Try new experience
with our app

INSTALL

Ros dan Chandra 

5. Si Anak Sulung

Semalam Chandra mengantuk sekali. Meski Bibik Ida menawarinya makan, ia menolak dan berpesan untuk dibawakan sarapan esok hari ke kamarnya. Setelah menyapa Papi dan Maminya yang sedang menonton TV berdua, dia langsung naik ke kamarnya di lantai dua.

Baru saja beberapa menit kepalanya menyentuh bantal, pagernya berbunyi.

Susah payah Chandra berusaha membuka mata, dan mencari-cari ranselnya yang entah di mana dia letakkan. Ah itu dia. Tangannya merogoh-rogoh, mencari benda seukuran lebih kecil sedikit dari kotak rokok itu. Beberapa barang yang tadinya menghuni ransel, ikut terburai dan berserakan di sofa dan lantai. Chandra mengucek-ngucek matanya.

Chan, paper beres?

Sebaris kalimat di layar kecil pagernya, melambai-lambai memohon perhatian. Sambil memaki perlahan, dia beranjak menuju telepon di atas meja di dekat jendela. Tangannya memijit nomor operator. 

Dia kemudian menyampaikan pesan pada Bowo, temannya yang baru saja mengirim pesan di pager bahwa, ya, papernya sudah beres dan sudah dikumpulkan. Setelahnya, dengan penuh rasa syukur, ia menjatuhkan diri ke atas kasur, tanpa sempat berganti pakaian. 

Dalam mimpinya dia memaki Bowo yang terus menerus membuat pagernya berbunyi. Sial sekali rupanya dia harus diganggu si kriwil sahabatnya itu terus-terusan dalam kondisi kelelahan.

Kemudian dia terbangun dan baru menyadari bahwa itu adalah mimpi. Tak ada seorang pun yang mengiriminya pesan melalui pager.

Jam berapa sih ini?

Kedua matanya terbuka memandangi langit kamar dan menikmati aroma rumah yang membuatnya tenang. Kemeja dan celana jins yang semalam tak sempat dia lepas, membuatnya tak nyaman. Dia menegakkan tubuh dan beringsut ke lemari pakaian. Mengambil celana pendek, celana dalam, dan kaus bersih.

Masuk ke kamar mandi, Chandra menatap pantulan wajahnya di cermin. Kedua matanya terlihat lelah. Selain karena kecapaian setelah menyetir sekian jam dari Jakarta, selama beberapa pekan terakhir dia disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Akhirnya tiba juga masa dia bisa berhenti sejenak dari kepungan deadline. Liburan ke kampung halamannya akan benar-benar dia nikmati.

Chandra membuka kemeja dan melemparkannya ke keranjang baju kotor di sudut. Bersyukur sekali dia karena kamar mandinya dilengkapi pemanas air, mengingat udara Bandung yang begitu dingin.

Dia sudah selesai mandi dan sedang menggosok gigi saat terdengar ketukan di pintu kamar.

“Masuk aja Bik! Ga dikunci!” Dia berteriak ke arah pintu, teringat pesanan sarapan spesialnya tadi malam. Tak lama, dia mendengar pintu kamarnya membuka. Pasti Bik Ida.

“Bik! Taro di meja!” Dia berteriak kembali. 

Beres melakukan kegiatan bersih-bersihnya, dia agak menggigil. Udara Bandung – yang adalah kota kelahirannya – tetap saja sering membuatnya kaget. Ini tentu akibat migrasinya ke Jakarta yang lembap dan panas selama tiga tahun terakhir. 

Dia mulai berpakaian sambil bersiul-siul, mengenakan kaus dan sehelai celana pendek selutut yang nyaman dikenakan di dalam rumah. Merasa lebih nyaman dan bersih, dia kemudian memutar badan dan membuka pintu kamar mandi.

Saat itulah, dia memandang gadis itu untuk pertamakalinya.

Tubuhnya langsing dan agak tinggi. Mungkin hampir setinggiSandy, tapi tidak lebih tinggi darinya. Tetap tinggi untuk ukuran perempuan. Rambutnya dikuncir dan dia berponi.

Pandangan mereka bersitatap lalu perempuan itu menunduk, kedua pipinya memerah. Meski hanya sekian detik, dia bisa merekam kedua bola matanya yang jernih dan membulat, hidungnya yang mancung dan mulutnya yang setengah terperangah. Kulitnya tak seterang kulitnya, tapi bersih dan halus. Seperti warna kulit Maminya.

“Bik Ida mana?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya lagi, ekspresinya seperti terperangkap, setelah melakukan sesuatu yang memalukan. Lucu dan menggemaskan.

“Di dapur. Saya cuma disuruh nganter itu.” Jempol kanannya menujuk meja di dekat jendela. Ah, dia bisa melihat kepulan kopi panas dan mencium aroma nasi goreng spesialnya.

Pandangannya kembali ke wajah si perempuan, yang kemudian menunduk lagi. Siapa dia? Gadis itu mengangguk padanya, kemudian berjalan menuju pintu.

Oh, wait.

Seperti mendengar kata hatinya, di depan pintu si gadis berhenti. Kemudian memutar tubuh kembali berhadapan dengannya.

“Eh, kata Bibik, Koko mau dibuatkan teh panas juga?”

Chandra serta merta tersenyum. Ah, ia sudah tahu nama panggilannya di sini. Apakah itu berarti gadis ini tinggal di sini juga?

Setelah menimbang-nimbang sejenak, dia menjawab, “boleh. Anterin ke sini ya.”

Gadis asing itu mengangguk dan membuka pintu kamar dan menghilang. 

Chandra masih berdiri di depan pintu kamar mandinya sambil tersenyum. Pagi-pagi disuguhi pemandangan gadis cantik, setelah semalam menyetir selama empat jam itu betul-betul sebuah anugerah.

Sambil bersiul, ia menuju kopi panas dan sarapannya di atas meja. Nasi goreng Bibik Ida itu the best of the best lah. Sambil mengunyah, Chandra membayangkan hidangan apa lagi yang akan dia pesan untuk dimasak Bibik Ida. Setiap kali pulang ke Bandung, dia selalu memanfaatkan status istimewanya sebagai anak kesayangan Bibik.

Dia menyendok acar yang ditaruh di sudut piring. Papi dan Mami boleh jadi punya empat anak, namun dia selalu menjadi yang paling istimewa untuk Bik Ida, pembantu rumah tangga yang sudah ikut mereka sejak dia masih di dalam perut Mami. 

Bik Ida yang dulu mengantarnya ke sekolah, membalut luka di lututnya akibat jatuh dari pohon dan membuatkannya es jeruk saat udara panas. Sementara Mami masih sibuk ikut mengurusi perusahaan Papi yang baru saja mereka rintis.

Tok! Tok!

Eits, si gadis manis datang lagi.

Buru-buru dia meneguk minuman kemudian melap mulut. “Masuuuk.”

Pintu terbuka.

“Kokoooo … udah dimakan belum nasinya?” Sosok Bibik Ida yang tambun muncul di hadapannya. 

Wait, where is she?

Chandra menunjuk piringnya yang sudah setengah licin.

Bik Ida menaruh teh panas –pasti tanpa gula- di hadapannya, kemudian memeluk dan mengusap-usap bahunya. Untuk Chandra, ini bukanlah gesture tak sopan pembantu kepada majikan, melainkan ungkapan kasih sayang Bik Ida padanya.

Bik Ida melepas pelukannya kemudian memandangi seisi kamar.

Karek oge pulang, geus pabalatak deui Ko![1]

Chandra tertawa.

“Bibik lebih suka aku ga pulang?”

Bibik Ida mencebikkan bibirnya. Kedua matanya mencari-cari. Lengannya berkacak pinggang seperti seorang kapten yang sedang memeriksa kondisi anak buahnya.

           “Itu di koper, ada baju kotor?” Kata-katanya lebih mirip perintah daripada pertanyaan.

“Iya, ntar aku bongkar dulu.” Chandra menyuapkan sesendok nasi terakhir. 

           “Ya udah atuh nanti Bibik suruh si Ros yang beresin ya.”

“Ros?”

“Ituu … anaknya mantan karyawan pabrik Bapak. Baru kerja di sini enam bulan. Baik anaknya, ga banyak omong.”

“Yang tadi nganter makanan?”

Tah nu eta[2].”

Ros. Sekarang dia tahu namanya. Hai Ros, senang berkenalan denganmu.

**

[1] Baru juga pulang udah berantakan lagi, Ko

[2] Nah yang itu