Contents
Ros dan Chandra
6: Pemandangan Baru
Chandra berjalan menuruni tangga. Ketiga pintu kamar adik-adiknya masih menutup. Hari Minggu biasanya memang semua orang bersantai.
Semua ruangan terlihat lengang dan sunyi. Satu-satunya sumber suara yang ia dengar, adalah dari dapur dan samping rumah. Biasanya hari Minggu adalah jadwalnya Pak Amin mencuci mobil.
Ke dapurlah kakinya melangkah.
Ibu Lina Wijaya, yang masih segar dan cantik di usianya yang sudah kepala lima, sedang sibuk membongkar kantong-kantong plastik di atas konter dapur yang serupa meja panjang, tempat Maminya atau Bik Ida meracik bumbu dan menyiapkan bahan.
Bibik Ida sedang memeriksa sesuatu di dalam oven. Suara orang mencuci piring, menuntun matanya ke punggung si gadis asing yang tadi berkunjung ke kamarnya.
Ros.
“Pagi Mam.” Ia mengambil tempat di depan Maminya, duduk di salah satu kursi di sana. Dari posisinya ini, ia masih bisa melihat Ros, meski hanya punggungnya saja.
“Pagi, anak Mami paling gede. Enak sarapannya?” tangan Bu Lina masih gesit mengeluarkan satu persatu bahan makanan di atas konter.
“Enak dong. Kan buatan Bibik.”
Bik Ida terkekeh. Tangannya kemudian mengeluarkan Loyang dari dalam oven. Harum cake yang baru selesai dipanggang menguar ke udara.
“Apa tuh?”
Bibik dan Maminya kompak tergelak.
“Sarapannya bukannya udah banyak, tadi?”
Chandra ikut terkekeh, sambil mengusap-usap perutnya.
“Kue buatan Bibik mah pantang ditolak!”
Bik Ida mencari-cari.
“Ros, ambilkan piring buat kuenya Koko Chan.”
Chandra menyaksikan Ros, yang masih menunduk, kemudian mengeringkan tangannya dan beranjak menuju lemari dapur. Wajahnya masih belum jelas terlihat. Rambutnya, yang tak sempat ia amati saat di kamar, sekarang terlihat. Panjang menyentuh punggung nampaknya, hanya sekarang sedang diikat.
“Itu Ros.” Mami memberi isyarat dengan bahu ke arah Ros. “Sudah kerja di sini enam bulan. Sekolah bareng Sandy di Cihampelas.”
Oh seusia Sandy. Berapa sih umur adiknya itu? 16? 17?
Glegh.
Bik Ida memotongkan kue dan menaruhnya di piring kecil yang dibawa Ros. Gadis itu kemudian membawanya ke hadapan Chandra.
“Makasih.”
Ros mengangguk. Chandra bisa melihat semburat merah jambu yang lagi-lagi muncul di kedua sisi wajahnya.
“Wah Bik … ai daun sama santannya ga kebeli,” suara Mami mengalihkan pandangan Chandra dari si gadis manis.
“Duh hilap, Bu.”
“Ka pasar deui ieu mah3. Nu kanggo puding oge belum nya Bik. Trus, sekalian beli jajanan pasar.”
“Ayeuna, Bu?4”
“Iya, Bibik ikut saya weh. Keun beberes mah kan ada Ros.”
“Oh, iya Bu. Abdi gentos acuk heula.5”
Bik Ida keluar dari dapur.
“Ada acara apa, Mam? Masak banyak?”
Mami mengeluarkan dompet dari salah satu tas belanja.
“Papi pengen makan nasi kuning komplit. Mumpung kamu ada di rumah.”
“Mau aku anter?”
“Ga usah, sama Pak Amin aja. Kan kamu baru pulang. Mami mau belanja buat minggu depan juga. Biar sekalian.”
“Ooh.”
Mami keluar dari dapur.
Ros masih berkutat dengan tumpukan pecah belah yang ia masuk-masukkan ke dalam lemari.
“Eh, Ros?”
Lengan Ros berhenti bergerak.
Chandra menunggu hingga gadis itu menoleh padanya.
“Sendoknya, dong.” Telunjuknya mengarah ke potongan kue di atas piring.
Muka gadis itu memerah lagi.
Ah, sering-seringlah begini. Pemandangan yang indah.
“Iya, Ko. Maaf ya. Sebentar.”
Kedua mata Chandra mengamati gerak-geriknya, membuka sebuah laci dan mengeluarkan sendok kecil. Setelah dilapnya dengan tisu, baru ia berikan kepada Chandra.
Chandra menikmati semburat kemerahan terakhir setelah ia memberikan senyuman pada gadis itu.
Catatan Kaki:
1. Piring kecil
2. Lupa saya.
3. Ke pasar lagi ah.
4. Sekarang?
5. Ganti baju dulu saya ya.