Contents
02.00
Ulang Tahun Kanaya
Kanaya meletakan buket mawar putih di makam Mama dan Papanya pagi itu, menggantikan bunga–bunga yang telah layu, membersihkan makam, mengirim do'a, merajut kembali rindu dan sedih yang telah terurai pada hari–hari lalu.
Suasana di tanah pemakaman itu begitu lengang, cuma ada 2–3 keluarga saja yang tampak sedang berziarah di situ.
"Mama, Papa, besok Aya ulang tahun yang ke 17," gadis itu menghela napas sedih. "Dan itu menjadi hari ulang tahun pertama Aya tanpa Mama dan Papa...,"
Kanaya mengusap matanya, saat berdiri hendak meninggalkan makam. Yang kuat Aya, yang kuat, gumamnya pada diri sendiri. Walau tanpa Mama dan Papa, gue harus bisa ngelanjutin hidup...
Deg! Jantung Kanaya berdegup kencang, begitu melangkah. Pandangannya tertumbuk pada seorang pemuda berkostum hitam–hitam yang sedang berdiri bersandar di bawah pohon tak jauh dari makam orang tuanya.
"De - Devandra?"
Ya Tuhan, sejak kapan dia berdiri di situ? Kok gue bisa gak tau? Batin Kanaya gundah, gadis itu merasa beberapa hari ini dirinya seperti dibayang - bayangi oleh Devandra. Pemuda itu seperti ingin bicara sesuatu padanya, tapi selalu tidak punya kesempatan, karena Kanaya selalu menjauh. Memang dia sudah berhutang nyawa dengan Devandra karena pemuda itu sudah menyelamatkan nyawanya dari hantaman bis, tapi jika saja tidak ada bayangan sosok Devandra yang mengerikan saat kejadian jelangkung itu, mungkin Kanaya tidak akan setakut ini.
"Ke - kenapa lo ngikutin gue?"
"Gue? Eh, anu, maapin gue, bukan ngikutin, gue cuma ingin..,"
"Ingin apa?"
"Gue ingin bicara..,"
"Jangan mendekat!" Kanaya spontan menjerit saat Devandra maju beberapa langkah.
"Gu - gue cuma ingin ngasi tau, kalo bukan gue...,"
"Gue berterima kasih karena lo udah nyelametin gue, tapi plis, jauhi gue, jangan ganggu gue,"
"Gue..,"
Kanaya bergidik saat mata abu - abu jernih itu menatapnya. Tatapannya begitu nelangsa, tapi dimata Kanaya, tatapan itu sanggup membuat seluruh tubuhnya mendingin. Tu - Tuhan, dia mau apa?
Mata abu - abunya itu, seperti ada kekuatan tak nampak yang melumpuhkan siapa saja yang membalas tatapannya. Begitu syahdu, tapi juga begitu dingin, seolah ada dua jiwa di dalam tubuhnya, dua iiwa yang saling bertolak belakang, baik dan buruk.
Melihat Kanaya seperti mau menangis, Devandra tak berani melangkah lebih dekat lagi. Pemuda itu hanya terpaku di tempatnya sambil masih menatap Kanaya. Kesempatan itu tak disia - siakan Kanaya untuk buru - buru berbalik arah, pergi meninggalkan Devandra.
Ya Tuhan, Kanaya mengucap untuk kesekian kali, sambil berlari. Siapa Devandra sebetulnya? Atau apa? Dia begitu memesona bagai jelmaan dewa - dewa legenda Yunani, ta - tapi kenapa dia datang malam itu dengan sosok yang sangat mengerikan? Kenapa harus dia? Apakah dia ada hubungannya dengan suara aneh itu, dan kalung pentagram...., napas Kanaya terengah - engah saat akhirnya dia berhasil mencapai gerbang kompleks pemakaman, teringat betapa terkejutnya dia saat melihat kalung Pentagram itu entah bagaimana sudah melingkar di pergelangan tangan kiri Devandra. Padahal beberapa hari sebelumnya dia bersama sahabat - sahabatnya dibuat stress oleh terror kalung tersebut.
*******
Kanaya duduk berdua dengan Chicco di sebuah cafe, menunggu kedatangan Tasya dan Milly. Malam itu, mereka akan merayakan ulang tahun Kanaya.
Tapi sembari menunggu, Kanaya tak dapat menahan diri untuk tidak menceritakan pada Chicco, tentang Devandra yang selalu mengikutinya.
"Pokoknya lo cepat telepon gue kalo si Devandra itu ngikutin lo lagi, ok?" Kata Chicco terlihat gusar. "Apaan sih si Devandra itu? Siapa sih dia?"
"Gue takut, Chicco,"
"Ehm gini deh," kata Chicco karena melihat raut ketakutan Kanaya. "Mungkin kita lebih baik cari tau dengan yang indigo...,"
"Apa?"
"Iya, anak indigo kan ahlinya ngelacak yang ghaib - ghaib gitu,"
"Devandra mahluk ghaib gitu?"
"Bisa jadi,"
"Ih, yang bener lo, Chic?!" Mata Kanaya melebar. "Jangan tambah nakutin deh,"
Chicco menghela napas
"Bukan gue nakutin, Aya, gue kan cuma menduga," katanya.
"Dugaan lo nakutin, tauk. Kalo dia mahluk ghaib, gimana nasib gue yang tiap hari duduk sebelahan dengan dia..,"
"Iya juga ya?"
"Chiccoo..,"
"Ya udah, besok lo tukeran tempat duduk aja dengan gue, ok?"
"Tukeran?"
"Iya,"
Handphone milik Chicco tiba - tiba berbunyi, membuat percakapan itu terhenti.
"Set dah, ini dia si nona - nona cerewet," rutuk Chicco saat melihat nama siapa yang terpampang di layar handphone - nya. Tasya dan Milly yang dimaksud 'Nona Cerewet' oleh Chicco.
"Halo?" Chicco menjawab panggilan telepon itu.
"CHICCOOO!" Terdengar suara Tasya begitu nyaring, hingga Chicco terpaksa menjauhkan telinganya dari handphone.
"Apa sih? Udah datang telat, menjerit - jerit pula di telinga gue!" Sembur Chicco.
"Mobil gue mogok!"
"Lalu?"
" Dasar oon, ya tolongin gue, tauk!"
Chicco menepuk keningnya. Inilah nasib sebagai satu - satunya orang paling ganteng di genk!
"Di mana lo? Milly ada ama lo?"
"Ya, Milly ama gue. Kami sudah dekat sih, di perempatan jalan sebelum cafe, depan resto KFC. Bingung gue, kenapa tiba - tiba mobil gue mogok, padahal tangki bensinnya sudah gue isi penuh. Plis lo ke sini dong, gue gak ngerti nih masalah permobilan!"
"Lo mah bisanya cuma make doang, ketauan SIM-nya pasti SIM tembak neh!" Chicco mengomel.
"Kenapa si Tasya?" Kanaya melihat wajah merengut Chicco.
"Mobil Tasya mogok, lo bisa tunggu bentar? Gue mo ke perempatan sana, bantuin Tasya,"
"Ya, udah, gue tunggu kalian di sini,"
Sambil menggerutu, Chicco akhirnya beranjak juga keluar cafe. Kanaya mau tak mau tersenyum simpul sambil mengaduk - aduk Caramel Macchiato-nya, gitu deh bestie - bestie gue, reog aja setiap hari...
Kanaya menghela napas, malam ini Cafe langganan mereka nongki memang ramai, mungkin juga karena ini malam Minggu. Banyak pengunjung yang sudah datang harus kecewa karena tidak kebagian meja. Cafe yang memiliki plang nama Bonafacio Cafe ini memang cafe favorit yang selalu menjadi sasaran anak muda kota itu, untuk menghabiskan malam Minggu atau malam libur. Selain sering mengadakan event - event hiburan, menu makanan yang lumayan, tempatnya juga cozy dan bernuansa kekinian, membuat pengunjungnya selalu saja ramai.
Seharusnya Kanaya bahagia sekarang, karena bersama sahabat - sahabatnya, dia akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke - 17 di Cafe ini, tapi entah kenapa hatinya justru galau. Gak tau apakah gara - gara paginya dia bertemu Devandra atau karena hari ini adalah hari ulang tahunnya yang pertama tanpa Mama dan Papa.
Diteguknya Caramel Macchiato sedikit demi sedikit. Berharap hangat dan manis minuman berkafein itu bisa menghilangkan kegalauannya.
"Selamat ulang tahun ya?" tiba - tiba terdengar sebuah suara. Kanaya terjengah dibuatnya.
"Eh?"
"Please jangan tinggalin gue lagi kayak yang sudah - sudah,"
Kanaya hanya bisa terpana saat matanya beradu pandang dengan sepasang mata abu - abu jernih milik Devandra, yang tanpa kedip sedang menatapnya dengan lembut. Senyum, yang merekah begitu menawan di bibir Devandra, bagai mengajak semua orang untuk ikut tersenyum bersamanya. Di tangannya, tampak sebuah biola yang siap untuk dimainkan.
"Devandra?!" Pekik Kanaya terkejut, tapi gadis itu tak bisa mengelak karena ternyata pandangan semua pengunjung cafe sedang tertuju pada Kanaya dan Devandra saat itu
"Ehm, bo - boleh gue liat senyum lo? Jika lo senyum, gue bakal kasi lo hadiah sebuah lagu," katanya, sedikit tergagap karena Kanaya terpekik.
"Ka - Kapan lo datang?" Hanya pertanyaan itu yang terucap dari mulut Kanaya. Ya, Kanaya bahkan tidak tau kapan Devandra datang, tau - tau saja pemuda itu sudah berdiri dihadapannya. Oh, tidak, Kanaya mendekap mulutnya, kenapa hidup gue seperti dihantui oleh Devandra yang aneh ini, dia juga bahkan tau hari ini hari ulang tahun gue.
Duh, kemana sih Chicco, Tasya dan Milly? Kenapa lama banget seh? Kanaya tiba - tiba merasa merinding.
Sementara Devandra, tanpa menunggu senyum Kanaya seperti yang dipintanya, membungkukkan tubuhnya menghormat a la Pangeran zaman kerajaan Eropa, dan mulai memainkan biolanya. Dari iramanya, jelas pemuda itu sedang memainkan sebuah lagu ulang tahun yang ditujukan untuk Kanaya. Begitu ceria, begitu enerjik, mengundang tepuk tangan semua pengunjung cafe.
"Ya Tuhan," Kanaya membatin, tak tau harus berbicara apa melihatnya.
Buuk!!!
Permainan biola yang begitu damage itu tiba - tiba terhenti mendadak, semua pengunjung Cafe termasuk Kanaya, spontan berseru kaget. Seseorang datang, bagai banteng menyeruduk, langsung melayangkan bogemnya ke wajah Devandra hingga pemuda bermata abu - abu itu terjengkang jatuh. Biolanya terhempas jatuh.
"Chicco?!" Kanaya terpekik, melihat pemuda sahabatnya tiba - tiba saja sudah berdiri mengangkangi Devandra yang terjatuh di lantai Cafe. Di belakang Chicco, Tasya dan Milly menyusul datang dengan kue ulang tahun yang dipegang Tasya nyaris terjatuh karena tindakan nekad Chicco yang begitu mendadak. Rupanya sahabat - sahabat Kanaya sedang mempersiapkan surprise ulang tahun Kanaya jika tidak ada Devandra.
"Jangan ganggu Kanaya, setan!!" Teriak Chicco murka, pemuda itu menyambar kerah kemeja Devandra, hendak melayangkan tinjunya, menghajar Devandra. Kanaya melihat Chicco sebenarnya gentar juga di bawah tatapan tajam mata abu - abu Devandra, tapi sahabatnya itu menguatkan diri menghadapi Devandra.
Siapa tidak gentar, Kanaya bergidik, mata Devandra saat itu terlihat menatap Chicco begitu tajam, warna abu - abu matanya bagai kian memudar, memutih seolah hendak membekukan Chicco hanya dengan tatapan mata.
"Izinkan gue menyelesaikan lagu yang gue mainkan untuk Kanaya, please?" Terdengar suara Devandra datar.
"Lo!! Lo setan...Lo...," Chicco tampak terbata - bata, hendak mengancam, kepalan tangan pemuda itu mengacung di udara hendak dilayangkan ke wajah Devandra, tapi anehnya Chicco seperti kehilangan kemampuan untuk bergerak.
Pemuda itu seolah tiba - tiba membeku di depan Devandra. Wajah Chicco tampak memucat karena panik, napasnya sampai terengah - engah karena setengah mati berjuang untuk menggerakkan tangannya, tapi sia - sia, seolah ada sesuatu yang tak nampak sedang menahan tangan Chicco begitu kuat.
Kanaya yang begitu ketakutan melihat itu, memekik histeris hampir bersamaan dengan Tasya dan Milly yang juga ketakutan.
"Chicco?! Lo kenapa?!"
"G - gak tau, ta - tangan gue gak bisa bergerak! Ba - badan gue juga...," rintih Chicco kesakitan.