Try new experience
with our app

INSTALL

Terpaksa Menikahi CEO 

Surat Kontrak

"Untuk apa kalian mengawalku? Aku tidak akan lari!" ketus Monika karena kelima pria itu berdiri mengelilinginya seolah dia bisa lari kapan saja. Padahal tidak mungkin. Dia bahkan buta arah sekarang, tidak tahu di mana berada.

Hening. Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab. Tubuh tegap mereka bagaikan manekin, tak bergerak sama sekali.

"Selamat datang, Nona Monika Alexandra." Sebuah suara terdengar menggema, bersamaan dengan pengawalan kelima orang yang otomatis memudar. Mereka undur diri, menjauh dari Monika yang masih diam dalam keterkejutannya.

Mata sipitnya membola saat melihat sesuatu di depan sana. Tubuhnya bergetar hebat saat itu juga, mengabaikan pria yang asik mengamatinya dari belakang. Hatinya mencelos, melihat pria yang sangat dibencinya kini tergeletak di lantai dengan luka di tubuhnya. Darah yang mulai mengering terlihat di keningnya, mengalir melalui pelipis sampai ke samping wajah.

"Papa!" teriak Monika, berlari menghampiri Jonathan Wu yang tengah sekarat. Bulir-bulir air mata tak terbendung lagi. Sebesar apa pun kebenciannya pada pria itu, tak bisa memusnahkan cinta kasih yang terhubung karena pertalian darah. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia masih menyayangi ayahnya.

"Monika," bisik Jonathan dengan kesadaran yang tersisa. Keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Rio, yakni bertemu dengan putrinya. Suaranya lemahnya hampir tak terdengar. Tapi, seulas senyum terukir di bibirnya. "Maafkan Papa, Nak."

Monika menggeleng sekuat tenaga. Dia tidak akan memaafkan kesalahan ayahnya jika yang diucapkan adalah kata terakhir dalam hidupnya. Namun, tak ada yang bisa membantah jika takdir Tuhan berbicara.

Detik berikutnya, mata itu terpejam. Nyawa Jonathan Wu telah meninggalkan raganya yang babak belur penuh luka. Episode hidupnya telah berakhir hari ini, menyisakan lara di dalam hati putrinya.

"Papa!" Monika berteriak histeris. Dia tidak bisa menerima fakta bahwa ayahnya telah pergi menyusul ibunya ke alam baka.

Dengan setulus hati, dia memeluk tubuh Jonathan yang mulai terasa dingin. Apa yang terjadi tidak pernah terduga. Monika berharap semua hanya mimpi. Tidak benar-benar nyata. Hingga menit-menit berlalu, tangis Monika terus menggema di ruangan itu.

"Hapus air matamu! Aku tidak ingin cairan itu mengotori lantai."

Suara dingin kembali Monika dengar, membuatnya menoleh ke belakang. Tatap mata tajam penuh kebencian tertuju pada pria berpakaian rapi yang berdiri angkuh beberapa langkah dari tempatnya berada.

"Siapa pria ini? Apakah masih layak disebut manusia jika tidak iba saat melihat seseorang meregang nyawa di depannya?" batin Monika bergumam.

"Leo, siapkan kontraknya!"

Belum sempat Monika menghapus air mata, pria berpakaian hitam yang tadi membawanya kemari, muncul di balik pintu. Di tangannya terdapat satu stop map warna merah cerah.

"Bangun!" Suara dingin itu kembali menggema, menyuruh Monika untuk berdiri dari tempatnya memeluk mayat yang semakin memucat.

"Nona Monika, silakan," ucap Leo dengan nada bicara yang lebih bersahabat dibandingkan atasannya. Dengan isyarat tangannya, dia meminta Monika beranjak dari sana.

Monika masih terpaku di lantai, enggan meninggalkan ayahnya. Dia tidak ingin pergi barang sejengkal pun.

Leo tampak gusar. Entah kenapa wajahnya tampak khawatir, seolah berada dalam pilihan antara hidup dan mati. Dia mendekat dan berjongkok di depan Monika.

"Nona Monika Alexandra, silakan menghadap Tuan Muda. Jangan sampai membuatnya murka atau nyawa Anda taruhannya!"

Monika menelan ludahnya dengan paksa. Nada bicara Leo sama seperti saat di mobil tadi, penuh penekanan, membuatnya ketakutan.

"Tapi ...." Monika menatap wajah Jonathan yang ada di pangkuannya. Mana tega dia meletakkan jasad ayahnya di lantai begitu saja. Dia masih ingin memeluk tubuh ayahnya untuk yang terakhir sebelum dikebumikan.

"Mari," bujuk Leo dengan nada merendah.

Dengan berat hati, Monika ikut bersama pria itu setelah mencium kening ayahnya. Dia mendekat ke arah makhluk lain yang sedari tadi mengamatinya. Sekali lagi, Monika menatap ke belakang. Tidak sampai hati meninggalkan pria itu.

"Anak yang sangat berbakti," cibir pria yang duduk terhalang meja dari Monika dan Leo. Dia berdiam di singgasana miliknya dengan sikap jemawa.

Langkah Monika terhenti di depan meja dengan papan nama bertuliskan Rio Dirgantara. Dia menjabat sebagai CEO Dirgantara Artha Graha. Sebuah perusahaan multinasional yang tak terhitung aset dan kekayaannya.

"Berikan kontraknya!" titah Rio sambil memperhatikan penampilan Monika dari ujung kaki ke ujung kepala. "Tidak buruk," selorohnya tanpa diminta.

"Silakan duduk, Nona." Lagi-lagi Leo yang bersuara.

Monika menurut, tak pernah berpikir untuk memberontak. Hati dan pikirannya masih kacau. Meski hubungan mereka tak seperti ayah dan anak pada umumnya, Monika tetap saja sedih.

"Nona Monika, ayah Anda, Tuan Jonathan Wu sudah membuat kesalahan yang tak bisa dimaafkan karena menggelapkan uang perusahaan. Sebagai putrinya, Anda berkewajiban untuk menanggung kesalahan yang telah dia perbuat. Silakan Anda baca kontrak ini. Setelahnya silakan bubuhkan tanda tangan atau cap jempol Anda di sana." Leo mulai menjelaskan.

"Tuan Rio menjabat sebagai CEO di sini. Dia menginginkan kasus ini diselesaikan dengan damai."

Monika menatap dua pria di depannya secara bergantian sebelum membaca rentetan huruf di atas kertas. Di kontrak itu disebutkan bahwa Monika harus menikah dengan Rio atau mengganti uang dua miliar rupiah yang dihilangkan Jonathan. Jika tidak, masalah itu akan dilimpahkan pada pihak berwajib.

"Kenapa saya harus menandatangani dokumen ini? Semua urusan keuangan Papa dipegang oleh ibu tiri saya, istrinya yang sekarang." Monika mengumpulkan keberaniannya. "Jika Anda ingin meminta ganti rugi, temui saja dia. Saya tidak akan menandatanganinya."

Rio tersenyum miring menatap wanita cantik yang membuatnya tertarik. Dia salut akan keberanian yang Monika tunjukkan. Jujur saja, hatinya bergetar saat melihat wajah ayu perpaduan Indonesia-Inggris itu. Ada sedikit sentuhan Chinese di sana. Sebagai laki-laki normal, keinginan liarnya bahkan mulai aktif, membayangkan bisa mencicipi bibir berwarna peach milik Monika.

"Tuan," panggil Leo, mengerutkan kening saat melihat tuannya diam saja sambil tersenyum tanpa sebab.

Rio mengumpat dalam hatinya. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin memiliki wanita itu lebih dari apa pun. Kecantikannya yang tiada tara, tidak pantas bersanding dengan pakaian kasir minimarket yang menempel di tubuhnya.

"Siapkan gaun untuknya!" titah Rio tanpa sadar. Dia sungguh tidak mendengar penolakan Monika barusan. Imajinasinya mengambil alih, menyingkirkan logika yang seharusnya bicara.

Dalam bayangan Rio, tubuh Monika lebih pantas memakai gaun sabrina yang menampilkan lekuk tubuhnya. Pakaian itu akan membuat seluruh bahunya terekspose.

"Maaf?" Leo tidak yakin dengan apa yang tuannya katakan. Mereka tengah membujuk Monika untuk menandatangani kontrak sebagai bentuk pertanggungjawaban uang yang Jonathan hilangkan, bukan membahas fashion atau semacamnya.

Namun, pikiran liar Rio semakin menggila. Dia menelan ludah dengan paksa dan semakin tenggelam dalam imajinasinya menguasai tubuh molek tamunya.

"Kemarilah, Sayang." Lagi-lagi Rio bermonolog, belum tersadar. Dia membayangkan Monika mendekat dan duduk di pangkuannya.

"Dasar gila!" ketus Monika. Dia berdiri detik ketika Rio masih berbicara. "CEO mesum!" ketus Monika berapi-api, merasa dilecehkan oleh pandangan Rio barusan.

"Tuan?!" Leo menggoyangkan lengan tuannya, membuat lamunan pria itu terhenti seketika.

"Apa?" tanya Rio dengan wajah tanpa dosa. Dia tidak menyadari keberadaan Monika yang tak ada lagi di hadapannya. Gadis itu beranjak, kembali mendekat ke arah jasad ayahnya.

Leo menunjuk surat perjanjian yang masih utuh di atas meja, belum ada tanda persetujuan dari Monika sama sekali. Bahkan wanita itu berusaha memangku Jonathan seperti semula. Rio marah setelah menyadari penolakan Monika. Matanya berkilat tajam penuh dendam.