Try new experience
with our app

INSTALL

Terpaksa Menikahi CEO 

Pemotretan

"Bagus sekali. Candid," seru pria yang masih memegangi kamera di tangannya. Lensa kamera terus bekerja, membidik manekin hidup yang berdiri di depan sana. Puluhan foto berhasil diabadikan.

"Tuan, lebih dekat lagi. Peluk istri Anda."

Baik wajah Rio maupun Monika, seketika memerah. Keduanya tidak menyangka fotografer profesional itu menangkap gambar mereka sebegitu banyaknya.

"Cium keningnya!"

Rio menuruti arahan pria itu, mencium kening Monika dengan canggung.

"Nona, balas pelukan suami Anda. Tempelkan kening satu sama lain!" Lagi, arahan itu terlontar agar Rio dan Monika tampak mesra. Tentu saja keduanya gugup karena memang tidak terbiasa berhubungan dengan lawan jenis.

Monika sempat membeku. Memang sedari tadi tangannya terus diam di samping badan, tidak melakukan apa pun.

"Nona Monika." Leo ikut bersuara, mengingatkan karena beberapa saat berlalu tapi Monika tak bergerak sedikit pun.

"Haish, kenapa kalian kaku sekali?" Fotografer dengan rambut yang mulai memutih kini tampak tidak sabaran. Dia mendekat dan segera mengalungkan kedua tangan Monika ke belakang leher Rio.

"Tempelkan kening kalian. Seperti ini!" Mata Rio terbelalak saat kepalanya diarahkan, dipaksa menempel dengan kening Monika. Tidak ada satu orang pun yang pernah memegang kepalanya. Tapi dia?!

"Ah, benar begitu!"

Fotografer kembali ke posisinya, mulai membidikkan kameranya ke arah Rio dan Monika. Mereka beberapa kali berganti pose. Parfum Monika menyapa hidung Rio, membuat pria itu tidak bisa tidak berimajinasi.

Cengkeraman tangan Rio di pinggang Monika semakin erat. Matanya terarah pada bibir tipis yang berwarna merah merona. Dadanya bergemuruh, ada gejolak yang tak bisa dikendalikan. Pemikiran liar tidak bisa dibendung oleh otaknya sendiri.

“Please, open your mouth.”

Rio menikmati daging tipis itu, mencecap setiap inchi tanpa terkecuali. Rasa manis yang belum pernah dirasakan, kini menjadi nikmat yang tak bisa didustakan. Hebatnya lagi, Monika membalasnya. Gadis itu mengizinkan Rio mengabsen satu per satu isi mulutnya.

Plak!

"Heih?" Rio bertatapan dengan Monika yang kini menghadapnya. Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi. Rasa panas dan perih seketika terasa di wajah tampan kebanggaannya.

Rio mengerutkan kening, heran dengan apa yang terjadi. Bukankah Monika barusan bermesraan dengannya?

Monika mendorong dada bidang Rio dengan keras, sebelum mundur beberapa langkah ke belakang. Gadis itu berbalik, meninggalkan ruangan pemotretan dengan langkah pasti, tanpa keraguan sedikit pun. Gaun panjangnya dia angkat tinggi-tinggi, membuat kakinya tak akan tersandung seperti sebelumnya.

"Apa yang terjadi?" batin Rio bertanya-tanya. Matanya terus mengekor pada punggung Monika yang tak lagi terlihat, terhalang tembok yang menjadi penyekat tempat ini dengan ruangan lainnya.

Rio mengelus pipinya. Dua tamparan sudah dia rasakan hari ini. Pertama, saat dia mengatai wanita itu dengan sebutan yang tidak pantas. Namun, tamparan kedua barusan membuat Rio bingung. Dia terhenyak di tempatnya berdiri. Linglung.

"Tuan," panggil Leo, mendekat sambil menyerahkan kompres dingin.

Rio mengerutkan kening, menatap asisten pribadinya demi menuntut penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia sungguh tidak mengerti kenapa Monika menamparnya dan pergi begitu saja. Apa-apaan ini?

"Dia gadis polos. Apa yang kamu pikirkan tentangnya?" Fotografer dengan rambut mulai memutih itu sedikit berteriak, seolah tahu bahwa Rio baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak tentang Monika. Terlihat jelas dari sorot mata yang penuh gairah.

“Hah?"

Fotografer itu terkekeh sebelum berkata, "Aku akan mengirimkan fotonya besok. Terima kasih telah memanggilku," lanjutnya, pergi sebelum Rio sempat menilik hasil jepretannya.

Hening. Tak ada suara apa pun. Hanya deru pendingin ruangan yang mendominasi ruangan. Rio mengambil kompres dingin yang Leo berikan dan mulai menempelkannya di pipi, meredam perih yang perlahan berubah jadi kebas. Kakinya melangkah menuju salah satu kursi.

"Apa yang terjadi?" Rio tak bisa menyembunyikan keheranannya lagi. Dia sungguh tidak memahami situasinya.

"Sepertinya imajinasi liar Anda mulai bekerja melihat tubuh nona Monika."

"HAH? IMAJINASI APA?" Rio membelalakkan matanya. Dia tidak bisa menangkap jawaban yang Leo ucapkan. Mungkinkah semua yang sebelumnya tampak nyata hanya angan-angan di dalam kepalanya?

"Anda diam mematung lebih dari lima menit sambil menghadap ke bawah, ke arah... ekhmm... maaf, bibir Nona Monika." Leo sendiri tersipu. Dia malu mengatakannya. "Bahkan arahan dan teriakan fotografer itu Anda abaikan. Anda terlihat bernafsu."

Rio menelan ludahnya dengan paksa. Dia tidak menyangka adegan plus-plus antara dia dengan Monika hanyalah imajinasinya saja. Pikiran liarnya begitu luar biasa, mengalahkan logika dan menonaktifkan fungsi kelima panca indranya.

"Nona Monika mencoba melepaskan tangan Anda dari pinggangnya, tapi Anda justru semakin erat memeluknya." Leo masih menjelaskan, membuat wajah Rio memerah sempurna, persis seperti kepiting rebus.

"Saya tidak mendengar apa yang Anda ucapkan pada Nona, tapi sepertinya itu membuat dia marah dan menampar Anda," pungkas Leo, mengakhiri penjelasannya.

'Astaga!!' batin Rio. Dia menutup kedua matanya dengan tangan, menyadari kesalahan yang tidak dia sadari. Egonya terluka. Bagaimana bisa memikirkan sesuatu yang membuat sisi liarnya tergoda hanya karena melihat Monika?

"Jadi, aku tidak melakukan apa pun padanya?" Rio menatap Leo dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, antara kecewa dan penuh tanda tanya. Di dalam hatinya, dia berharap kalau semua yang dia rasakan tadi nyata. Monika benar-benar ada dalam genggamannya. Tapi ternyata ....

Leo menggeleng. "Anda sebatas menempelkan kening dan memeluk pinggang nona Monika. Hanya itu saja."

"Menciumnya juga tidak?" kejar Rio.

Lagi-lagi Leo menggeleng. Dia melihat ekspresi tidak puas di wajah tuannya.

"Bukankah dia membalas perlakuanku?"

Gelengan kepala Leo terlihat untuk ketiga kalinya. Semua yang terjadi hanya fiktif belaka, imajinasi Rio saja. Jangankan berinisiatif menciumnya lebih dulu, memanggil namanya saja tidak Monika lakukan.

"Tidak sama sekali. Nona justru ingin segera terlepas dari Anda."

Rio benar-benar malu sekarang. Bagaimana bisa dia berpikiran begitu jauh tentang wanita yang baru ditemuinya hari ini? Apa memang dia begitu merindukan kasih sayang wanita sampai membuat pikirannya begitu liar?

"Apa yang harus saya lakukan sekarang, Tuan?"

"Antarkan dia pulang. Aku tidak ingin melihatnya!" Rio mengusir Monika, demi menjaga kewarasannya yang sedikit tersisa. Dia takut akan berpikiran lain lagi jika sampai bertatap muka dengan istri kontraknya.

"Baik, Tuan." Leo pergi, meninggalkan tuannya seorang diri. Bersiap melaksanakan titahnya.

Di posisinya, Rio merutuki kebodohannya sendiri. Dia menatap pantulan wajah tampannya di depan cermin. Memalukan!

"Apa yang harus aku lakukan saat bertemu lagi dengannya nanti?"

*

Monika keluar dari dalam ruang ganti dan mendapati Leo berdiri membelakanginya. Tampaknya pria ini sengaja menunggunya di sana.

"Ini ponsel dan tas Anda." Tanpa diminta, asisten pribadi Rio memberikan benda yang Monika tinggalkan di minimarket. Semuanya terlalu tiba-tiba, entah bagaimana pria itu mendapatkan barang pribadi miliknya.

"Terima kasih," ucap Monika lirih. Dia memakai tas selempangnya dan kemudian duduk di bangku yang ada di belakang tubuhnya. Hatinya hampa, mengingat kejadian hari ini yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dia baru saja kehilangan sosok yang dia hargai, tapi sekaligus dia benci.

"Tuan menyuruh saya mengantarkan Anda untuk pulang. Mari."

Monika tak merespons. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sampai beberapa detik berlalu, wanita berambut pirang ini tak jua beranjak dari tempatnya. Tatap matanya kosong. Wajah cantiknya tampak sedikit pucat. Hal itu membuat Leo khawatir.

"Nona, apa Anda baik-baik saja?"

Lagi-lagi Monika tak menjawab. Dia melirik Leo sekilas sebelum menangkup wajah dengan kedua tangannya.

Leo salah tingkah. Dia tidak nyaman berdua saja di ruangan ini tanpa ada percakapan sama sekali. Monika tampak seperti ada di dunia yang berbeda dengannya.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Leo kembali harus menelan ludahnya dengan paksa. Dengan predikatnya sebagai asisten pribadi sekaligus tangan kanan Rio Dirgantara, dia bisa melakukan apa pun dengan kuasanya. Tapi, urusan membujuk wanita adalah hal yang berbeda. Leo tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

"Saya akan menunggu Anda di luar." Leo beranjak pergi. Dia berniat memberikan waktu bagi Monika untuk sendiri. Bagaimanapun juga, setiap manusia pasti membutuhkan self-healing setelah kematian seseorang yang disayanginya.

"Di mana makam Papa?" Suara Monika membuat langkah kaki pria 28 tahun ini terhenti. Hatinya tergagap, mendengar nada bicara yang begitu menyayat hati. Meski dia terkenal sebagai bodyguard yang kejam, nyatanya di dalam lubuk hatinya ada belas kasih yang bisa merasakan kesedihan wanita di belakangnya.

"Maaf?" Leo pura-pura tidak mendengar pertanyaan Monika. Sebenarnya, dia tengah memikirkan hal lain, menimbang-nimbang keputusannya. Haruskah dia memberitahu Monika, sementara Rio tidak memberikan larangan ataupun perintah tentang hal itu?