Contents
Biru Berderai
Bab 5 Tombol FF
Keluar dari ruang dosen, Inbi langsung duduk di bangku selasar. Kepala tertunduk dalam, punggung melengkung. Setumpuk kertas yang di pangkuan hampir meluncur dari map plastik, lupa diklik pengaitnya. Dia geragapan memberesi kertas-kertasnya. Dijejalkan map tersebut ke dalam ransel.
Lantas mendesah seraya menyandarkan punggung ke dinding pendek pembatas selasar. Daun dari pohon di samping gedung, menyapu kepala Inbi. Tangannya meraih sehelai. Seekor semut merayapi tangannya.
“Ngapain lo?” tanya Lulu yang berjalan ke arahnya.
Inbi berhenti mengipaskan tangan. Matanya mencari ke mana semut terbang akibat hempasannya. Tidak ketemu. Semoga saja tidak terinjak. “Senam tangan,” jawab Inbi, duduk tenang kembali.
Lulu berdiri di sebelahnya. “Mau pada kemping, lo ikut nggak?” ujar dia sambil sibuk mengeluarkan gulungan gambar dari tabung.
“Kali ini enggak. Pak dokter libur, minta ditemui,” sahut Inbi, sedikit sendu. Dibiarkannya daun-daun menyapu kepalanya.
Lulu mencibir. “Sekarang gitu ya. Dikit-dikit pak dokter. Emang sekarang dia wali lo?” protesnya.
Bukanlah. Dia ya..., apanya Inbi? Bahunya melorot turun. “Bukan. Nggak tahu apanya aku. Nanti deh pas ketemu, aku tanya mas Derai. Dia mau jadi apanya aku.”
“Mas Derai...,” ulang Lulu. Dia bergeser ke pintu ruang dosen. “Lo beneran mau pacaran sama om-om?” bisiknya, keras-keras.
Inbi membelalak. Dia bangun dari bangku lekas-lekas. Hampir ditangkapnya lengan Lulu yang melesat masuk ke dalam ruangan.
“Kamu pacaran sama om-om, Bi?” tanya salah seorang teman dengan suara pelan. Pandangannya penuh iba. Seakan siap memberikan sebuah petuah peribahasa kuno.
“Enggak, Ma. Lulu asal omong itu. Emang terpaut tujuh tahun setua itu?” ketus Inbi.
Dia menggeleng. “Tapi adik mama yang paling kecil sama aku terpaut tujuh tahun doang,” cicitnya. Mungkin takut dilahap Inbi. Dia beringsut.
“Tapi dia bukan adik mamaku,” sergah Inbi.
“Mending kamu ke kantin aja, Bi. Makan dulu. Apa minum-minum es teh,” saran temannya tersebut.
Terdengar suatu ide yang baik. “Oke. Nanti kamu bilang ke Lulu suruh susul ke kantin ya, Ma,” dia menyetujui.
“Nggak janji,” sahut temannya. Dia berlalu ke studio 01.
Tinggal Inbi yang terpaku di selasar. Di kelilingi orang-orang yang kerap membuat sakit kepala, dia hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Harapnya, paru-paru masih bersabar bersama keresahannya. Dia pun turun dari gedung jurusan menuju kantin di seberang sana.
Baru beberapa menit duduk dan menaruh segelas es teh. Getaran dari ponsel membuat Inbi mencari benda itu dalam ransel. Terselip di dasar, di bawah wadah pensil. Layar yang menyala memperlihatkan nama yang membuat detak jantungnya naik.
“Halo, Mas,” angkat Inbi.
Suara senyum terkembang merayapi sambungan telepon. Seajaib itu. “Masih di kampus?” tanya suara bariton penghangat jiwa.
“Hu um. Baru kelar konsultasi. Ini nungguin Lulu,” sebut Inbi atas kegiatannya. Dia mengangkat tangan kiri, melihat jam, pukul setengah tiga.
“Masih ada kelas lagi? Apa mau balik kost?”
Leher Inbi terjulur ke arah jalan menuju kantin. Sesosok gadis dengan celana jins dan kemeja kedodoran berjalan cepat-cepat. Tangannya satu memegang ponsel, tengah bicara dengan entah siapa di telepon. Satunya memegang tabung gambar. Tapi pandangan mereka berdua terpaut. Lulu menjulurkan lidah.
“Biru,” panggil Derai.
“Oh, ya, Mas. Sori, ada model lewat. Biru jadi terpana. Tanya apa tadi?” sahut Inbi.
Tawa renyah berderai. “Model cewek apa cowok?” selidik Derai.
“Cewek cantik banget, namanya Lulu. Ini mau keluar bareng nyari bahan. Mas Derai masih di rumah sakit?” terang Inbi, bergeser memberi ruang pada Lulu.
“Namanya juga dokter, ya masih di rumah sakit lah. Lo kira dia bakal di mana, Bi? Tiba-tiba muncul di gerbang kampus jemput lo sambil bawa buket mawar merah gitu?” serobot Lulu, juga menyerobot es teh Inbi.
“Bener gitu, Bi?” timpal Derai, tawa kecil mengikuti. Rupanya dia mendengar jelas ocehan Lulu.
Inbi mengernyitkan hidung. “Enggak. Biru nggak mau kayak gitu. Boros. Mending dikasih yang masih hidup di pohon,” ketusnya.
“Begitu ya. Oke, buat catatanku. Ya, udah, sana dilanjut dulu. Aku juga mau lanjut ada konsultasi. Besok, jadi ya ketemu,” ujar Derai lembut.
Rasanya seperti mencecap es teh manis. Hati Inbi jadi riang gembira. Tidak marah es tehnya yang asli tinggal seperempat gelas. “Ya, Mas. Baik-baik di sana,” tutupnya.
“Baik-baik dik Biru,” Lulu yang menjawab. Dia menerima sepiring somay. “Sini, aak dulu,” godanya sambil menyuapkan sepotong kentang ke Inbi.
Dilahapnya suapan Lulu, mengunyah cepat. Mulai menggerundel pada sahabatnya. “Jangan gitu ih ke mas Derai. Nanti dikira aku kejar-kejar dia.”
“Iya, iya, gua minta maaf. Habis gua perhatiin, lo itu kayak kena pelet deh sama tuh dokter. Baru juga sekali kencan. Kayak kalian udah jalan tahun-tahunan. Kemarin-kemarin lo sering jalan sama cowok lain, nggak ada tuh yang sampai lo kayak nggak bisa hidup tanpa dia. Bahkan waktu lo sama Malik..., beuh, jauh banget. Bener, serius lo mau sama Derai?”
Inbi menyendok lagi. Berpikir dan mengunyah. “Aku juga nggak yakin. Pikiranku kebanyakan isinya mas Derai. Kalau ketemu, rasanya pengen megang dia. Nyata enggak gitu. Kadang sampai nafsu pengen peluk dia.”
Lulu mengusap pelipis. “Bukan bandingin sih. Tapi, lo ke Malik aja nggak nafsu pegangan tangan. Jangan-jangan puber lo telat, Bi? Lo nggak sampai mimpiin pak dokter yang aneh-aneh kan? Lo banyakan baca shoujo.”
“Enggak lah. Mana bisa ngatur mimpi. Aku juga nggak ngelamunin mas Derai dengan rating 18 plus. Saya anak baik meski bacaannya shoujo, Lu,”Inbi mencubit Lulu. Dia menegak habis es teh. “Baru kali ini aku ngerasain kayak gini, Lu. Dada sakit gitu kalau nggak ada pesan dari Derai. Denger suaranya adem banget. Kalau ketemu itu seneng banget, Lu. Serasa kayak pas balik dari perjalanan jauh dan lama, terus kembali ke kasur yang udah bau iler dan kentutmu. Mana mas Derai itu naga-naganya perhatian detail.”
“Busyet! Orang kalau jatuh cinta, bisa ya jadi gini. Lebay lo! Yakin lebay banget. Pakai deh berapa persen otakmu. Jangan sampai hati lo ketutupan, Bi. Yakin deh, gua takut.”
“Luuu,” rajuk Inbi.
Lulu menepuki mulutnya. “Bukannya gua nggak mau lo jatuh cinta, Bi. Bukan. Malah, gua mau lo bisa jatuh cinta dengan bener. Tapi gua bukan anak baik. Gua takut sendiri, Bi. Takut nggak bisa nolong lo kalau proses jatuh lo nggak aman. Gua balikin ke akal dan intuisi lo sendiri aja deh, Bi. Kalau emang bener tuh dokter cocok sama sambungan-sambungan lo, ya dah, lo coba aja pasangin. Kalau nggak bunyi klik, jangan lo paksain. Yang ada nanti bisa patah dan sambungan lo gumpil.”
“Aku nggak terselamatkan?”
“Nggak gitu, sayangku. Dah, lah. Lo suka, lo jalani. Lo nggak nyaman, lo tinggal.”
Segampang itu. Katanya seperti itu. Inbi memaksakan senyum, singkat. Dia berdiri dari kursi kantin. Dibelinya sebotol teh dingin. Lantas diajaknya Lulu untuk bergegas berangkat menuju destinasi mereka sore itu.
Sore itu ditutup dengan sekantong plastik peralatan membuat maket dan alat gambar. Inbi menaruhnya di meja belajar. Sebelum dia mandi dan mengganti pakaiannya. Saat dia selesai mengeringkan rambut, Lulu mengirim pesan bahwa dia sudah berangkat bersama yang lain menuju tempat kemping.
Biasanya Inbi ikut. Dia memang bukan anggota mapala, tapi terkadang ikut naik. Kaki gunung setidaknya. Dia suka berkemah atau sekedar duduk di rumput. Bersandar ke pohon sampai tertidur. Kali ini demi hasrat bertemu dengan Derai, dia memutuskan tidak memenuhi keinginan bertemu alam.
Alamnya mungkin mengalami pergeseran. Sebuah dimensi lain yang dia ingin jelajahi. Pintu lengkung yang berpendar melambai padanya. Kaki Inbi sudah masuk sebelah.
Sudah di kost?
Pesan itu dibuka Inbi begitu masuk. Dia selesai membalas Lulu dan hendak menutup aplikasi pesan. Dia kembali mengetik jawaban. Sebuah jawaban singkat yang mengabarkan bahwa dia sudah di kostnya yang mungil nan ramah.
Ya. Istirahat gih. Mas lanjut jaga UGD.
Inbi meringis. Dia mengetik dengan semangat berkobar. Dihapus kembali. Pesan yang hendak dikirimnya tidak etis untuk dilontarkan pada dokter yang tengah berjaga. Dia mengetuk sisi kepala. Nggak lucu.
Mau dikirimi sesuatu?
Ga usah. Sudah gelap, nanti kamu capek, Biru.
Inbi menjatuhkan badan ke kasur. Dia mengangkat ponsel di atas wajah. Berguling dengan tetap memandang ponsel. Dia menghembuskan nafas keras. Kedua kaki diangkat, naik turun bergantian kiri kanan.
Kan bisa nyuruh kang ojek.
Emang mau kirim apa?
Lha pak dok mau dikirimi apa?
Balasan tidak langsung masuk. Bisa jadi ada calon pasien masuk. Atau ada pasien yang memerlukan tindakan lagi. Bisa juga perawat ada yang menegurnya. Atau..., dia berkirim pesan dengan cewek lain.
Sepertinya Inbi harus berbuat sesuatu. Misal saja benar mengirim makanan atau selimut. Tapi selimut untuk apa? Derai kan di UGD, bukan tenda penampungan. Dia bisa mengirim minuman hangat. AC di malam hari keadaan lelah, bukan perpaduan yang mengasyikkan.
Getaran dan dering ponsel membuat Inbi terjaga. Tak terasa dia sudah tidur. Dia menyalakan ponsel, sudah hampir tengah malam. Dia tidur dalam posisi yang tidak mengasyikkan. Tidak ergonomis sama sekali.
Kamu sudah tidur ya?
Pesan yang terakhir dikirim Derai, dua jam yang lalu. Notifikasinya tiap tiga menit muncul, tapi baru saja membuat Inbi terjaga. Dia memegang kepala, cukup pening. Inbi meregangkan tubuh. Duduk pelan-pelan, bersandar ke dinding.
Baru kebangun.
Inbi menuju salah satu rak, mengambil botol air dan gelas plastiknya. Minum air yang dingin tanpa perlu dimasukkan ke kulkas. Kemudian kembali ke kasur, meraih ponsel kembali. Sebuah pesan sudah menunggunya.
Dilanjut tidur saja. Pusing?
Kepala ditaruh ke atas bantal. Jarinya mengetik jawaban “Ngantuknya belum balik.” Kelopak mata menurun separuh. Dikerjapkan.
Mas bikin laporan dulu ya.
Hu um, yaa.
Dia memejamkan mata sepenuhnya. Ponsel di sebelah kepala. Diam, tak ada pesan dan dering.
**
Cemberut. Hanya itu yang wajah Inbi bisa peragakan dengan baik. Dia berjongkok di depan kamar kostnya. Sepetak halaman hak gunanya, penuh dengan jemuran yang baru dia pasang. Baju yang masih lembap bergantungan. Sinar matahari memberinya asupan vitamin D. Ikut memancar ke layar ponsel.
Satu jam lagi sampai kost.
Derai memberitahunya. Sementara Inbi baru selesai mencuci baju. Dia masih harus membereskan kamar dan menguras bak mandi. Dia belum mandi dan menyiapkan baju.
Satu jam apa cukup untuk melakukan semuanya dengan standarisasi yang Inbi buat. Kamar bersih dan wangi. Bak mandi bening dan berkilau. Utamanya, bagaimana dia bisa memberi tubuhnya penampilan elegan nan apik dalam waktu singkat. Sungguh lelucon pagi yang tidak menghibur.
Dengan berat hati, Inbi berdiri. Berjalan menuju kamar. Melakukan hal pertama yang otaknya pikirkan, makan bubur kacang hijau yang tadi lewat depan kost. Dia makan lahap sambil memikirkan pakaian yang bisa dipakainya. Baiknya dia mencuci 3 kali seminggu, bukannya sekali saja.
“Nunggu lama?” tanya Inbi, lebih dari satu jam kemudian. Dia mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Di depannya, Derai menggeleng dari kursi tamu. “Baru kelar pelatihan dasar urusan domestik. Mau ke mana?”
Derai hanya memandanginya. Berkedip, melengkungkan bibir. Kalau lupa kesopanan, bisa jadi Inbi sudah mencubit dua pipi Derai. Cobaan berat berhadapan dengan orang macam Derai. Di depan mata, tapi sulit digapai.
“Mas Derai, kita mau ke mana?” ulang Inbi.
Dokter itu baru menyeringai. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala. “Ke mana ya?” dia balik bertanya.
Inbi menghempas ke sofa di sebelah. “Kalau bingung, dah ngobrol di sini saja,” putusnya.
“Sama nyari camilan saja yuk,” ajak Derai. Dia sudah berdiri. Tangannya diulurkan pada Inbi.
Hampir saja tangan Inbi mengibaskan pegangannya dengan tangan Derai. Dia merasa kejadian tersetrum listrik waktu pengering rambutnya konslet terjadi lagi. Suara pekikan juga tertahan di ujung lidah. Dipejamkan mata sejenak menuju pintu gerbang.
Kali ini dibiarkan Derai membukakan pintu mobil untuknya. Dia duduk menenangkan debaran jantung. Kesusahan memasang sabuk pengamannya. Talinya tidak mau ditarik.
“Nariknya pakai perasaan, Bi,” saran Derai bersamaan dengan tangannya melintas meraih ujung tali dari genggaman Inbi. Begitu lancar ditarik lalu dikuncikan.
Kalau ada cermin di depannya sekarang, bisa dipastikan seberapa merah wajah Inbi. Malah mungkin nanti dikira kena serangan demam. Ya, ya, demam asmara. Debaran jantungnya saja bukan menormal, malah mengalami tachycardia. Sakit benar Inbi.
“Mas kasih peringatan dulu dong. Kaget nih,” ucap Inbi begitu saja.
Derai tertawa kecil. “Kamu mudah kagetan ya?” godanya.
Lidah Inbi berdecak. “Bahaya nggak?”
“Bahaya lah. Tapi bisa diatasi kok,” Derai menyahut. Mesin mobil menyala.
“Beneran nggak? Ada jurnalnya? Penelitian siapa saja?” kejar Inbi.
“Ada dong yang berkaitan dengan kaget. Nanti mas susunin daftar jurnalnya. Buat bacaan ringan.” Derai menyisirkan jari ke rambutnya. Makin berantakan. Makin membuat Inbi kaget.
Kurang ajar!
“Ringan apaan. Penelitian berbulan-bulan, ndak, bertahun-tahun. Masak dilabel bacaan ringan.”
Derai menoleh sekian detik. “Mau diskusi bersama dengan salah satu jurnal? Rekan mas ada yang spesialis jantung, sekalian diajak berbincang.”
Inbi memiringkan badan. “Terdengar menyenangkan. Bisa tuh nanti buat konsep desain interior pusat jantung dan pembuluh darah. Pusat kanker kan sudah ada. Bagus nggak idenya, Mas?”
Dokter itu terangguk-angguk. Jarinya mengetuki kemudi. “Menarik. Fasilitas apa saja yang ada di sana?”
“Targetnya siapa saja?”
“Hemm..., pasien keluhan jantung dan pembuluh darah, dokter, perawat, pengajar, mahasiswa, keluarga pasien, masyarakat umum.”
“Ruang rawat, laboratorium, ruang edukasi, kelas, auditorium, perpustakaan, galeri, ruang berbagi.”
“Ruang berbagi?”
Inbi menaik turunkan kepala. “Wadah bagi keluarga pasien, pasien sendiri, masyarakat umum, untuk berbagi keresahan. Support group.”
“Ah, I see. Sound great.”
Inbi meringis. Dia menggaruk ujung hidung. “Nanti ah, aku ajuin ke dosen pembimbing. Makasih mas Derai jadi kasih ide buat tugas kuliah. Inbi senang sekali.”
Derai cukup mengangguk bersama senyum terhangat yang pernah Inbi terima. Begitu saja sudah membuatnya makin berbunga-bunga. Bagaikan berlari di jalan setapak bukit berbunga. Rumput-rumput pampas bergoyang bersama angin. Kelopak-kelopak bunga kosmos menari meningkahi.
Kalau di film-film, perjalanan dengan mobil, jendela dibuka. Pemeran wanitanya menjulurkan kepala, tertawa riang. Tidak bisa dilakukan oleh Inbi saat ini. Pertama, AC menyala. Kedua bisa ditilang polisi. Ketiga adalah paling tidak menyenangkan, sebab terjadinya kecelakaan. Bukannya romantis, malah meratap.
Dan imajinasi Inbi terhenti begitu Derai membawa mereka ke sebuah kedai kopi. “Minum apa? Kopi semua,” kata Derai.
Inbi memajukan dagu membaca menu. “Itu yang ada coklatnya saja, Mas. Manis cukupan. Pilihin mas saja. Sama kroisan satu.”
Derai menyebutkan pesanan mereka. Setelah itu membayar ke kasir dengan masih dibuntuti Inbi. Dari belakang, Inbi mengintip tagihan belanja mereka. Otaknya sibuk menghitung bagiannya. Termasuk strategi bagaimana memberi uang ke Derai.
Sewaktu kencan pertama mereka, Inbi tidak memikirkan soal biaya. Dia sibuk terbuai pada kehadiran Derai. Betapa mereka duduk berdekatan. Tatapan penuh mantra Derai yang kuat. Sampai di kost, dia baru tersadar, dompetnya tak tersentuh.
Kali ini dia tidak mau kelewatan. Harus bilang ke Derai soal uang. Perkataan buliknya terngiang-ngiang. Belum nikah, masih sekolah, jangan manja ke cowok. Lalu ke perkataan mantan calon mertua, “Kamu selama sama Malik, keluar uang banyak tidak?”
Kadang, Inbi memikirkan, apa Malik memiliki catatan nota belanja dan jajan selama mereka jalan berdua. Atau, ada baiknya dia juga mencatat semua yang dia ingat. Tidak ada yang tahu kan di kemudian hari ada manfaatnya.
“Mikirin apa?” tegur Derai.
“Kalau jajan, BSS ya, Mas,” jawab Inbi jujur. Dengan suara pelan. Dia melirik ke kiri kanan. Berharap tidak ada yang dengar.
Mereka duduk di salah satu meja di balkon terbuka. Payung besar pada setiap meja bundar. Beberapa meja di dekat mereka diisi jumlah pengunjung yang beragam. Tidak ada kok yang memandang curiga pada Inbi. Tidak ada yang mendengar.
Derai berkerut dahi. Namun lantas menyetujui. Diulurkan nota mungil. “Nih, kamu bayar minummu saja. Camilannya aku. Nanti kalau keluar lagi, bisa dibagi. Misal kamu bayar parkir, aku bayar tiket bioskop. Kalau pas sama-sama nggak ada dana, nongkrong aja di kost atau kontrakan teknik.”
Inbi terkikik. “Emang mau sering ketemu?”
“Apa kamu nggak mau?”
“Apa mas bisa?”
“Nantang?”
Inbi mengatupkan mulut. Dia menengadah pada mbak-mbak yang mengantar pesanan mereka. Diberikannya ucapan terima kasih. Pas sekali waktunya.
“Nggak berani lah nantang pak dokter,” elak Inbi.
“Aku juga nggak mau ditantang. Maunya didampingi,” balas Derai.
Keduanya menundukkan kepala. Inbi susah payah menahan sejumlah reaksi. Tawa, teriakan, hentakan kaki, tepuk tangan, tangis haru. Dia mengangkat kepala, menoleh ke arah dinding dalam kafe lantai dua itu.
“Kafe Rehat. Namanya sederhana,” kata Inbi mengalihkan topik.
Derai mengikuti arah pandangannya. “Singkat dan biar mudah diingat. Kalau susah diucap, nanti orang-orang nggak ingat. Mau datang juga bingung kasih petunjuk.”
“Harusnya ada dipan-dipan gitu, Mas. Bean bag alas duduknya,” usul Inbi.
Ya ampun, senyum kemanisan Derai menyerang. Tidak ditahan-tahan. “Anak desain, ke mana-mana mikirin konsep.”
“Pujian apa ledekan nih?”
Serangan dari Derai belum usai. “Apa saja yang bikin kamu suka, Biru.”
“Biru suka kata-kata mas Derai.”
Derai membusungkan dada. Berdeham kecil. “Mas bukan proklamator pun bukan pujangga. Biru bisa aja,” ujarnya.
Inbi tertawa sebentar. Ditegaknya kopi dingin dengan es batu. Diusapnya sisi-sisi bibir dengan sapu tangan. “Aku tidak terbiasa dipanggil Biru. Tapi, jadi ikutan mas Derai, sebut diri sendiri Biru.”
“Nama kamu bagus. Inten Biru. Sapphire blue. Kenapa disingkat Inbi?”
“Dulu aku nggak suka Intennya. Kenapa tidak Intan? Pas sekolah suka diejek sama temen-temen. Ya sudah aku singkat saja. Biar sekalian anehnya. Tapi, sekarang nggak malu lagi. Nama pemberian bapak sudah yang paling bagus.”
“Bapak suka batu safir biru ya?”
Inbi menggeleng. Belum sempat dia mempertanyakan asal usul namanya. Kedahuluan sebal jadi malas bertanya. Sekarang mau tanya ke siapa juga tidak tahu. Kata bulik, yang memberinya nama hanya bapak.
“Mungkin aku baiknya kuliah jurusan geologi ya, Mas. Kan namaku udah mendukung,” kata Inbi sambil lalu. Terlintas spanduk Salah Jurusan.
“Enggak harus. Malahan, kamu ambil spesialisasi seni perhiasan saja. Fakultas kamu yang sekarang sudah mendukung,” sanggah Derai. Dia menggigit brownie pesanannya. Tampak menikmati.
Inbi benar soal menyukai kata-kata Derai, kan. Nah, nah. “Nama Lulu lebih mendukung lho, Mas,” ceritanya.
“Apa nama lengkap Lulu? Lusia Desainiar?” tebak Derai asal.
Inbi mendengkus. “Maksa nek itu,” komentarnya. Dia menyesap kopinya. “Lengkapnya Iluma Artistika Nouveau. Aliran desainnya ya art nouveau banget anak itu. Anak kedokteran juga ada yang namanya pakai istilah medis?”
Dahi Derai terlipat-lipat. Pandangannya menyempit. “Kayaknya ndak ada. Istilah medis apa yang cocok buat nama? Anestesi?”
“Aneurisma bisa. Panggilannya nanti Risma,” timpal Inbi.
Senyum sebelah Derai keluarkan. “Jangan. Kasihan nanti jadi bahan pergunjingan.”
“Kok bisa?”
“Udah denger belum, si Aneu itu lho, suka anu. Ih, aneu kan. Ya ampun, aneu, itu lhoo,” ujar Derai dengan suara dinaikkan nadanya. Mirip ibu-ibu di sekeliling gerobak sayur keliling.
Inbi melepaskan tawanya. Sampai dibekap sendiri mulutnya. Bahunya tergoncang-goncang.
“Kalau nama Mas apa artinya?” tanya Inbi setelah tenang.
Derai diam sejenak. “Derai Prana, kata ibu aku lahir pas hujan. Terus hatinya ibu jadi bahagia. Ibuku penggemar hujan. Prana bahasa jawanya hati.”
“Mas Derai harusnya masuk sastra!” Inbi menutup mulut dengan punggung tangan.
Derai menggaruk-garuk tengkuk. Dia menegak banyak-banyak kopi hitamnya. Tersipu atas reaksi Inbi. Kedua pipinya bersemu merah. Mungkin jantungnya berdebar lebih kencang. Kalau Inbi tahu cara mendeteksi detak jantung tanpa alat.
Dia meraih pergelangan tangan Derai tanpa ijin. Jempolnya merayapi pembuluh yang samar terlihat. Dia bisa merasakan degupan itu. Seakan turut mendengar iramanya. Denting tetesan air hujan di genteng. Makin lama makin cepat. Jadi seperti derai hujan di atas atap seng.
Derai menarik tangannya. Mereka bertatapan. Muka Derai benar-benar merah. Inbi jadi kikuk. Dia menghindari tatapan Derai. Dalam hati merutuki diri, kebodohan macam apa yang dilakukan barusan.
“Ada kok pelatihan pertolongan pertama. Nanti bisa dapat sertifikat. Di PMI atau pusat pelatihan,” beritahu Derai. Dia berdeham. “Tapi kalau kasus aku sekarang, pertolongan pertamanya agak rumit. Sulit dilakukan assessment-nya. Sertifikatnya juga agak susah. Hanya satu lembaga. Sebelum ke lembaga itu, rutenya banyak. Tapi, kalau Biru mau, bisa dimulai dari hal mudah.”
Inbi menelan ludah. “Apa itu, Mas Der?”
“Mau kah kamu menjadi kekasihku?”
Seketika semua orang lain jadi lenyap. Tinggal Derai di hadapannya. Meja di antara mereka turut menguap. Inbi menautkan jemarinya di atas pangkuan. Sedikit menundukkan kepala. Namun hatinya membuncah girang.
“Kita baru kenal,” cicit Inbi.
Derai mengiyakan. “Mari saling mengenal, biar bisa saling memiliki,” lirih dia berucap.
“Resepnya apa, Dok?” Inbi mencoba berkelakar. Dia tertawa kaku. Sungguh salah tingkah.
“Meski aku dokter, Biru, memasak bisa dikit-dikit lah. Kamu nggak usah masak juga nggak apa-apa. Mari kita dukung UMKM dan pengusaha makanan,” sahut Derai.
Plak! Tangan Inbi otomatis menepuk lengan Derai yang terjangkau. Lalu menutup mulut dan membelalak. “Maaf, kebiasaan,” sesalnya.
“Nggak sakit, kok. Sakitnya kalau kamu nolak. Nanti mas bingung mau konsul ke rekan yang mana,” kata Derai kalem.
Inbi mau memukul Derai lagi. Lebih keras. Biar kalau sakit, sama-sama kesakitan. Plak! Benar, dipukul lagi lebih keras.
Tak dinanya, Derai mengusap lengannya. “Sakit, Bi, beneran,” keluhnya.
“Berarti mas nggak ngimpi. Asli kejadian, mas Derai resmi didamping Biru per siang ini,” Inbi mengedipkan mata.
Derai tertawa pasrah. Masih mengusap lengannya. Asli memerah, sewarna mukanya. Masuk ranah kekerasan bukan ini. Gawat, pikir Inbi.