Contents
Dua Sisi
Bab 2 Maafkan Ibu, Nak
Sebuah mobil berwarna merah terang terparkir di halaman Rumah keluarga suanda. Keluarga suanda cukup disegani oleh warga di sana. Pak Suanda Ginajar adalah sosok yang ramah, baik, dermawan, dan juga religius. Ia tak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Hingga warga di kompleks perumahan mengenalnya.
Sebagai seorang pengusaha yang sukses, Pak Suanda tak pernah sombong. Semua sifatnya dan ketampanannya turun kepada putra sulungnya, Fauzan Altara Suanda. Namun sayang diusianya yang terbilang masih muda. Ia memenuhi panggilan-Nya, karena sebuah kecelakaan beruntun, ketika ia baru saja pulang dari menghadiri pertemuan dengan koleganya. Kejadian itu, sempat membuat perusahaan sedikit goyah.
Fauzan yang seharusnya memegang kendali perusahaan menolak. Ia merasa tak memiliki jiwa bisnis seperti sang ayah. Baginya sastra lebih menyenangkan daripada harus berkutik dengan saham yang naik turun. Hingga mau tak mau Lukman, suami Putri bungsunya, Atikah Fadya sari diangkat menjadi direktur utama. Menggantikan sang ayah.
Sebelum meninggal Pak Suanda sempat menikahkan Putri bungsunya dengan Lukman yang menjadi staf keuangan di perusahaannya. Dengan berani Lukman melamar Atikah. Saat itu Atikah baru lulus Sekolah Menengah Atas. Putri bungsunya itu, sebenarnya telah memendam rasa pada Lukman dari sejak pertama kali berjumpa. Atikah pun memutuskan untuk menikah muda. Setelah menikah ia bisa melanjutkan pendidikannya. Dan keputusannya itu, tak sia-sia. selang 2 bulan pernikahannya, sang ayah meninggal untuk selama-lamanya.
"Tikah .... opor ayamnya sudah matang belum?"Bu Rahayu, sang ibu berteriak dari ruang makan. Mereka berdua sedang sibuk membuat hidangan untuk tamu istimewa yang akan datan hari ini.
"Belum, Bu, sebentar lagi." Ujar Atikah sambil mengocek opor dalam panci.
Bu Rahayu menghampiri Atikah untuk memastikan masakannya, sebab putrinya itu belum mahir memasak opor.
"Coba sini, ibu cek!" Centong sayur yang ada di tangan Atikah pun berpindah. Bu Rahayu mengecek rasa dan kematangan.
"Bagaimana opor buatan Tikah?"Atikah memperhatikan ekspresi wajah sang ibu, hatinya ketar-ketir takut opor ayam yang akan dihidangkan nanti gagal.
Bu Rahayu mengembangkan senyum merekah,"Hmmm, enak. Semua bumbunya pas. Opor ayamnya sudah matang kok."Ia menyimpan centong sayur dan menutup panci, lalu mematikan kompor.
"Alhamdulillah. Tikah kira bakalan gagal, Bu. Kalau gagal kan bisa berabe Mana tamunya sebentar lagi datang."
"Oh, iya. keluarga Syifa sudah sampai mana?"
"Setengah jam yang lalu, dia ngabarin baru mau berangkat. Mungkin sebentar lagi juga sampe." Atikah merapikan dapur dan mencuci peralatan yang tadi dipakai.
"Abangmu kemana?"
"Abang lagi ngobrol di belakang Rumah sama Mas Lukman."
"Syukurlah, takutnya abangmu itu kabur lagi nyari Renata. Tikah, tolong suruh Lukman buat nasehatin abangmu itu. supaya dia berhenti mencari Renata. Kayak nggak ada perempuan lain saja. Apa kurangnya Syifa coba. Dia udah cantik, pinter, dan silsilah keluarganya juga udah terjamin. Dari pada Renata yang orang Belanda itu. Kau tau sendiri bagaimana pergaulan orang di barat Sana?"
"Mas Lukman udah beberapa kali menasehati Abang. Tapi kayaknya Abang Fazan jatuh cinta banget sama Renata."Di Rumah Fauzan sering dipanggil dengan sebutan Fazan.
Wajah Tikah berubah sedih. Ia teringat ketika Bang Fazan mencurahkan isi hatinya sambil menangis. Kadang ia merasa ibu terlalu memaksakan keinginannya. Padahal Abangnya itu bisa menjadikan Renata bagian dari keluarganya secara utuh. Ia juga sebenarnya tak setuju dengan perjodohan antara Syifa dengan Fauzan. Meskipun sejak kecil mereka bertiga selalu bermain bersama-sama. Tapi ia tak suka dengan sifat Syifa yang manja dan selalu mendramatisir keadaan. Jauh sekali dengan sifat Abangnya yang tegas dan keras. Ia merasa kalau pun pernikahan ini terjadi, Kehidupan rumahtangga mereka tak akan lama.
Keinginan ibu tak bisa diganggu gugat. Atikah hanya bisa berdoa saja. Supaya Abangnya itu diberikan jalan yang terbaik. Karena ia ingin sang Abang menndapatkan kebahagiaannya.
***
Dua orang pria tampan sedang bersantai di halaman belakang Rumah sambil melihat pepohonan dan tanaman lainnya. Rumah Fauzan memiliki halaman belakang yang sangat luas. Ibu dan dirinya sangat senang bercocok tanam. Tapi yang membedakan antara dirinya dan sang ibu adalah jenis tanaman yang mereka tanam. Sang ibu senang menanam bunga. Sedangkan ia senang dengan tanaman palawija seperti kunyit, jahe, lengkuas dan lain-lain.ia juga menanam pohon mangga, jambu, dan jeruk. halaman itu dibagi menjadi dua bagian. Agar tak menganggu kesenangan masing-masing. Terkadang jika bumbu-bumbu dapur di pasar sedang melonjak tinggi. Sang ibu suka meminta ia memanen tanamannya.
"Mas, bagaimana keadaan perusahaan?" Tanya Fauzan sambil menyeruput teh manis yang disediakan Atikah.
"Alhamdulillah, perusahaan mendapatkan keuntungan lebih dari tahun kemarin."jelas lukman.
"Tak salah Ayah menerima Mas Lukman jadi menantunya. Mas tau, Ayah itu orangnya selektif, apalagi Atikah. Di pilih-pilih banget. Aku nggak pernah denger dia Deket sama cowok. Baru Mas aja yang membuat dia terpesona."
"Ah, kamu bisa aja. Seharusnya kamu yang meneruskan perusahaan. bukannya aku."
"Pusing aku sama angka-angka. lebih baik seperti sekarang nulis di blog. ya, meskipun penghasilannya nggak sebesar Mas. Tapi aku menikmatinya." jelas Fauzan sambil melihat langit luas yang berwarna biru."Aku senang Atikah bisa menemukan kebahagiaannya. Nggak seperti aku."
"Kamu masih mencari keberadaan Renata? Apa sudah ada titik terang?" Lukman memberondong Fauzan dengan dua pertanyaan. Sebenarnya sudah sering mereka berdua membicarakan hal ini. Bahkan Lukman sering kali menasehatinya untuk berhenti mencari Renata.
"Iya. Aku mencari dia kesana kemari seperti orang gila saja, Mas. Bahkan sahabatnya Jessi udah bosan liat mukaku setiap hari."Fauzan menatap ponsel yang wallpapernya terpasang fotho Renata.
"Kamu sudah mencoba menghubungi ponselnya lagi?"
"Nomor ponselnya sudah nggak aktif, Mas. Aku bingung harus mencari dia kemana lagi."
"Zan, kalau menurutku kamu coba buka hati untuk Syifa. Apalagi hari ini tanggal pernikahan kalian akan ditentukan."
Perbincangan Lukman dan Fauzan harus terhenti. Karena Atikah memberitahu kalau keluarga Syifa sudah sampai. Dan mereka sedang duduk di ruang tamu. Menunggu kehadiran Fauzan. Fauzan langsung memasang wajah datar dan dingin. Tak ada sedikitpun senyum yang mengembang sebagaimana pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.
Melihat raut wajah Abangnya, Atikah merasa tak tega. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk menyelamatkan Abangnya dari situasi seperti ini. Abang dan ibunya memang sama-sama keras. Makanya sulit untuk memberi pengertIan kepada mereka berdua.
Di ruang tamu sudah ada Pak Hermawan dan Ibu Imelda, mereka berdua adalah kedua orangtua Syifa. Sedangkan Bu Rahayu duduk bersama Syifa, menantu yang diidamkannya. Fauzan datang diikuti dengan Atikah dan Lukman di belakang. Mereka bertiga bergabung.
Semua terlihat begitu bahagia, kecuali Fauzan. Ia memilih diam saja tak menanggapi pembicaraan. Sebab berbicara pun tak akan ada pengaruhnya sama sekali.
Setelah berbasa-basi, Pak Hermawan pun memulai pembicaraan serius tentang tanggal pernikahan Putri sematang wayangnya. Bu Rahayu menyerahkan keputusan kepada Fauzan. Namun Fauzan menyerahkan kembali kepada sang ibu. Hingga dua keluarga pun sepakat untuk menikahkan kedua putra-putrinya satu bulan lagi. Raut wajah Bu Rahayu begitu bahagia, ia akan melihat putra sulung melepas masa lajangnya. Meskipun Fauzan dan Syifa masih berkuliah. Itu tak menghalangi keinginannya untuk mengikat keduanya dalam ikatan yang suci. ia yakin Fauzan bisa memberi nafkah untuk keluarga kecilnya. Dan satu hal lagi, lambat Laun Fauzan akan bisa melupakan Renata.
Keputusan telah diambil, Fauzan rasanya tak ingin berlama-lama duduk di kursi panas ini. Ia pamit kepada semuanya untuk ke belakang sebentar.
Sesampainya di halaman belakang. Fauzan duduk sambil menghela napas, untuk melepas segala beban yang menghimpit hatinya. Ia merasa sebentar lagi kebahagiaannya akan direnggut. Sang ibu tak bisa diajak untuk bernegosiasi. Dan sekarang ia harus merelakan kebahagiaan, hanya karena ia menyayangi ibunya. Ia tak tahu akan seperti apa kehidupan rumahtangga yang akan dijalaninya.
Fauzan mengambil ponsel dari saku celananya. ia menyalakan ponsel, dan menatap layar ponsel yang terpajang fotho Renata. Wanita keturunan Belanda yang mampu menggetarkan hatinya. Kehilangannya membuat Fauzan hampa. Tak ada gairah hidup seperti saat bersamanya.
Tiba-tiba seseorang mengambil ponsel yang ada dalam genggamannya. Ternyata orang itu adalah syifa. Fauzan langsung berdiri, amarah mulai naik. ia rebut kembali ponselnya dari tangan Syifa.
"Mas, sampai kapan fotho wanita itu ada di ponselmu. Satu bulan lagi kita akan menikah. coba mas buka hati Mas untukku."mata Syifa berkaca-kaca, hatinya terasa teriris melihat begitu besar cinta Fauzan pada Renata.
"Syifa, dengar ya! Sampai kapan pun tak ada yang bisa menggantikan Renata. Kamu bisa mendapatkan ragaku. tapi tidak dengan hatiku."ancam Fauzan.
"Terus bagaimana dengan kehidupan pernikahan kita nanti."
"Kamu sendiri kan yang menginginkan pernikahan ini. jadi kamu tanggung resikonya, hidup berumahtangga denganku tapi tak ada cinta di dalamnya."Fauzan menatap penuh kebencian kepada Syifa. Ia muak dengan perempuan manja di hadapannya ini. Meski pun dulu mereka berdua adalah sahabat yang cukup dekat.
Ponsel digenggaman Fauzan berdering, Di sana tertera nama Gandis. Ia menerima telpon sambil berlalu meninggalkan Syifa.
Fauzan terlibat pembicaraan serius dengan Gandis. ia menutup ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam saku celana. wajahnya terlihat berbinar. Dengan tergesa ia pergi ke kamar, mengambil kunci motor dan juga Jaket. Ia berlari ke arah garasi. Tanpa memperdulikan sang ibu yang memanggil-manggil namanya. Karena ia tak ingin kehilangan lagi kesempatan untuk bertemu dengan Renata.
***
Pukul 12 malam
Fauzan baru pulang, ia berjalan dengan lunglai. ia tak harus membangunkan orang Rumah karena ia memiliki kunci cadangan. Sepertinya kesempatan untuk bertemu dengan Renata tak ada lagi. Perjuangannya selama ini ternyata sia-sia saja. Binar kebahagiaan yang tadi terlihat, hilang seketika.
Atikah mendengar pintu depan di buka, keluar dari kamarnya. kebetulan hari ini dia menginap di rumah ibu. Sedangkan Mas Lukman pulang karena ada meeting yang harus dia hadiri pagi-pagi sekali. Ia menghampiri Fauzan, namun baru beberapa langkah. Fauzan tiba-tiba ambruk. Atikah langsung mengambil langkah seribu.
"Bang...Bang Fazan..." Atikah menepuk-nepuk pipi Fauzan yang terasa panas. ia pun memegang dahi sang Abang untuk memastikan. Ternyata Fauzan demam."Ibu ...Ibu ...Bang Fazan..."
Pintu kamar Bu Rahayu terbuka. Betapa terkejutnya ia, melihat putra sulungnya tergeletak di lantai dengan kepala berada di pangkuan Atikah.
"Tikah, Fazan kenapa?" Bu Rahayu begitu khawatir. Ia memegang putranya."Astaghfirullah, Fazan demam. Tikah, tolong ambilkan termometer di kotak P3K."
Atikah mengangkat kepala sang Abang dan mengalihkan pada pangkuan ibunya. ia bergegas mengambil termometer. Lalu menyerahkannya pada sang ibu. Bu Rahayu menempelkan termometer di sela ketiak Fauzan. alat itu pun berbunyi. ia pun syok melihat hasilnya. panas sang putra mencapai 41 derajat.
"Tikah, tolong telpon Suamimu. Kita harus segera membawa fazan ke Rumah sakit. panasnya tinggi sekali."
Tanpa banyak bicara, Atikah langsung masuk ke kamar dan menghubungi Lukman. untungnya Mas Lukman masih terjaga. Hingga tak butuh waktu lama, lima belas menit kemudian ia datang dengan membawa mobil. Atikah dan Bu Rahayu sudah bersiap-siap. Bu Rahayu dan Lukman mengangkat Fauzan dan memasukkannya ke dalam mobil. Di dalam mobil Atikah sudah bersiap untuk menyanggah kepala sang Abang. Bu Rahayu duduk di depan bersama Lukman. mobil pun melesat, memecah kegelapan malam.
***
Sesampainya di rumah sakit, Fauzan langsung mendapat penanganan dari dokter jaga. Fauzan di masukkan ke ruangan UGD. Bu Rahayu mondar-mandir, ia begitu khawatir dengan keadaan Fauzan.
Pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar. Bu Rahayu langsung menghampirinya.
"Dok, bagaimana keadaan putra saya?"
"Hmmm, sebelumya adakah yang bernama Renata? Sebab pasien selalu menyebut-nyebut namanya."
"Tidak ada, Dok." Atikah sedih, sebegitu cintanya sang Abang pada Renata. Hingga dalam kondisi seperti ini pun ia masih mengingatnya.
"Begini, kondisi pasien sangat lemah. kadar gula darahnya juga sangat rendah. apa pasien sering begadang atau sudah makan? atau mungkin ada beban pikiran yang di alami pasien."
"Iya, Dok. sudah beberapa Minggu ini putra saya selalu pulang malam. Entah dia makan atau tidak diluar sana. Dan memang dia sedang memikirkan kekasihnya yang menghilang."
"Oh, pantas saja kalau begitu. Tolong makan pasien dijaga dan jangan terlalu banyak pikiran. itu akan membuat ia tak nafsu makan. Pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan."
"Baik, dok, terimakasih."
Setelah kepergian dokter, ibu Rahayu merenungi keputusannya untuk menikahkan Fauzan dengan syifa. Suara brankar didorong terdengar, Fauzan akan dipindahkan ke ruang perawatan. Atikah, Bu Rahayu dan Lukman mengikuti dari belakang.
Kamar vip sudah disediakan pihak Rumah sakit. Suster mengecek semuanya, termasuk jalannya infusan. Setelah itu mereka pamit.
Bu Rahayu menatap Fauzan yang berbaring dengan perasaan sedih. ia merasa, bahwa ini semua karena keegoisannya menjodohkan Fauzan. Atikah memeluk sang ibu dari samping. ia paham perasaan ibunya saat ini.
"Tikah, apa ibu egois menjodohkan Syifa dengan Fazan? Apa salah kalau ibu ingin yang terbaik buat Fazan?"
"Ibu nggak salah. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk putranya. Tapi kalau Tikah boleh jujur, sebenarnya Tikah kurang setuju kalau Abang dijodohkan dengan syifa. Karakter mereka bertentangan. Bu, coba raba perasaan Abang. Tikah tahu, keluarga kita dan Renata bagai langit dan bumi. nggak bisa bersatu. Tapi Abang bilang ia bisa menjadikan Renata bagian dari keluarga kita seutuhnya. Dan ibu harus percaya pada Abang."Tikah tak tahan melihat penderitaan Fauzan, akhirnya mengeluarkan semua unek-unek dalam hatinya selama ini.
"Terus apa yang harus ibu lakukan?" Bu Rahayu menatap Tikah dengan linangan air mata.
Dengan lembut Tikah menghapus air mata sang ibu."Menurut Tikah, ibu batalkan saja pernikahan Abang dengan syifa. Sebelum terlambat. Karena Tikah rasa pernikahan mereka tak akan bertahan lama. Dan satu lagi, ibu harus percaya kepada Abang. kalau pilihan Abang tak akan salah. seperti halnya Tikah memilih Mas Lukman." Tikah memandang sang suami yang tertidur di sofa.
Bu Rahayu melepas pelukan putrinya. ia mendekati ranjang tempat Fauzan berbaring lemah. Matanya masih tertutup. Namun terkadang Ia mengigau memanggil nama Renata. Dan itu yang membuat Bu Rahayu menyesal. Ia mengelus-elus rambut Fauzan dengan berlinang air mata.
"Fazan, maafkan ibu, nak! Ibu terlalu egois. Hingga ibu tak bisa melihat penderitaanmu. Ibu kira perjodohan ini, adalah yang terbaik untukmu. Tapi nyatanya tidak. Kamu malah berbaring tak berdaya seperti ini."Air mata bu Rahayu mengalir deras. Tikah menghampiri sang ibu dan memegang pundaknya untuk memberikan kekuatan.
"Fazan, meskipun terlambat. Ibu merestui hubungannya dengan Renata. Cari dan kejarlah dia. jadikan dia bagian dari keluarga kita. Ibu merestuimu."
Tak kuasa melihat sang ibu menangis. Hati Tikahpun terenyuh. ia memeluk sang ibu sambil menangis