. Tangannya terkepal. Sayang sekali orang itu tidak terlihat. Kalau ada, sudah dia lumat halus. Harus dia cari orang itu biar bisa dia habisi.
Suara isakan lirih terdengar. Buyar pikiran Derai yang penuh emosi. Hati trenyuh. Hati-hati dia menyelinap masuk ke bilik sebelah.
Biru berbaring di sana. Tangan kirinya terdapat penutup luka. Dia memejamkan mata dan menangis.
“Biru, ini Derai,” Derai mengumumkan pelan. Seraya mendekati sisi bed.
Gadis itu membuka mata. Air mata mengalir ke pipinya. Bibirnya pucat bergetar. “Mas,” suaranya parau.
Hati-hati Derai merengkuh Biru. Diusapnya kepala Biru sambil memeriksa. Kalau-kalau ada memar. Pastinya sudah diperiksa rekannya sih.
“Mas Derai temani, jangan takut. Ada mas di sini,” bisiknya.
Biru mengisak. Tangannya yang sehat menggenggam baju Derai. “Mas,” desahnya.
Derai memandang Biru sejenak sebelum beranjak. Gadis itu sudah tenang beristirahat. Pengaruh obat perlahan menguasai. Dadanya naik turun beraturan.
“Sepertinya ndak ada yang retak atau patah sih, Dok. Mau dirontgen?” kata rekannya. Dia duduk membaca papan tulisnya.
“Iya, Dok,” jawab Derai. “Dua temannya gimana?”
“Biar istirahat. Nanti kalau mau pulang nggak apa-apa. Ya kalau ada keluhan kembali lagi buat checkup. Tadi yang satu juga diantar kemari, tapi mbaknya makin histeris. Sama yang antar terus dibawa pergi. Mirip-mirip sih lukanya.”
“Makasih, Dok. Saya yang tanggung mereka bertiga,” kata Derai. Dia duduk lunglai. Sekejap menoleh ke arah bilik Biru.
“Jangan khawatir. Dia sudah lebih baik sejak kamu datang,” timpal rekannya.
Derai mengedikkan bahu. “Saya ijin nemenin dia sampai pulang nanti ya, Dok. Nanti dikira ganti shift. Kalau ada yang nanyain, saya baru jagain pacar gitu ya, Dok. Biru pacar saya,” ujarnya.
Rekannya tersenyum. “Iya, Dok. Sana ditemenin.”