Try new experience
with our app

INSTALL

Terpaksa Menikahi CEO 

Gagal Kabur

"Selamat pagi. Selamat datang di minimarket kami. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Monika kepada dua orang yang mendekat ke arahnya. Mereka tampak aneh, tidak seperti pembeli lain pada umumnya. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, semua tampak misterius.

Kedua pria berpakaian serba hitam itu saling pandang sebelum mengangguk satu sama lain. Salah satu dari mereka melepas kacamata hitam dan menatap Monika dengan pandangan tajam. Aura menyeramkan tampak di sana. Jelas dia memiliki niatan tertentu pada gadis di hadapannya.

"Nona Monika Alexandra?"

"Ya?" Monika berusaha tetap tenang, menatap lawan bicaranya dengan pandangan waspada.

"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Kasir lain ikut bersuara. Dia tidak ingin ada oknum yang membuat keributan di tempatnya bekerja. Lagi pula, Monika terlihat membutuhkan bantuan untuk menghadapi dua orang yang tak diundang. Gelagat yang mereka tunjukkan kurang bersahabat. Bisa saja tujuan utamanya untuk mengganggu Monika.

"Bukan urusan Anda!"

"Tentu saja urusan saya. Anda membuat keributan di toko tempat saya bekerja. Enyahlah jika Anda berdua datang bukan untuk berbelanja."

Merasa salah tempat, pria pertama memberikan isyarat dengan anggukan kepala.

"Nona, ada yang ingin kami bicarakan. Bisa ikut dengan kami sebentar?"

"Maaf, saya sedang bekerja. Jika ada yang ingin Anda sampaikan, katakan saja di sini!"

"Anda mengenal tuan Jonathan Wu?" Selembar foto dikeluarkannya dari saku jas, ditunjukkan pada Monika.

Degup jantung gadis 25 tahun itu seolah terhenti seketika. Entah kenapa rasanya sesak di dalam dada, termasuk muncul firasat tidak mengenakkan yang dirasakannya. Tentu saja dia sangat mengenal pria dalam potret itu. Pria yang mengabaikan ibunya demi menikahi wanita lain. Pria yang pernah menjadi harapan terbesarnya, namun semua sia-sia.

Pukulan terbesar dalam hidup Monika Alexandra adalah saat Jonathan Wu memilih istri mudanya. Dia marah dan membencinya, sampai harus menghilangkan marga sang ayah dari namanya.

"Maaf, mungkin Anda salah orang. Saya tidak memiliki urusan dengannya lagi."

"Bukankah Anda mengenalnya?" ulang pria itu lagi, masih ingin menggali jawaban Monika. "Dia membutuhkan bantuan Anda sekarang."

Beberapa detik berlalu, Monika masih bungkam sambil memikirkan keselamatan ayah yang dibencinya. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa mengabaikan pria itu.

"Ada masalah apa?" Mau tak mau, Monika akhirnya bersuara meski tak langsung mengakui Jonathan sebagai ayah kandungnya. Nyatanya, mereka memang tak lagi berhubungan satu sama lain. Meski begitu, raut khawatir tampak di wajah cantiknya.

"Silakan ikut kami."

Monika menggeleng tegas, "Katakan saja apa masalahnya."

Namun, karena tidak ingin menjadi pusat perhatian pembeli, akhirnya Monika keluar bersama dua orang asing itu. Mereka bicara di sebuah gang sempit yang cukup sepi.

"Apa yang terjadi? Kenapa mencari saya?" Sebisa mungkin Monika mempertahankan sikapnya yang tenang. Dia tidak ingin gegabah mengambil keputusan sebelum tahu perbuatan ayahnya.

"Anda tahu masalah keuangan yang berkaitan dengan tuan Jonathan?"

"Saya tidak tahu. Terakhir kami bertemu tiga bulan yang lalu. Setelahnya, tidak pernah berjumpa atau bahkan berkirim pesan. Mungkin beliau sibuk dengan perusahaan tempatnya bekerja atau istrinya. Kalian bertanya pada orang yang salah."

Pria berpakaian hitam mengangguk pada rekannya yang lain, membuat Monika memicingkan mata. Kerutan di keningnya terbentuk, mulai curiga.

"Silakan ikut dengan kami sebentar. Ada masalah di perusahaan yang berkaitan dengan beliau dan Anda harus mengurusnya."

"Kenapa harus saya? Masih ada anak dan istrinya. Mereka yang selama ini hidup bersama dengan pria itu. Bukan saya!" Monika mundur dua langkah, sedikit menjauh dari orang-orang itu. Kecurigaan semakin bertambah di dalam hatinya. Alarm tanda bahaya segera berbunyi, memintanya untuk lebih waspada.

"Nona, kami hanya menyampaikan tugas untuk membawa Anda ke sana."

"Sayang sekali, saya sedang bekerja dan tidak bisa ikut dengan Anda."

Monika melihat kedatangan tiga orang pria berpakaian hitam-hitam dari arah lain. Dia harus segera pergi dari sini, lebih tepatnya menyelamatkan diri.

"Nona, tolong jangan buang waktu Anda!" Pria itu mulai melangkah mendekati gadis rambut pirang yang cantik jelita.

"Ini tidak benar!" cetusnya dalam hati. Detik berikutnya, Monika berbalik dan mengambil langkah seribu. Dia harus segera menjauhi orang-orang berbahaya itu. Jika tidak, entah nasib buruk seperti apa yang akan diterimanya.

"Nona, berhenti di sana!" teriak pria yang menyadari pergerakan Monika.

Bodoh jika Monika menghentikan langkahnya. Dia justru mengumpulkan tenaga untuk secepatnya kabur dari sana.

"Tangkap Nona Monika! Jangan biarkan dia lolos. Tuan Muda akan murka!"

Sekilas Monika mendengar perintah yang pria itu ucapkan, membuatnya semakin panik. Tidak ada jalan lain. Dia harus menyelamatkan diri. Harus!

Lima orang itu mulai bergerak, mengejar Monika dengan segala cara.

Dengan napas tersengal, Monika berhasil memaksakan kakinya untuk tetap bergerak, menjauh dari para pengejarnya. Sesekali dia menengok ke belakang, menghitung jarak yang memisahkannya dari mereka yang terasa semakin dekat. Hanya lima meter lagi, dia akan sampai di jalan raya yang menjadi penghubung gang sempit itu dengan minimarket.

"Dapat!" Sebuah tangan kekar berhasil mencengkeram pundak gadis cantik yang dikejarnya, membuat pergerakan Monika terhenti seketika. Tubuhnya hampir terhuyung ke depan, sebelum tangan lain menahan lengannya.

Percobaan Monika untuk kabur gagal. Dia kalah cepat dari pria yang kini menahan tubuh kecilnya.

"Lepas!" Monika meronta, berharap tenaganya cukup untuk memberikan perlawanan berarti. Namun, cengkeraman pria itu terasa semakin erat.

"Amankan dia!" teriak pria yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang itu.

Tanpa menunggu waktu lama, tubuh Monika diangkat ke atas pundak seperti sekarung beras. Meski meronta dan berteriak, tapi perlawanan yang coba dilakukan gadis itu tak ada gunanya sama sekali.

Tubuhnya begitu kokok, lebih keras dibandingkan samsak tinju. Perlawanan Monika tak membuatnya gentar sama sekali, justru langkahnya semakin mantap menuju mobil hitam yang tiba-tiba terhenti di tepi jalan. Decit remnya terdengar memekakkan telinga.

Hanya dalam hitungan detik, pintu mobil itu terbuka. Tubuh ramping Monika terhempas di kursi belakang, menghantam jok hitam yang terlihat mahal. Hanya ada seorang pria di balik kemudi, menatapnya tanpa suara.

Pintu tertutup sempurna bersamaan bunyi debam yang membuat Monika tertahan di sana.

"Siapa kalian?!" geram Monika sambil terus berusaha membuka pintu. Namun, teriakannya tak dihiraukan oleh pria yang ada bersamanya. Dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu masih coba mencari jalan keluar. "Buka pintunya!"

Bukannya menuruti permintaan Monika, pria dengan setelan rapi itu justru menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil hitam seharga miliaran rupiah melaju dengan kecepatan tinggi tanpa halangan berarti, membuat tubuh Monika kembali terpelanting ke belakang.

Teriakan menggema. Monika memegangi kepalanya yang terbentur cukup keras. Dia tidak tahu apa salahnya sampai harus ada di situasi seperti sekarang. Siapa orang-orang ini? Kenapa mereka membawanya pergi dengan paksa?

"Apa yang—"

"Duduk diam di tempat Anda, Nona! Jika tidak, ucapkan selamat tinggal pada dunia ini!" Suara dingin itu berhasil membuat Monika terenyak.

Kehidupannya terlalu berharga untuk ditinggalkan. Masih ada banyak mimpi yang harus diperjuangkan. Mau tak mau Monika menurut sambil mengamati situasi.

"Kita ke mana?"  Perjalanan mereka sudah berlalu tiga puluh menit tanpa suara.

"Perusahaan."

Monika merutuk pria itu dalam hati. Dia tahu mereka akan pergi ke perusahaan tempat ayah kandungnya membuat masalah. Yang ingin diketahui, siapa yang akan dia temui?

"Nona akan mengetahui semuanya nanti."

Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Monika. Masalah pelik seperti apa yang dilakukan oleh ayahnya? Mungkinkah itu sesuatu yang begitu penting?