Contents
LENTERA
BAB ENAM
MAKAN malam seperti yang Farid janjikan. Lentera memilih ‘tuk makan malam di sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Sejak lama Lentera ingin sekali makan udon yang sangat terkenal di sana. Untungnya Ayah dan Bunda memahami keinginan Lentera, alhasil, tanpa banyak perdebatan seperti yang dulu mereka langsung bergegas menuju restoran Jepang tersebut. Sembari berjalan menuju tempat tujuan, mereka tentu harus mengelilingi pertokoan di pusat perbelanjaan yang cukup besar. Sesekali mereka memasuki toko yang menarik mata, meski rasa lapar melanda, tapi Lentera dan Warna memiliki jiwa berbelanja yang tinggi.
“Bunda, lihat baju ini, Lentera suka.” Ucapnya pada sebuah kaus merah muda dengan aksen bunga di bagian tengah dada, “kalau boleh, Lentera mau beli ini… Tapi nanti aja! Setelah selesai makan.”
Warna terkekeh kemudian melihat tingkah Lentera, “nggak papa kalau Tera mau beli sekarang, ‘kan kita sudah buat janji sama restoran itu, bakalan kebagian tempat, kok.” Warna meminta Lentera kemudian ‘tuk mencari ukuran yang tepat untuk dirinya sedangkan Warna akan menunggunya bersama Farid tak jauh dari sana.
Pandangannya mengedar pada bagian yang ia inginkan, mencari ukuran yang tepat bagi sang gadis. Ia tak ingin yang terlalu kecil, semakin ukurannya besar semakin ia suka. Sang gadis juga tak ingin membuat kedua orang tuanya menunggu lama hanya karena ia bimbang akan ukuran nya, dengan seperti itu, ia dapat menghemat waktu. Sebelum memilih baju, Lentera telah diberi sejumlah uang untuk membayar yang ia inginkan tersebut sehingga ia bergegas menuju kasir untuk membayar bajunya.
Pandangan sang gadis tak lepas dari baju-baju manis yang tergantung pada etalase toko. Menuju kasir pun ia sempatkan diri untuk melihat aksesoris menarik, namun segera ia lupakan tentang hal tersebut mengingat sang Ibunda memiliki toko aksesoris yang jauh lebih menarik. Lentera bergegas meninggalkan sisi aksesoris ‘tuk segera membayar yang hendak ia beli. Namun, dirinya tak sengaja menabrak seseorang yang berjalan berlawanan dengan sang gadis.
“Aduh! Maaf!”
“Kamu nggak papa?”
“Nggak, nggak papa…”
Kedua remaja tersebut saling bertatapan, salah satunya menatap datar, salah satunya menatap nanar. Lentera yang menatap nanar. Pasalnya wira, sosok yang ia tabrak memiliki wajah yang mirip dengan sahabat semasa kecilnya, Genta.
“G-Genta?” Napasnya tercekat begitu mengucapkan nama wira di hadapannya yang kemudian berlalu pergi setelah melihat Lentera dalam keadaan yang baik-baik saja. Hal itu tentu saja membuat Lentera tak sengaja menahan lengan sang wira, “kamu Genta, ‘kan?” Wira yang tengah menatapnya datar berubah menjadi masam sebab tak suka Lentera yang asal memegangnya. Sontak, sang gadis melepas genggaman tersebut dan meminta maaf, “maaf, maaf… Kayaknya aku salah orang, permisi.”
Berlalu sang gadis meninggalkan sosok wira yang tak bergeming di tempat, wira itu tanpa sepengetahuan sang gadis menatap punggung yang menjauh dari belakang. Pasalnya wira itu terkejut bagaimana bisa Lentera dengan mudahnya menggenggam lengannya.
Wira itu berjalan meninggalkan toko di mana Lentera masih berkutat dengan pakaian yang harus ia bayarkan. Sesekali netra sang gadis melirik pundak wira yang kian menjauh dari penglihatan, lega rasanya. Meski ada rasa yang masih mengganjal pada dirinya, ia yakin wira tadi adalah Radja Gentala.
Tak berselang lama setelah membayar, Lentera segera menghampiri kedua orang tuanya yang tengah asyik berbincang, “Ayah, Bunda! Lentera udah bayar, nih.” Melihat anak semata wayang, beranjaklah Farid dan Warna dari tempat keduanya duduk, bergegas keluarga kecil tersebut menuju restoran Jepang yang menjadi tujuan utama. Sepanjang jalannya menuju restoran, Lentera masih memikirkan sosok wira yang baru saja ditemuinya. Iya benar dan yakin yang tadi adalah Radja Gentala. Genta sahabat semasa SMP-nya.
Menyadari gadis berusia enam belas tahun itu hanya berdiam diri saja, Warna pun merangkul Lentera dan berbisik, “kurang suka sama bajunya, ya?” Mendengar bisikan sang Ibunda, Lentera tertegun dan dengan cepat menggeleng jemala, “terus kenapa bengong aja dari tadi?”
“Nggak, Bun, bukan nggak suka… Tera suka banget! Lentera nggak bengong, kok, Lentera cuman… Cuman lapar!” Berdusta sang gadis pada sang Ibunda, sehabis ini ia harus memohon ampun kepada Tuhan telah berbohong pada sang Bunda, “Lentera belum makan, jadi Lentera bengong mikirin apa aja yang mau di makan selain udon spicy di sana!” Jelasnya lagi dengan nada penuh antusias, mencoba ‘tuk membuat sang Ibunda tidak curiga dengannya.
Warna menatap dalam dengan senyum penuh arti pada bilah bibirnya, “betul? Nanti Bunda, sih mau sashimi seperti biasa. Kamu yakin masih musuhan sama sashimi?”
“Masih! Aku terakhir makan sashimi sama Bunda, kan masuk UGD karena diare. Bunda, sih.” Warna dibuat tertawa oleh Lentera, pasalnya saat itu Lentera memang tidak dalam keadaan yang baik, dan mencoba memakan sashimi dengan wasabi yang terlalu banyak, “nanti aku mau tempura juga, ya, Bun!”
“Boleh, Tera, apapun boleh Tera makan, kok.”
Tiba keluarga kecil pada restoran Jepang, yang menjadi tempat andalan Lentera bila ia ingin sekali merayakan apa yang telah ia capai bersama kedua orang tuanya. Kadang bersama dua kakak sepupunya, Samudera dan Radela. Sayangnya, dua kakak sepupu sedang ada kesibukkan masing-masing. Samudera yang disibukkan dengan pekerjaannya sebagai dokter anak, sedangkan Radela yang berkutat dengan tugas kuliahnya.
“Ayah, Ayah!” Seru Lentera pada sang Ayah yang duduk berhadapan dengannya, “nanti boleh ke toko buku? Aku mau cari komik, boleh, ya?” Dengan wajah memelas, Lentera teringat ada satu komik incaranya, komik yang ingin ia baca sejak lama. Kabarnya komik itu masih terjual banyak di toko buku seluruh Indonesia.
Farid mengernyit tentang permintaan sang anak, “lho, ‘kan sudah beli baju? Kok, minta beli komik lagi?” Kendati demikian, Farid yang jatuh pada wajah gemas Lentera pun terkekeh, “iya, iya, boleh nanti setelah makan, ya. Tapi, jangan bilang-bilang Bunda, kalau nggak kamu kena omel nanti. Ini rahasia Lentera sama Ayah aja, oke?”
Warna sedang pergi ke toilet sebentar, tepat tadi saat mereka tiba di depan restoran Jepang. Toilet pengujung untungnya tak jauh dari restoran, tak membuang waktu lama untungnya. Itulah alasan Lentera berani meminta pada Farid membeli komik. Sembari menunggu sang Ibunda, Lentera dan Farid berbincang penuh tawa. Sesekali berlatih menggunakan sumpit sebab Farid sangat payah akan hal itu.
“Gini, lho, Ayah. Jari telunjuk, tengah, sama ibu jari pegan sumpit atas, terus sumpit yang bawah ditahan sama sela-sela ibu jari dan jari manis. Terus yang gerak—”
“Seru banget kayaknya?” Suara bariton yang Lentera kenali membuat terkejut dan secepat kilat menoleh ke asal suara. Sekon kemudian mata berbinar sebab mendapat sosok yang ia sayangi, “selamat jadi anak SMA, Lentera!”
“Kak Sam, kak Del!” Lentera bangkit dari kursi dan menghampur dalam dekapan Samudera dan Radela, yang datang tanpa di minta. Dari belakang ada Warna pula yang turut menyaksikan manisnya pertemuan Lentera dan dua kakak sepupunya, “kok bisa disini? Katanya sibuk— oh, ini pasti Bunda, ya?”
Yang dicurigai hanyalah tersenyum kikuk, sudah pasti Lentera yakin bila ini semua adalah ulang sang Ibunda. Yang penuh memberi kejutan selalu sang Ibunda, “nggak, tuh, kak Sam sama kak Del yang mau datang.” Lentera menyipitkan mata, gadis itu tidak bisa dibohong oleh Bunda, “hahahaha, iya, iya Bunda yang ajak. Soalnya sayang kalau kak Sam sama kak Del nggak ikut merayakan kebahagiaan kamu diterima jadi anak SMA?”
Lentera mengangguk semangat, masih dalam dekapan Samudera dan Radela, namun sekon kemudian ia melepas dekapan dan menatap penuh drama kedua orang tuanya. Hal ini menyebabkan Farid dan Warna terkejut kemudian, “ada yang kurang! Kakek!”
“Kakek, sendirian di Kalimantan— nggak, sama Sushi dan Ramen. Tapi, tetap aja. Kakek nggak ikut merayakan…” Dengan lirih Lentera pun terduduk sebab teringat Darma sang Kakek di Kalimantan, “harusnya Kakek ikut…”
Samudera yang duduk di sebelahnya kemudian mengusap surai legam Lentera, “tenang aja, Kakek kan masih sama Papa Mamanya kakak, disana pasti nggak sendirian, kok. Tenang aja. Kita bisa telfon kakek, oke? Sekarang Lentera harus senang-senang dulu. Kakek pasti ngerti kok.” Samudera mencoba menenangkan, wira dengan tato sekujur badan yang sempat Lentera jauhi, karena lama tak bertemu dan merubah penampilannya menjadi cukup… mengerikan bagi Lentera.
“Yaudah, sekarang, kita rayakan pencapaian Lentera telah masuk ke SMA favoritnya. Setelah itu kita telfon Kakek dan Lentera boleh jajan sepuasnya sama kak Radela, oke? Ayah yang trakir.” Farid mencoba untuk mencairkan suasana, mengembalikan suasana bahagia sang anak semata wayang. Tangannya terulur memanggil seorang pelayan untuk memesankan makanan favorit Lentera. Sedangkan Samudera dan Radela mencoba mengembalikan senyum Lentera, meski sesekali sang gadis cemberut mengingat sang Kakek di Kalimantan sendirian.
Pesanan milik Lentera telah dihidangkan, begitupun dengan yang lainnya. Pesanan Lentera ialah udon spicy dengan tambahan tempura krispi seperti yang ia inginkan. Senyum cerah sang gadis kembali, melihat santapan makan malam yang cukup menyenangkan hati dan perutnya, “itadakimasu!” Terbawa suasana Jepang, gadis yang gemar dengan animasi Jepang pun turut mengucapkan selamat makan dalam bahasa Jepang. Guraunya itu mengundang tawa bagi Ayah, Bunda, Samudera dan Radela tertawa, baru saja sang gadis hendak mengambil sumpit ‘tuk melahap makanannya, Radela menahannya, “lho, kenapa, kak?”
“Belum cuci tangan, ‘kan? Ayo cuci tangan dulu sana.”
Mengingat ia memang belum mencuci tangan, Lentera segera bangkit dari kursi dan menuju tempat para pelanggan restoran mencuci tangan. Sepi seperti biasa, sebab ini bukan hari libur, Lentera memang biasa mengajak kedua orang tuanya makan di restoran ini saat hari kerja. Begitu telah mencuci tangannya, Lentera hendak mengeringkan tangan, namun lagi-lagi ia menabrak seseorang saat berbalik badan.
“Aduh maaf!” Tepat pada bagian keningnya, Lentera menabrak bagian pundak orang tersebut, ia meringis sebab terasa sakit di sana, “maaf banget aku nggak…” Kalimatnya menggantung saat matanya melihat siapa lagi yang ia tabrak saat ini.
“Kebiasaan banget nabrak orang.”
“…sengaja.” Wira yang sama saat di toko baju sebelumnya.
“Lo udahan belum? Minggir, dong!”
Ia masih orang yang sama, orang yang ia tabrak di toko baju sebelumnya, Radja Gentala.