Try new experience
with our app

INSTALL

ARMADILLO 

CHAPTER #7 – RAHASIA RAKA

Hari ini hari minggu. Meskipun libur, Disa tetap bangun pagi-pagi. Sudah jadi kebiasaannya sejak kecil bangun pagi meskipun hari libur. Mendiang mamanya selalu mengajarinya untuk jadi seorang anak gadis yang dapat diandalkan. Kini dirumahnya hanya dia satu-satunya seorang perempuan. Mamanya sudah meninggal tiga tahun yang lalu, jadi dialah yang selalu membersihkan rumah dan masak untuk papah dan kakaknya, gantian sih, biasanya Novan juga memasak untuk mereka. Tapi pagi ini dia yang bangun lebih awal, dan menyiapkan sarapan untuk dua orang yang dia sayangi itu.

Setelah selesai memasak, Disa menghidangkan sarapan yang sudah dia buat diatas meja makan. Dia mengetuk-ngetuk kamar dua lelaki kesayangannya itu supaya bangun dan sarapan bersama. Setelah memastikan mereka sudah bangun, Disa kembali kemeja makan dan menunggu mereka untuk sarapan bersama.

“Kayaknya enak nih!” Seru Novan sambil menarik kursi untuk dia duduk. Sejurus kemudian tangan Novan sudah meluncur untuk mengambil centong nasi, tapi dipukul oleh Disa.

“Tunggu Papah dulu, Kak!” Disa melotot, sementara Novan mengelus-elus tangannya yang dipukul Disa itu. Kecil saja badannya, tapi bekas pukulnya cukup membuat Novan meringis kesakitan.

Tak lama kemudian lelaki setengah baya bertubuh cukup tinggi datang dan duduk di samping Disa.

“Ayo, Kak Novan pimpin doa!” Kata Disa lagi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Novan tidak protes, dia langsung mengambil sikap doa dan memimpin doa. Setelah itu mereka makan bersama, menikmati sarapan yang disiapkan Disa dengan penuh cinta.

“Gimana, enak nggak, Pah, masakan Disa?” Mata Disa berbinar-binar.

“Masakanmu mana pernah nggak enak, Dek. Aku aja udah nambah lagi nih!” Sahut Novan, tapi mendapat tatapan sinis dari Disa, bukan dia yang ditanya malah dia yang jawab.

“Kak Novan mah, apa aja enak. Sayur pare biar nggak dimasak pun tetep enak buat Kakak.” Tukas Disa, sembari memeletkan lidahnya.

Papah Disa tertawa kecil, “Tapi masakan kamu ini memang enak, sayang. Kamu makin jago masaknya.” Ucapnya sambil mengacungkan kedua jempolnya.

“Anaknya siapa dulu dong. Anaknya Papah sama Mama!” Katanya dengan senyum semringah. Dia bangga mendengar pengakuan dari papahnya itu, dia memang mewarisi kepandaian mamanya yang jago masak.

“Adeknya siapa dulu dong, Kak Novan!!!”

“Hahaha...” Disa tertawa receh, membuat Novan mengacak-acak rambutnya, gemas dengan kelakuan adek satu-satunya itu.

“Mama di sana pasti bangga sama Disa.” Ucap papanya sambil tersenyum, mencoba untuk tetap tegar. Padalah hatinya sesak karena merindukan sosok istrinya yang telah tiada.

Disa dan Novan saling berpandangan, menatap papahnya dengan tatapan sendu, tapi sama-sama berusaha menyembunyikan kesedihan diwajah mereka. Tidak ingin papanya semakin larut dalam kesedihan lagi.

“Iya, Pah. Papah rindu ya sama Mama.”

Papah Disa hanya mengangguk lalu tersenyum, dia kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya.

“Pah, gimana kalau nanti siang kita ke makam Mama!” Ajak Novan dengan antusias dan disambut Disa dengan penuh semangat.

Dengan senang hati Papahnya mengiyakan ajakan anak-anaknya itu.

*** 

Siangnya, pukul dua belas lewat lima menit, Disa, Novan dan papah mereka tiba disebuah pemakaman umum. Tampak beberapa orang juga mengunjungi makam keluarga mereka. Makam Mama Disa berada di tengah-tengah pemakaman yang luas itu, dan ada pohon yang tidak begitu besar di dekatnya.

Begitu sampai di depan makam Mamanya, Disa dan Novan berjongkok untuk membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh disekitarnya. Setelah itu mereka menaburkan potongan-potongan bunga yang mereka bawa. Disa melirik papahnya yang hanya diam tanpa mengatakan apapun sejak mereka tiba. Dia mengerti papahnya masih sangat terpukul atas kepergian mama, cinta pertama dan terakhinya.

Bukan berarti dia tidak merasakan kesedihan ditinggal oleh mamanya untuk selama-lamanya, tapi dia sudah ikhlas untuk menerima kenyataan hidup yang pahit itu. Percayalah, mengikhlaskan kehilangan sesuatu itu sulit, apalagi mengikhlaskan kehilangan seseorang yang paling penting dalam hidup ini. Tapi, Disa selalu mengingat kata-kata mamanya sewaktu masih hidup dan itu selalu berhasil membuatnya kembali kuat.

“Disa harus percaya, segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan. Sekalipun Disa kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup ini, asal Disa punya Tuhan dalam hidup Disa, Disa sebenarnya tidak pernah kehilangan apapun.” 

Perkataan Mamanya itu terus melekat di dalam hati dan ingatannya, dan selalu berhasil menenangkan hatinya. Yang dia percaya, Tuhan itu baik. Sekalipun Tuhan izinkan dia melewati masa-masa sulit dan berat, termasuk kehilangan mamanya, Tuhan tetap baik.

Novan menepuk bahu papahnya yang mulai bergetar, berusaha menguatkan papahnya yang kini larut dalam kesedihan. Mata Disa juga mulai berkaca-kaca, tapi dia tetap berusaha supaya tidak menangis. Dia harus kuat, dia sudah berjanji untuk jadi anak gadis yang kuat dan tidak cengeng pada mamanya sebelum mamanya menghembuskan nafas terakhir.

“Pulang yuk, Pah.” Kata Novan dengan hati-hati.

Disa hanya memperhatikan papahnya dengan tatapan sendu. Dia menggenggam tangan papahnya, berusaha mengalirkan kekuatan. Disa tersenyum saat papahnya menoleh kearahnya, lalu mengangguk untuk pulang.

Papah Disan dan Novan berjalan lebih dulu di depan, sementara Disa mengekor di belakang mereka. Tiba-tiba langkah Disa terhenti begitu melewati sosok cowok bertubuh tinggi yang tidak asing dimatanya. Cowok itu sedang menunduk, matanya sembab dan berair. Dia berkali-kali mengusap pipinya yang basah.

“Raka...” Gumamnya pelan, takut cowok itu terkejut melihatnya.

Iya, cowok itu adalah Raka. Dia hanya menatap makam yang ada di hadapannya itu tanpa bersuara. Sejujurnya Disa senang bisa melihat Raka di hari libur seperti ini, karena dia hanya bisa melihat Raka saat di sekolah. Tapi dia tidak ingin mengeluarkan suara untuk mengganggunya, situasinya sedang tidak tepat. Disa menatap cowok yang kini matanya memerah itu lekat-lekat, menyaksikan ekspresi diwajah Raka yang tidak pernah dia bayangkan akan dia lihat seperti hari ini.

Sejak pertama kali bertemu Raka, yang dia lihat di wajah Raka hanya eskpresi datar dan jutek, bahkan tidak pernah dia mendapati Raka senyum sedikitpun. Tapi, hari ini ketika dia melihat cowok itu menangis di depan makam seseorang, entah kenapa hatinya juga merasakan kesedihan yang dirasakan cowok itu. Tanpa berpikir panjang, Disa menggenggam jemari cowok itu, seperti yang dia lakukan ke papahnya tadi. Barang kali lewat genggaman itu Raka merasa dikuatkan, tenang dan tidak merasa sendirian, ada dirinya di sampingnya.

Raka menoleh dan tatapannya jatuh ke arah jemarinya yang digenggam oleh Disa. Entah kenapa dia membiarkan jemarinya itu digenggam oleh Disa. Dia tidak menepisnya seperti yang dia lakukan sebelum-sebelumnya. Disa tersadar, lagi-lagi dia kelewat batas, dengan cepat dia melepaskan genggamannya itu dari Raka. Tidak ingin membuat Raka tiba-tiba marah dalam situasinya yang sedang sedih.

Raka menyeka air matanya yang membasahi pipinya, mengatur hatinya dan ketika merasa sudah cukup tenang dia memberanikan diri untuk menatap Disa.

Disa sudah beranjak beberapa langkah, tapi dia masih bisa mendengar suara Raka yang berat karena habis menangis, dia menoleh dan mendapati Raka sedang menatapnya.

“Tolong jangan bilang siapa-siapa. Rahasiain ini.” Tatapan Raka begitu sendu, suaranya terdengar parau.

Disa mengangguk lalu menarik sudut bibirnya, dia tersenyum. Senyum yang meneduhkan hati Raka secara tiba-tiba, hatinya mendadak terasa hangat dan semakin tenang.

***

Sepanjang perjalan pulang menuju rumah, di dalam mobil Disa hanya diam dengan pikiran yang terus tertuju ke Raka. Isi kepalanya terus memikirkan makam siapa yang Raka tangisi tadi, dia tidak sempat melihat batu nisannya karena terlalu fokus menatap Raka. Lelah untuk berpikir namun tidak menemukannya jawabannya.

Disa menatap keluar kaca mobilnya dengan tatapan kosong. Dia teringat ucapan Raka tadi sebelum meninggalkan cowok itu sendirian.

Iya, gue janji, nggak akan bilang ke siapa-siapa kalau lo tadi nangis. Batinnya.