Contents
Paragraf Terbuang
Rumah Surga
"Hai, Zhi, lagi di sini?" Noval terkejut karena Zhiya yang membukakan pintu untuknya.
"Hai, Val, iya nih, nemenin Kin, Abang nganter Mbak Alifa ke rumah sakit," jelas Zhiya.
"Periksa rutin?"
"Sst ... tadi sempet pendarahan." Zhiya berbisik agar Kinabalu yang berada di ruang tengah tak mendengarnya.
"Oh, kasian Kin. Kita ajak jalan sebentar aja, yuk!" usul Noval.
"Good idea!"
Zhiya mengirim pesan pada Aswin agar mengabari bila sudah akan pulang karena kunci rumah dibawanya.
Rumah ini biasa ramai, setiap saat ada saja yang datang dan pergi semaunya seperti di rumah sendiri. Seterbuka itu keluarga Zaki menerima "adik-adiknya", mahasiswa yang sering mampir ke warung, atau adik-adik mapala dari kampus almamater Zaki.
Jalan-jalan sore di sekitar rumah Kinabalu terasa menyenangkan. Di dekat rel kereta banyak pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan seperti cilok, gorengan, dan harum manis. Banyak orang tua yang sengaja membawa anaknya sambil menyuapi makan, menunggu kereta melintas sebagai hiburan.
Noval, Zhiya, dan Kinabalu membeli kesukaan masing-masing kemudian mencari camilan untuk "teman" ngobrol di rumah sambil menunggu pemiliknya pulang.
Jelang Magrib, Zaki, Alifa, dan Aswin kembali ke rumah.
Alifa mengalami kontraksi yang memicu pendarahan ringan. Usia kandungannya baru tujuh bulan, belum waktunya jabang bayi menghirup udara di luar rahim ibu. Menghindari kelahiran dini, Alifa harus beristirahat total. Dua kali dua puluh empat jam penuh hanya boleh berbaring. Sekedar duduk di ranjang pun tak boleh apalagi berjalan meski hanya ke kamar mandi.
“Oh iya, tadi Zhi beli buah, Zhi mau tengok Mbak, boleh?” tanya Zhiya pada Zaki.
“Masuk saja ke kamar temani Alifa ngobrol biar tak bosan.”
Zaki, Noval dan Aswin mengobrol di teras belakang. Zhiya mengikuti Kinabalu yang berjalan di depannya.
“Loh, Mbak kok enggak berbaring?" Zhiya terkejut melihat Alifa yang duduk bersandar pada tumpukan bantal.
“Punggung Mbak pegal, tiduran terus seharian,” balas Alifa.
“Zhi bawa buah naga, Mbak, mau dimakan sekarang?”
“Boleh.”
“Sebentar ya ...”
Zhiya balik lagi ke dapur bersama Kinabalu, mengupas dan memotong buah naga. Buah merah keunguan tersaji dalam piring putih. Sebuah garpu disimpan di atasnya.
Zhiya menyajikan satu piring potongan buah naga untuk Zaki, Aswin, dan Noval.
“Kin mau juga, Kak.”
“Ah, Kin mau, kirain Kin gak suka, dari tadi diam saja ...,” Zhiya menggoda Kin.
Satu buah naga Zhiya belah dua, separuhnya diberikan pada Kinabalu.
“Masa nggak dikupas, Kak? Makannya bagaimana?”
“Hihi ... spesial buat Kin sama kulitnya saja.” Zhiya tertawa.
“Ih, Kakak jahat sama Kin.” Kinabalu memajukan bibirnya, pura-pura merajuk.
Zhiya mengambil sendok dan memberikannya pada Kinabalu. Memberi contoh dengan mengambil sesendok daging buah. Kinabalu tersenyum menemukan cara makan buah naga yang asyik. Keduanya lalu kembali ke kamar Alifa.
Tangan kanan Zhiya mengulurkan sepiring buah untuk Alifa, separuh potongan buah dan sendok kecil digenggam tangan kirinya. Zhiya duduk di kursi samping tempat tidur Alifa sambil menikmati manisnya buah yang baru dibelinya.
"Makasih ya, Zhi, udah nemenin Kin."
"Sama-sama, makasih juga Mbak selalu nerima Zhiya di rumah ini."
Karpet hijau memenuhi separuh ruang tengah. Makan malam ala lesehan terhampar di pusatnya. Suasana begitu menyenangkan. Membuat selera makan meningkat. Zhiya tak tahu kapan ketiga lelaki tadi menyiapkan semua karena asyiknya menemani Alifa sambil bercanda dengan Kinabalu.
Selesai makan, Zhiya dan Noval merapikan alat makan, mencuci piring bersama dan mengembalikan peralatan yang telah bersih ke tempatnya.
Zaki, Aswin, Noval, Zhiya dan Kinabalu duduk di teras belakang mencari angin segar. Sebuah ikatan semakin erat terjalin dari kata-kata, canda dan tawa. Bulan memancarkan senyum menjadi saksi. Zhiya merasakan hangatnya keluarga menjalar dalam hatinya.
"Zhi, liburan pulang ke Sumbawa?" Noval melempar tanya.
"Enggak. Ongkosnya bisa buat Zhi bayar kos, hehehe ..."
"Emang Kakak gak kangen mama kakak?"
Pertanyaan polos Kinabalu menohok dada Zhiya, entah kenapa saat itu Zhiya ingin menumpahkan sesak di dadanya.
"Kakak gak pernah bertemu Ibu sejak SMP, kakak kangen banget sama Ibu ..." Zhiya menangis. Ia tutupi kedua wajahnya, sedang tubuhnya bergetar.
Aswin segera mendekat, mengusap punggung Zhiya dengan lembut.
"Kak Zhiya, maafin Kin bikin kakak nangis ... Kak, jangan nangis." Kinabalu ikut menangis karena rasa bersalah dan tak tega melihat Zhiya menangis sesegukan.
Zaki memangku Kinabalu, meredakan tangisnya. "Gapapa, Kin, Kak Zhiya butuh menangis biar tenang."
Suara isak Zhiya dan Kinabalu menjeda obrolan mereka. Noval, Aswin dan Zaki hanya bisa diam menunggu tangisnya reda.
Setelah tangis Zhiya reda, Aswin pamit mengajak Zhiya pulang. Namun, ia tak mengantarkan Zhiya ke kosan melainkan ke sebuah kafe berlantai tiga di daerah Kota Baru Jogja. Zhiya dan Aswin duduk berhadapan di area yang setiap sisinya terbuka. Dari tempat duduk di lantai dua, Zhiya bisa melihat lalu lalang kendaraan yang tidak terlalu padat, juga pohon-pohon yang tumbuh di taman sempit pembatas jalan.
"Kenapa kamu gak pernah cerita soal keluargamu, atau masalahmu yang lain padahal aku selalu siap mendengarkan, Zhi."
"Maaf, Win. Aku merasa perceraiakan orangtuaku adalah aib, kamu bisa saja menjauhiku kalau tahu, kan?"
"Hih, kamu pikir aku laki-laki macam apa yang punya pikiran begitu? Zaman sekarang peceraian bukan hal tabu. Lagipula, tak ada hubungannya dengan pertemanan kita, itu masalah orangtuamu, bukan kita. Jadi, kamu mau cerita biar aku bisa bantu kamu?"
Zhiya luluh, mungkin saatnya memang tepat, dan Aswin orang yang tepat untuk mengetahuinya. Zhiya akhirnya bercerita bahwa ia tengah mencari sang ibu tapi tak menemukan titik terang.
“Nanti aku coba bantu. Mmm … Zhi, aku mau pulang ke Jakarta, kamu mau ikut?”
“Hah? Ada apa kok tiba-tiba?" Zhiya terkejut.
"Urusan keluarga, Babe telepon waktu nemenin Bang Zaki di rumah sakit tadi. Aku berangkat besok, tapi jadi berat nih liat kamu nangis kayak tadi."
"Idih, kayak gak pernah liat cewek nangis aja!"
"Belum pernah ada yang bikin sampe kepikiran kayak kamu sih."
"Emang lama baliknya?"
"Gak tau. Makanya, ayo kalo kamu mau ikut, banyak kamar kok di rumah. Ikut yuk!"
“Hahaha, kamu tuh ya kalo ngomong suka gak dipikir, kuliahku gimana?"
Aswin tahu, Zhiya pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba.
“Zhi, nikah yuk?”
“Hahaha, kamu kesambet apa Win? Sukses dulu sana biar bisa ngasih makan aku!”
“Bukannya udah sering ya, ngasih makan kamu di kantin?”
“Iya sih, hahaha!”
Ketika chicken salad yang dipesan siap tersaji, Aswin merebut garpu yang dipegang Zhiya. Ia menusuk sepotong daging dan selada, lalu menyuapkannya pada Zhiya. Langit malam itu memang cerah dan angin mengembus pelan. Mungkin, suasana itu yang membuat Zhiya tak ingin menolak perhatian Aswin. Ia bahkan bergantian menyuapi Aswin.
Keduanya tertawa. Entah mengapa kali ini Aswin begitu berbeda dan banyak bicara, seolah menumpahkan banyak kata yang selama ini ditahan. Apakah sesuatu yang tak biasa ini adalah sebuah tanda ... perpisahan?
Zhiya merasa ditinggalkan. Ada sesuatu yang terasa kosong dan membuat perasaannya tak nyaman.
“Win, kita bakal ketemu lagi, kan?”
“Hmm.”
“Kok hmm?” Zhiya menatap mata Aswin menuntut jawaban jelas.
“Ya kalau kamu masih mau ketemu aku.”
“Kok gitu sih?” Zhiya menyandarkan punggung dan kepalanya ke kursi, kesal.
“Abis, kamu gak mau diajak nikah,” Aswin menggoda. Zhiya menendang kaki Aswin di bawah meja.
“Aw,” keluhnya berakting kesakitan.
Saat itu, Zhiya dan Aswin berharap malam tak segera melarut. Keduanya ingin menikmati dan mengingat eratnya hubungan mereka yang istimewa tapi tak jelas arahnya.