Contents
Biru Berderai
Bab 6 Abbozzo Euthanasia
“Wah, lo harusnya ikut, Bi. Kemarin itu seru banget. Matahari terbitnya bagus banget,” pamer Lulu.
Inbi menegakkan kepala. “Wow,” ucapnya tak bersemangat. Dia kembali memainkan tetikus.
Lulu menggeram. Dia berhenti mewarnai gambarnya. “Gitu amat. Kencan lo gagal?” tebaknya.
“Kalau mukul pacar, kena UU KDRT ndak sih?” Inbi malah bertanya. Dia duduk tegak, memutar badan sembilan puluh derajat.
Lulu mencermin posisinya. “Gimana, gimana? Lo mukuli om dokter? Dia cabul ke lo sampai lo harus lawan dengan kekerasan gitu?”
Inbi memundurkan badan. “Jangan sebut om dong. Dia belum tua-tua amat, Lulu. Masih muda dan ganteng. Sungguh idaman para gadis. Seharian sama dia itu adanya was-was melulu. Cewek-cewek pada ngeliatin dia. Ngomongin dia tepat di sekelilingku seakan aku kasat mata. Aku merasa hina dan udik, Lu. Timpang banget ya aku sama mas Derai?”
“Timpang? Apanya?”
“Harusnya aku mau pas disuruh les renang. Nggak boleh mencet-mencet jerawat. Baju harus yang modis. Gitu ndak?”
Lulu menoyor pundak Inbi. “Apaan sih lo. Nggak banget deh. Tadi lo nanya soal KDRT, terus berbelok ke penampilan. Keresahan apa sih yang menimpa saat ini, say? Dideketin dokter bikin lo minder?”
Inbi memijat kedua sisi kepala. Dia berulang kali menghembus nafas kuat-kuat. “Ceritanya dia udah nembak aku. Udah aku jawab mau juga. Semalam itu aku malah kepikiran. Gegabah nggak sih aku? Apa aku tarik lagi jawabanku? Di-pending dulu aja jadiannya.”
“Menjilat ludah sendiri. Jijik lo,” sebut Lulu. Dia mendelik. Fokusnya beralih pada gambar di atas meja. Warna merah marun diguratkan. “Menurut gua, normal sih lo kepikiran. Gua rasa ini juga baru permulaan. Bertambah lama kalian bersama, bakal makin banyak ketakutan yang lo alami. Saat itu terjadi, gua harap lo tetep waras. Jangan bikin keputusan pas sedih, marah, dan senang. Susah sih, tapi lo ingat-ingat aja terus.”
Inbi terangguk-angguk. Harus diingat baik-baik nasehat baik Lulu. Mumpung anak itu sedang bijak dan penuh petuah.
Ddrrt! Masuklah sebuah pesan. Tak menunggu, Inbi membuka pesan tersebut. Tak lain dan tak bukan, dari Derai tentu saja. Siapa lagi yang bertukar pesan dengan Inbi. Teman-temannya hanya kalau menanyakan soal kuliah.
Biru, nanti sore mas boleh ke kost?
Sopan benar dia meminta izin. Anak baik memang Derai ini. Keberuntungan apa yang membuat Inbi bisa mendapatkan kesempatan bersama orang tersebut.
“Jangan kasih izin,” suruh Lulu. Dia mengintip ponsel Inbi. Matanya masih tertuju ke layar ponsel. “Baru juga kemarin habis bertemu.”
“Dua hari yang lalu, Lu. Kemarin nggak ketemu sama sekali. Chattingan juga enggak. Kamu enak, tiap hari bisa ketemu Abe. Coba deh kamu pertimbangkan perasaanku.”Inbi bergegas mengirim balasan berupa izinnya. Mumpung bisa bertemu. Setiap kesempatan harus dimanfaatkan.
Lulu mengedikkan bahu. Keduanya lantas kembali ke tugas masing-masing. Selama beberapa jam berkutat di studio bersama sejumlah mahasiswa lain. Tidak lagi membahas soal percintaan. Adanya tugas dan tugas.
Inbi memakai tudung hoodienya sewaktu keluar dari studio. Dia menutup kuapnya dengan sebuah buku. Di belakangnya Lulu berjalan sambil berkirim pesan dengan Abe. Tentu saja, duh!
Kedua tangan Inbi diselipkan ke saku. Sedikit mengantuk dan agak lapar. Dia berbelok ke arah jalan menuju kantin. Lulu berlari kecil menjajarinya. Lengannya digamit erat.
“Hai, Kakak-kakak!” sapa seorang mahasiswa, baru. Anak angkatan termuda. Orang yang paling tidak ingin ditemui Inbi dan Lulu saat ini.
Inbi memicingkan mata. “Kasih jalan,” desisnya.
Kiri kanan mereka pohon-pohon tinggi dan semak. Hutan kecil yang memisahkan gedung jurusan dengan kantin dan jalan setapak ke area lain. Jalan yang mereka lewati sebenarnya muat untuk empat orang. Hanya saja Rauf berada di garis yang menyalahi pembagian imajiner jalur setapak.
Lulu mengeratkan pegangannya. “Dah, Bi. Ayo, jalan,” bujuknya.
Inbi menggeram rendah. Dia menggeser langkahnya. Lirikannya tertuju pada Rauf dengan tajam. Kalau bisa biar mengoyak anak itu.
“Gimana, Mbak Inten? Ada yang salah?” tanya Rauf. Suaranya kecil, dingin. Dia berbalik menghadap pada Inbi. Seringai kecil menghias mukanya.
“Ada masalah apa sih kamu? Kita masih satu jurusan, jangan deh bikin ribut. Kenal aja nggak,” jawab Inbi kesal.
Rauf menaikkan alis sebelah. “Nggak kenal? Udah beberapa bulan kuliah bareng lho, Mbak. Ah, mbak Inten masih kesal soal kecelakaan mbak Lulu? Maafin Rauf. Harusnya aku antar kalian balik kala itu,” sesalnya. Dia menggigit tepi bibir. Berjalan selangkah mendekat.
Inbi mundur selangkah. Hampir menginjak kaki Lulu yang menempel padanya. “Yaudah, lupain. Baik-baik kuliah. Nggak usah cari masalah,” tandasnya.
Lulu menariknya mundur. Setengah menyeret Inbi yang kesulitan menggerakkan tungkai. “Ayo, Bi. Udah, ah. Lo nyeremin kalau kambuh,” bisik Lulu.
“Buru-buru, Mbak? Mau Rauf traktir? Gantinya udah bikin mbak Lulu sakit. Rauf janji nggak gitu lagi,” kejar Rauf. Dia bergeming.
“Nggak usah,” ketus Inbi. Dia pasrah diseret Lulu.
“Ya, lain kali ya. Rauf juga lagi ada janji. Nanti boleh deh, sambil ngobrol,” sahut Rauf riang. Dia melebarkan seringai. “Kata bang Malik, mbak Inten asyik diajak ngobrol. Siapa tahu mau curhat soal Atmaja.” Dia kemudian melambaikan tangan. Berlari sepanjang jalan. Layak anak kecil yang mengejar layangan putus. Antusias dan optimis.
Berbanding terbalik dengan Inbi yang terpaku. Setengah badan atas terpuntir ke arah cowok tadi. Badan bawah terarah ke ujung lain jalan. Kedua tangannya menggantung lunglai. Kebas dicengkeram Lulu.
Suara-suara tidak dia dengar. Kupingnya berdenging. Hening melengking dalam telinga. Bola matanya bergulir ke sana kemari. Tidak bisa fokus pada sebuah pohon atau titik tertentu. Lari!
Lari cepat, bisik suara dalam kepala. Jernih terdengar meski kecil. Jangan biarkan ada yang tahu. Pendam dalam-dalam.
Plak! Pipi Inbi ditampar Lulu. “Sialan! Sadar lo, Bi!” pekiknya. Dia menyeret Inbi cepat-cepat. Dibawanya ke tempat parkir.
Helm dijejalkan asal ke kepala Inbi. Anak itu didudukkan ke jok belakang. Lulu berkelit, duduk di depan. Setelah memastikan Inbi memegang pundaknya, Lulu menggeber motor. Dia membawa Inbi menuju kost.
“Sadar, Bi!” bentak Lulu begitu mendorong Inbi duduk di kursi, di kamar kost Inbi. Lulu berjalan mondar-mandir. “Jangan lo ingat-ingat lagi. Udah, oke! Udah!” suruhnya.
Kepala Inbi tergeleng pelan. “Gimana bisa dia sebut nama itu, Lu? Anak itu sebenarnya siapa?” cemas Inbi. Dia menarik lutut ke dalam rengkuhan. Kepala direbahkan di atasnya.
“Nggak usah dipikirin. Anak setan kali. Dah, lah, paling dia denger gosip. Nggak penting,” Lulu berusaha menenangkan Inbi.
“Bener kan. Perasaanku nggak enak soal dia,” desah Inbi. Dia oleng ke kasur. “Tolong ponselku, Lu.”
Lulu menyerahkan ponsel ke Inbi cekatan. Sama cekatannya dengan Inbi yang mengetik pesan ke salah satu kontak. Beberapa waktu, dia pikir dia tidak akan menghubungi nomor tersebut lagi. Rupanya keliru. Mau tidak mau dia memang harus menghubungi manusia satu itu.
Aku sudah di depan kost.
Pesan baru masuk. Seketika Inbi melompat turun dari tempat tidur. Dirapikannya ikatan rambut. Baju yang kusut, ditarik-tarik biar berubah licin. Yang benar saja akan terjadi. Adanya dia malah disemprot Lulu yang kaget.
“Mas Derai dah di depan. Kamu jangan kagetan. Nggak baik buat kesehatan. Tidur atau makan dulu sana,” kata Inbi, tidak meminta maaf. Dia berhenti, “Sorry. Aku perlu banget ketemu mas Derai sekarang. Tapi kamu tetap belahan jiwaku, darling dadar guling.”
“Serah lo dah,” gerundel Lulu. Dia pindah ke kasur. Asyik bermain ponsel.
Inbi berjalan cepat menuju gerbang. Tidak pakai alas kaki. Ujung jins yang tak terjahit menyapu paving. Kepeduliannya sekarang adalah membuka pintu dan menarik Derai ke sisinya.
“Aku bawa roti bakar,” Derai mengumumkan.
“Puji syukur. Pas banget, ada yang perlu diberi asupan gizi,” sahut Inbi, diterimanya kantong plastik. “Masuk, Mas. Aku ambil piring,” lanjutnya.
Inbi bergegas ke kamarnya, diambilnya piring dan garpu. Sempat dia memberi jatah untuk Lulu yang mengendus udara. Dia cepat-cepat ke ruang tamu. Derai tengah mengacak-acak rambutnya. Inbi teringat hal lain, dia menaruh barang-barang ke meja lalu melesat kembali ke kamar.
“Biar nggak seret,” kata Inbi menaruh dua botol teh. Dia pun duduk tepat di sebelah Derai. “Capek?” dia mengajukan pertanyaan yang terdengar aneh.
Derai mengangguk. “Tapi udah pulih, begitu lihat kamu jadi seger.”
“Bisa aja pak dokter. Eh, bentar, aku buka pesan dulu,” kata Inbi seraya mengeluarkan ponsel dari saku.
Balasan pesan dari Malik. Pesan singkat yang tidak terlalu menyenangkan. Jauh dari harapan Inbi.
Rauf siapa? Aku ga kenal.
“Sama siapa itu?” Derai ingin tahu. Dia sedikit melonggokkan kepala.
Inbi bergumam, menaruh ponsel ke meja. “Sama Malik, Mas. Aku nanyain orang.”
“Malik yang itu?” heran Derai.
Ini dia, batin Inbi. Harus mulai dari mana dia hendak menuturkan pada Derai. Padahal ini baru awal hubungan mereka. Apa dulu yang harus diberitahukan. Nanti kalau diberitahukan semuanya, Derai bisa lari. Kalau tidak diberitahu, Inbi bingung sendiri. Apa lagi kalau, amit-amit, Derai tahu orang lain.
Rauf. Anak itu bisa aja membuat masalah lain. Mahasiswa baru itu tampaknya harus jadi pertimbangan Inbi.
“Iya, Malik yang lagi koas di rumah sakit. Mas Derai kenal dia kan?” kata Inbi hati-hati. Rauf, dia harus mencari tahu soal anak itu.
“Ya, kenal. Katanya kamu nggak ada apa-apa sama dia. Ada masalah?” Suara Derai mengandung nada-nada ingin tahu yang terlalu kentara.
Inbi mengusapkan tangan ke paha. Agak berkeringat. “Nggak ada masalah sih. Yah, memang sudah tidak ada apa-apa sama dia. Gimana ya, Mas? Em..., ya nanti kalau mas Derai mau sama tanya ke Malik nggak apa-apa sih. Cuman, nanti harus sama lihat dari versi aku juga.”
Derai menatap lekat pada Inbi. Tak ada senyuman. “Serius nih?” Dia baru sedikit tersenyum.
Kepala Inbi terayun-ayun. Dia membuat sedikit jarak. “Malik mantan tunanganku, Mas,” ungkapnya.
“Oh, wow!” celetuk Derai. Tangannya meraih tangan Inbi yang dikaitkan. Diurai jemari yang bertaut. “Tapi sekarang udah ndak ada apa-apa kan?”
Inbi mengangguk cepat-cepat. Dia mengerjapkan mata. Ada air mata yang siap mengalir. “Kami dijodohkan, terus tiba-tiba dibatalin. Ceritanya panjang, Biru nggak ngerti musti gimana cerita ke mas Derai. Pada dasarnya Biru nggak punya perasaan ke Malik. Dibatalingini pun malah Biru bahagia. Sekarang, mas Derai tanya aja apa yang ingin mas tahu.”
Tangan Inbi digenggam. “Sejak pertama lihat kamu, mas sudah tertarik. Mas penasaran sama kamu yang pakai sendal tertukar. Aku agak kesal waktu Malik sapa kamu di kantin. Tapi senang bukan main pas ketemu kamu lagi di tempat Bram. Mas akan tanya banyak, nanti kamu juga boleh tanya banyak juga ke mas. Tapi, benar kan kamu sudah tidak ada hubungan dengan Malik? Aku nggak mau kalau ternyata kalian masih ada urusan yang belum beres.”
Mata Inbi bergulir turun. Tak sanggup memandang Derai lama-lama. “Udah nggak ada. Cincin tunangan sudah dikembalikan. Ya, untung saja acara tunangannya dulu hanya keluarga inti. Nggak malu-maluin amat.”
“Baguslah kalau sudah beres. Aku sendiri belum pernah tunangan. Boro-boro tunangan, pacaran saja tak mulus. Pernah dekat sejumlah perempuan, tapi ndak ada yang cocok. Biru sendiri gimana ceritanya bisa tunangan sama Malik? Bisa ceritain itu? Atau butuh waktu?”
Sebuah dorong membuat Inbi menarik tangannya dari genggaman Derai. Dia membeliak. Lantas mengangguk. Dia memeluk dirinya sendiri. Seperti orang kedinginan.
“Aku udah nggak punya orang tua, Mas. Bapak meninggal saat mulai semester satu dulu. Sejak itu Biru tinggal sama adiknya bapak. Bulik punya teman baik, mamanya Malik. Sering main ke tempat bulik, terus ya kami jadi dekat. Biru sendiri anggap Malik kayak temen biasa. Nggak tahunya Malik suka padaku. Terus pas akhir semester tiga, kami tunangan. Baru mau mulai semester lima ini, batal.”
“Kenapa kamu mau ditunangkan?”
Inbi memeluk diri makin erat. “Bulik yang bujuk Biru. Masa depan Biru bakal terjamin kalau mau sama Malik. Selama ini aku nggak pernah mikir soal cowok, Mas. Dari kecil diledekin, aku minder kalau urusan cowok. Baru kuliah ini, setelah kenal Lulu, aku bisa berteman sama cowok-cowok. Ya, pasrah saja aku sama bulik maunya gimana. Tinggal bulik keluargaku. Nggak perlu repot juga kan harus nyari pacar. Ada yang mau saja sudah syukur banget. Meski akhirnya ditinggal juga.” Inbi tertawa masam. Dia menyandarkan sisi tubuh ke sofa.
“Ih, jangan sedih gitu dong, Biru. Kan ada mamas sekarang. Kamu nggak perlu nyari, mas yang datangi kamu,” timpal Derai. Dia menyentuh lengan Inbi. “Terus, di mana bulik sekarang? Kamu nggak tinggal sama beliau?”
Inbi bergidik. Dia tersenyum lemah. “Di kompleks sebelah sana. Ini kostannya bulik. Aku tinggal di sini sekalian jagain kost. Hehehe. Bulik sama suami baru nerima cucu, jadi ndak ada yang ngawasin kost. Biru terima aja tugas jaga. Malah enak bisa tinggal sendiri. Bebas, Mas.”
Derai tergelak. “Ya ampun, jadi kamu kang jaga kost?” dia mencondongkan badan. “Kamu bisa terima tamu kapan saja dong?” bisiknya.
“Ish! Nggak gitu juga, Mas. Ih, mesum,” sergah Inbi. Dia mendorong bahu Derai, yang tertawa-tawa.
“Kamu yang mesum tuh,” ejek Derai. Dia mengusap puncak kepala Inbi. “Pikiran dibersihin. Katanya mau bahas soal pusat jantung. Maksudku kan itu. Berhubung jadwalku padat, jadi datang kapan aja boleh kan?”
Inbi mengerucutkan bibir. Didorongnya Derai untuk yang kedua kali. “Jadi kita mau bikin grup perencana pusat jantung? Bukan partnership pusat hati?”
“Hahaha!” tawa Derai. “Apa itu pusat hati?” dia bertanya.
“Ih, dah, lah. Inbi tahu lah. Paling pak dokter sudah tersadar sudah melakukan kesalahan. Kemarin khilaf ya. Kan, aku sudah bilang, kita baru kenal,” jawab Inbi.
Kedua pipi Inbi ditangkup Derai. Diarahkan pandangan Inbi lurus padanya. “Lanjutin mau bilang apa,” ujarnya teramat kalem.
“Sudah kok. Inbi tahu lah motif-motif semacam ini. Tahu Inbi yatim piatu, miskin, anak seni rupa, nggak ada feminim-feminimnya. Dah gembel, nggak cantik pula. Palingan cuma buat nolongin dapat yang lain atau disuruh ini itu. Pak dokter yang mana? Butuh asisten buat kerjaan?”
Bibir Derai menipis. Kedua tangannya kuat menekan wajah Inbi. “Salah! Kamu belum pernah ketemu dengan motifku. Mainmu kurang malem, Nak. Apaan itu hal cethek yang kamu sebutin. Ckck! Kasihan sekali kamu harus ketemu orang-orang seperti itu. Mulai sekarang, lupain semua itu. Tiap malam sebelum tidur, ucapin : Biru punya Derai. Derai punya Biru.”
Inbi tertegun. Bibirnya setengah terbuka. Hanya bisa memandang kosong pada Derai. Wajah yang hanya sejengkal di hadapannya. Sekali gerak, dia bisa menubrukkan dahinya ke dahi Derai. Adu kuat, siapa yang akan terjungkal.
Biru mau Derai. Biru mau Derai. Biru, mau, Derai. Hahaha, itu yang otak Biru teriakkan. Kencang. Seakan sesuatu yang tinggal dalam diri Inbi tahu benar saja.
Ternyata, bukan soal Rauf yang harus dia ketahui. Malahan, dia harus tahu siapa Derai. Persetan dengan Rauf dan gertakannya. Tanpa bocah itu serukan, banyak yang sudah mendengar tentang sampah itu. Derai, dia harus tahu sampai ke pembuluh darah. Selain nama Tuhan, detak jantungnya mengucap apa.
“Nggak, aku nggak mau ucapin sebelum tidur. Sebelum tidur itu berdoa. Cuci kaki, gosok gigi. Ckck! Dokter Derai apa tidak diajari waktu kecil dulu,” sengal Inbi. Dia sengaja mendengus.
Derai balas mendengus. “Kamu itu harusnya ambil hukum. Pinter banget ngeles.”
“Hei, hati-hati, Mas. Opini Anda sensitif sekali. Saya tuh maunya ambil komputer, tapi takut dipenjara.”
Derai menghela nafas. “Dah, mas anterin kamu ke kampus ISI saja. Ambil seni peran. Ambil arit terus pangkas rumput di tamannya juga boleh deh.”
Inbi tertawa. “Nggak mau. Nggak punya kambing. Udah ah, pipi aku sakit, Mas. Lepasin ih. Kirain mau disun. Udah deg-degan tahunya bahas jurusan doang.”
“Ya ampun, Biru. Kamu ini ya,” sahut Derai, menggeleng-geleng. Tapi dia melepas tangannya. Dielus hati-hati masing-masing pipi Inbi. “Siapa yang udah kamu kasih tahu kalau kita jadian?”
“Siapa yang jadian?” kata Inbi polos. Dia mengusap sendiri pipinya.
Derai mencubit ujung hidung Inbi. “Mas-mas ganteng sama mbak-mbak manis,” ujarnya.
Inbi mengangguk-angguk dan memajukan dagu. “Baru Lulu. Perlu cetak selebaran?”
“Nggak. Aku mau bikin spanduk saja. Nanti dipasang di setiap perempatan.”
“Jangan, Biru takut kena starsindrome,” rajuk Inbi. Dia merentangkan kedua tangan. Memikirkan sesuatu dengan saksama. Dipandangnya Derai yang menaikkan satu alis. “Mas Bram bakal kaget tahu kita jadian. Bukan, bukan. Malik bakal luar biasa terkejut.”
“Hah! Kirain apa. Bram biasa aja. Dia udah tahu. Mas kasih tahu dia kalau mau nembak kamu. Katanya, dah nggak usah gitu-gituan segala. Udah pada gede, bukan ABG, lamar aja langsung.”
Inbi yang terkejut. “Hei, mas cerita sama mas Bram? Mas udah tanya-tanya ke mas Bram? Udah tahu dong kalau Malik mantan tunanganku? Hei, hei! Mas Derai udah dikasih tahu apa saja sama mas Bram?” dia membuka mata lebar-lebar. Pikirannya mengembara tak tentu arah di tengah padang pasir. Tebakan demi tebakan melompat seperti kotak-badut-kejutan.
“Semua yang Bram tahu tentang kamu,” ujar Derai, lembut nan tegas.
Dyar, mati kau!!!
**
Guguran bunga sesi sekian kali melapisi berbagai permukaan. Dengan tergesa, Inbi berjalan melindas kelopak-kelopak yang melepaskan diri. Dia sedang tidak mempertimbangkan romantisme guguran bunga.
“Makanya lo rajin service motor,” sungut Lulu yang merendengi langkahnya. Dia menarik tudung jaket menutupi kepala.
“Dikatakan oleh orang yang minjem motor siapa saja yang nganggur,” sambar Inbi sebal. Dia menarik kerah jaket yang melorot.
Lulu menendang gundukan guguran bunga dan daun. Dia menggerundel. Tas sandangnya berayun liar. Hampir dia terjatuh, sebuah tonjolan paving menghalangi kakinya. Dia meraih Inbi sekenanya. Kembali memaki-maki entah siapa.
“Diam, kamu ah, Lu. Orang-orang ngeliatin,” keluh Inbi.
Anak itu tidak menggubris sahabatnya. Berjalan makin cepat ke depan. Setengah berlari menuju gedung jurusan mereka. Apa lagi kalau bukan mengejar jam kuliah pagi. Inbi mengejarnya, jadi ikutan menggerutu juga.
Lepas siang hari, setelah berjam-jam kelas kemudian. Hujan turun deras memenjarakan para mahasiswa di gedung kampus. Baik Inbi dan Lulu duduk di lantai depan kelas. Berdempetan, agak jauh dari teman-teman yang lain. Sibuk dengan laptop masing-masing.
“Ponsel lo getar mulu, angkat dulu dah,” kata Lulu, menyorongkan ransel Inbi ke kaki pemiliknya.
Inbi meraih resleting ransel. Tangan mencari-cari benda tipis warna hitamnya. Bergetar terus menerus, pertanda adanya telepon masuk. Dia memekik kecil membayangkan siapa gerangan yang menelepon. Harapnya sih Derai yang menelepon.
Sudah beberapa hari orang itu tidak membiarkan Inbi mendengar suaranya. Berjumpa apa lagi. Hanya sekilas-kilas pesan pendek. Bukan obrolan panjang yang menggelitik jari kaki. Sekedar saling tahu kalau masih sama-sama bernafas saja.
Inbi melihat nama penelepon. Ditunjukkan ke Lulu dan mencicit jengkel. Dia mengelus dada seiring tarikan nafas panjang. Lulu cukup memberinya kedikan bahu. Ditekan pun tombol terima.
“Ada di mana?” sungguh tidak sopan tanpa salam pembuka.
Inbi menjawab, “Kampus. Ada apa?”
“Aku jemput ya. Motor ditinggal aja.”
“Nggak usah. Besok aku ngampusnya gimana?” Inbi menolak. Plus berbohong.
“Besok aku antar, tapi berangkat pagi. Buat ambil motor aja nggak apa-apa lah. Hujan juga sekarang. Apa ya mau nekat hujan-hujanan?”
Inbi menggaruk pelipis. “Itu lah adanya orang memproduksi jas hujan. Masak jas hujan disimpen saja. Biar jas hujannya nggak kebasahan gitu.”
Embusan nafas penuh emosi terdengar terlalu dekat. “Bi, sama siapa kamu sekarang? Aku mau bicara berdua sama kamu. Aku jemput sekarang, udah dekat ini.”
“Aku nggak mau bicara berdua sama kamu, Malik. Ini aku sama Lulu. Aku harus antar dia pulang dengan selamat.”
“Ajak Lulu sekalian pulang. Antar dia ke kostnya baru kita bicara. Jangan nolak! Aku udah di parkiran. Turun sekarang, aku jalan ke gedung,” dia memutuskan sendiri. Sambungan telepon diputus pula.
Inbi menyelipkan ponsel ke saku celana. Diberesi laptop dan ranselnya. Sambil diberitahunya Lulu kalau ada ojek gratis sudah menunggu di bawah. Mereka bisa pulang dengan aman tanpa keluar biaya. Lulu mau-mau saja.
Dengan payung hitam besar, Malik menunggu di teras gedung jurusan. Dia menarik tangan Inbi begitu gadis itu mendekat. Lulu dengan sigap memisah mereka. Berjalan di tengah keduanya. Di perjalanan pendek menuju mobil, mereka berpapasan dengan Rauf.
Inbi melirik Malik. Tak ada tanda Malik mengenali Rauf. Namun Rauf terang-terangan memandangi Malik dan Inbi. Hanya saja dia tak mengucap sepatah kata pun.
Masuk ke dalam mobil, meluncur di bawah derasnya hujan. Ketiganya bungkam. Lulu tak mengeluarkan kecerewetannya. Dia mencengkeram sandaran kursi samping depan dari tempat duduk di belakang. Malik mengemudi dengan wajah tegang. Tangannya kelewat kuat memegang stir sampai memutih.
“Jangan macam-macam sama Inbi!” pesan Lulu sebelum turun. Dia menepuk sandaran kursi sopir. “Makasih tumpangannya,” imbuhnya penuh penekanan.
“Ya. Sama-sama,” sahut Malik, menoleh sampai pintu belakang ditutup kembali.
Inbi menelan ludah. Dirapikan jaket yang dipakai. “Mau bicara di mana?”
Malik hanya menggumam tak jelas. Dia menjalankan mobil meninggalkan halaman kost Lulu. Berkendara lebih tenang dan santai. Dia juga bernafas lebih manusiawi.
Mereka berhenti di pelataran parkir ruko yang tak jauh dari kost Inbi. Mesin mobil masih dinyalakan. Malik mengunci semua pintu. Di luar hujan masih merutuki.
Dia melepas sabuk pengaman, duduk lebih rileks. Kedua tangan dilipat di atas dada. Caranya menoleh sungguh membuat Inbi hampir berseru lalu tertawa.
“Bibi, kamu kenapa nggak cerita ke aku?” tuduh Malik tiba-tiba.
Inbi merapat ke pintu. Ikut melipat kedua tangan. “Cerita apa? Kenapa harus cerita juga?” elaknya.
Malik mendecakkan lidah. “Kita memang batal tunangan, Bi. Tapi seperti yang sudah aku bilang, kamu masih punya aku sebagai sandaran. Gimana pun juga, kamu masih orang penting dalam hidupku.”
“Apa kamu nggak takut kalau tante sampai dengar kamu bicara seperti itu? Gadis macam aku ndak cukup baik buat kamu, Mal. Kamu mau jadi dokter, fokus saja ke karier. Jangan lagi urus aku.”
Kalau diibaratkan, mungkin kata-kata Inbi barusan seperti pukulan untuk Malik. Wajah lelaki itu memerah gelap. Cuping hidungnya kembang kempis. Lipatan tangan dilepas. Terkepal kedua tangannya di samping badan.
Inbi makin menempel ke pintu. Dia bisa merasakan dinginnya logam yang di luar sana basah kuyup. Bulu kuduknya berdiri. Bergidik dua kali berurutan.
“Aku kan juga sudah bilang, kamu nggak ada kewajiban apa-apa. Nggak pernah dari awal. Aku nggak minta apa pun dari kamu dan keluargamu.”
“Bi, aku nggak mau dengar omong kosong itu lagi. Aku nggak peduli apa kata mama. Bagaimana pun kamu kuanggap adik sekarang. Dan kamu nggak perlu merasa terbebani dengan itu. Sudah keputusanku sendiri. Aku bukan anak kecil, Bi.”
“Tapi anak mamamu. Nggak bisa kamu kayak gitu. Dah, lah, cukup, Malik. Aku nggak mau ikut dalam drama keluarga kalian. Aku udah merasa bersalah bikin keluarga bulikku kelimpungan dan malu. Jika memang kamu peduli, tolong dengan sangat, sudahi semua ini secara utuh. Nggak ada adik-adikan atau omong kosong lain. Cepat atau lambat kamu akan menemukan gadis yang tepat.”
Malik menyeringai, lalu mendengkus. “Ya, yang kayak kamu ya, Bi,” oloknya.
Pandangan Inbi melesat seketika ke wajah tengil Malik. “Maksudmu apa?”
Lelaki itu membuang muka. Hanya memamerkan sisi wajah yang tak ada ekspresi. “Sejak kapan kamu kenal dokter Derai?”
“Apa urusanmu?”
“Ada apa kamu sama dokter Derai? Kenapa dia simpan fotomu? Waktu kamu ada di rumah sakit terakhir kali itu, bukan buat ngantar Lulu kan? Kamu ketemu dokter D di sana kan?”
“Hah?” desah Inbi. Dia memutar mata. Dijejakkan kaki ke karpet mobil. “Apa urusan kamu kalau aku kenal mas Derai?”
Malik membeliak. “Mas Derai?” ulangnya jijik. Dia menggelengkan kepala.
“Nggak ada yang perlu aku terangin ke kamu, Mal. Makasih udah ngantar. Aku turun sekarang, bukain pintunya,” kata Inbi. Dia memegang tali ransel. Duduk tegak meraih kait pintu.
“Asal kamu tahu, Bi. Aku masih peduli sama kamu, itu pasti. Kamu nggak kenal baik Derai. Ingat itu, Bi. Kesan pertama bisa menipu. Awal perjumpaan mudah diatur. Dia bisa saja sama bajingannya dengan Atmaja. Silakan turun. Aku nggak bisa pinjami payung,” Malik berkata dengan tajam. Dia menekan tombol. Kunci-kunci di pintu terbuka.
Inbi menggigit bibir bawah. Ditatapnya Malik beberapa detik lebih lama dari pikirnya. Serampangan dibukanya pintu mobil. Keluar dengan tetap mengarahkan pandang pada pemilik mobil. Air hujan menyambutnya, tak diindahkan. Malik memberinya gelengan lemah.
Brak! Pintu dibanting menutup. Diputarinya mobil, menyeberang jalan tak melihat kiri kanan. Suara klakson melengking, tidak menghentikannya. Tujuannya cuma ke gerbang yang tidak dikunci. Masuk ke dalam kost dalam keadaan basah.
Sepatu dan baju basahnya teronggok di luar pintu kamar mandi. Isi ranselnya berserakan di lantai dekat tempat tidur. Sementara ranselnya menyusul ke onggokan baju. Diangkatnya ponsel yang lembab di antara baju basah.
Mati. Dilap dahulu dengan selimut sebelum dipencet tombol ON. Ponsel pun menyala kembali. Masuklah sederet notifikasi. Telepon yang tak terjawab. Pesan yang berduyun-duyun masuk.
Pesan dari Lulu yang pertama Inbi respons. Aku baik-baik saja, tulis Inbi. Dikirim segera. Kemudian membalas pesan tugas kelompok. Dikirim secukupnya. Pesan dari Derai, dibaca saja.
Belum pulang?
Masih hujan, sudah balik belum?
Biru, kamu nggak apa-apa?
10 telepon tak terjawab.
Sibuk? Sakit?
Pesan tanpa isi.
Inbi menekan tombol memanggil. Dia menarik nafas panjang dan menempelkan ponsel ke telinga. Nada sambung berupa tut-tut sedikit menggelisahkan karena cukup lama.
“Ya Tuhan, Bi, akhirnya kamu bisa dihubungi,” tak ada salam. Suaranya diliputi kelegaan.
Inbi menarik selimut menutupi kepala. Bersembunyi di bawah kain tebal itu. “Maaf, tadi nggak tahu kalau ponsel habis batere,” sesalnya.
“Sudah terlalu malam untuk mampir?” dia langsung menanyakan hal tersebut.
Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Hujan masih gerimis di luar. “Iya, besok saja,” tolak Inbi.
“Iya. Kamu nggak apa-apa kan?”
“Dingin, Mas. Dingin banget,” kata Inbi, setengah melamun. Dia melihat kegelapan yang diciptakan tebalnya selimut tak tertembus lampu.
“Pakai baju dobel, kaos kaki dipakai. Selimutan juga.”
Inbi terangguk. Dia mengerjapkan mata. Basah bulu matanya. “Kamu bajingan bukan?”
Suara terkesiap dari ujung sana. Dari sini juga. Inbi duduk segera. Selimutnya meluncur turun ke kasur. Matanya menyipit atas hempasan sinar lampu.
“Aku, tentu saja akan menjawab kalau aku bukan bajingan, Bi. Tapi, kalau semua penjahat mengaku, penjara bakal penuh.”
“Tidak segampang itu, Mas. Masih harus lewat proses peradilan. Tidak semua berakhir dipenjarakan juga,” sahut Inbi dalam pikirannya sendiri. Dia menghempaskan kepala ke dinding. Suara-suara kepalanya berseru, “Katakan sesuatu yang mudah kumengerti hingga aku percaya bahwa Malik salah. Kamu bukan bajingan. Katakan....” Inbi membenturkan belakang kepala ke dinding lagi.
“Apa itu, Bi? Kenapa bertanya begitu? Ada apa sebenarnya? Kamu mengigau? Demam? Badanmu panas? Aku ke sana sekarang ya?” cemas Derai. Dia mendesah. “Biru,” panggilnya.
“Kenapa kamu tertarik pada gadis yang membawa temannya ke UGD subuh-subuh dengan sandal terbalik?” tanya Inbi kemudian dengan lantang.
Tarikan nafas Derai samar terdengar. Ada redaman suara-suara lain. “Sorry, aku masih di rumah sakit. Ada rekan tadi sapa,” beritahunya. Dia berdeham. “Biru, kita bicara langsung saja. Besok, oke? Sekarang kamu istirahat dulu. Sudah makan? Kamu perlu sesuatu?”
Inbi membersit hidung. Beserta kegundahannya. Dengan ujung selimut yang belum dicuci sejak dua minggu lalu. Ditutulkan ke kedua pelupuk mata, sisi lainnya. Dia mulai sesenggukan. Diusap dengan petak lain selimut, makin membanjir air matanya. Dibersitkan lagi hidungnya, sekuatnya seakan menyedot gelisahnya sekalian.
Tangisnya bertahan. Sejumlah menit yang berjalan lambat. Isak pilunya dihembuskan menaik-turun. Dadanya yang sesak, kembang kempis. Detak jarum jam yang meningkahi.
“Sudah?” pertanyaan itu lembut. Namun mengagetkan Inbi. Mereka masih terjalin di jaringan telepon.
“Masih telepon?” celetuknya lemah.
“Mas temani kamu. Ini mas di depan pagar, bawa makanan. Mau ditaruh di gerbang saja atau mas tunggu kamu keluar?” ujar Derai.
Inbi menggerakkan kakinya yang kebas. Kesemutan gara-gara dilipat terlalu lama. Dia mengaduh pelan. “Tunggu,” pintanya. Diturunkan ponsel dari telinga. Tangannya baru terasa pegal.
Diseret kaki kanannya yang paling kesemutan. Terpincang-pincang melewati teras panjang menuju pagar. Pintu-pintu kamar lain sudah rapat tertutup. Lampu-lampu dimatikan. Hanya satu dua yang masih terdengar mengetik atau berbisik-bisik.
Pagar terasa dingin ketika Inbi berkutat membukanya. Hujan sudah berhenti, tapi basah belum kering. Dia mendorong terbuka pintu kecil pagar. Di sebelah, Derai berdiri bersandar, menoleh tepat padanya.
Senyum yang tertimpa cahaya lampu sorot di atas pagar, melemahkan syaraf. Bukan, kesemutannya hilang. Darahnya sudah mengalir lancar kembali. Tangannya yang semula berkerut kedinginan, menghangat.
“Ini, nasi goreng masih hangat. Segera dimakan ya,” kata Derai lirih. Sebuah kantong plastik diangsurkan.
Inbi meraihnya, berikut dengan jari-jari Derai yang memegang tali kantong. Dipandangnya belakang Derai. Bangunan-bangunan yang sudah menutup pintu dan mematikan lampu. Tak ada orang berkeliaran setelah hujan lebat sesorean. Tak ada yang akan protes kalau Inbi membiarkan Derai masuk ke dalam.
“Bi, kamu kenapa?” heran Derai, dia mengikuti Inbi yang belum melepas tangannya.
Inbi tak menjawab, dia berbalik. Ditutupnya pagar. Balik lagi ke teras, ke ruang tamu terbuka setelah garasi parkir yang luas. Dia hendak lurus ke arah kamarnya.
Derai menghentikan langkahnya. Inbi yang tak tahu, terpental. Untung tidak jatuh, masih bisa ditarik Derai. Menutup jarak di antara keduanya.
“Apa motif tersembunyimu?” sengal Inbi, mendongak ke mata Derai.
Derai menundukkan kepala. “Kita tidak bicara dalam kondisi semacam ini, Bi. Kita akan bertengkar atas hal tidak logis kalau begini. Akalku sedang tumpul, jiwamu tengah terpukul. Kita bicara saat hari terang.”
Inbi memejamkan mata. Ditariknya nafas dalam-dalam. Tangannya yang bebas meraih, merangkul tubuh Derai. Dibenamkan muka ke dada Derai. Berikut segala emosi yang membanjirinya. Tenggelam.