Contents
Ros dan Chandra
4. Pertemuan Pertama
Bandung, menjelang akhir 1995.
Ros mengepel halaman depan rumah sambil memandang jauh ke balik gerbang. Hari Minggu pagi ini jalanan Bandung sepi. Jalan raya yang tepat berada di depan rumah mereka biasanya ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Hanya terlihat orang-orang yang jogging atau sekadar berjalan-jalan di tengah udara dingin. Tentu karena ini masih pagi, sebab nanti siang lalu lintas pasti sudah ramai lagi seperti biasa.
Beres mengepel dan menyimpan semua peralatan yang barusan dia pakai, Ros bergegas menyalakan air keran di taman depan. Dengan selang air di tangan, dia menyiram semua tanaman di sana. Bu Lina amat menyukai tanaman, itulah mengapa halaman rumah mereka sangat indah terawat dengan berbagai macam tumbuhan.
Bougenville, anggrek, mawar, sedap malam, kuping gajah dan banyak lagi tanaman yang dia tidak hafal semua nama-namanya. Favoritnya tentu bunga mawar, sesuai bunyi namanya dalam bahasa Inggris. Bagian itu dia karang sendiri sebab rasanya tak mungkin ayah ibunya yang dari kampung menamainya dari sepotong kata bahasa Inggris. Lagipula nama lengkapnya adalah Rosmala, entah apa artinya.
Bunga mawar putih di sudut taman itu kesukaannya. Bunga yang juga difavoritkan Bu Lina, yang telaten merawatnya sendiri, meski Kang Ade si tukang kebun datang setidaknya dua kali dalam sebulan, untuk merawat taman.
Selain mengurus tumbuhan, Kang Ade juga biasanya memeriksa semua peralatan elektronik yang ada di dalam rumah, dari sekering listrik sampai ke shower di semua kamar mandi. Berbekal bermacam peralatan di tangannya, Kang Ade menjelma menjadi pahlawan yang bisa memperbaiki alat apapun.
Matahari mulai bersinar, agaknya sudah masuk jam enam atau setengah tujuh pagi. Ros tak tahu persis. Untuk melihat waktu, dia biasanya memeriksa jam dinding yang tergantung di tembok dapur. Atau jam dinding besar yang tergantung di ruang tengah ketika kebetulan sedang beres-beres di dalam rumah.
Genap enam bulan sudah Ros menjadi penghuni rumah besar bercat putih yang terletak di salah satu jalan utama kota Bandung itu. Setiap hari, dia akan bangun pukul empat pagi, menyapu dan mengepel seluruh ruangan kemudian bersiap sekolah.
Pulang sekolah, cucian piring dan kamar-kamar yang belum sempat tergarap Bik Ida akan menunggunya. Jika sedang ada Teh Lilis, dia akan membantu mendistribusikan tumpukan pakaian ke kamar-kamar para penghuni.
Terkadang, dia juga harus siap membantu Bik Ida mengupas bawang, berbagi membersihkan semua kamar mandi, dan tugas-tugas lainnya. Semuanya dia jalani dengan senang hati, sebab semua orang bersikap baik padanya.
Anak-anak Bu Lina juga sudah mulai akrab dengannya. Muti si kecil, senang memintai tolongnya untuk mengerjakan PR atau sekadar merengek, minta dipakaikan jepit di rambutnya atau sekadar bermain boneka-bonekaan. Muti ini kira-kira seusia Lia, adiknya di rumah. Ros sering sekali merindukannya dan akhirnya menganggap Muti seperti adiknya sendiri.
Lisa, walau tak banyak bicara, selalu menawarinya makanan yang ia bawa entah dari mana. Pizza, burger dan banyak lagi jenis makanan baru yang asing untuk Ros. Lisa juga berbagi banyak buku bacaan dan majalah dengan Ros. Sementara Sandy, dengan gayanya yang cengengesan dan suka bercanda, selalu berhasil membuatnya tertawa.
Meski jatah pulangnya baru akan ia peroleh setelah libur sekolahnya, Ros merasa kerinduannya terhadap keluarga, cukup tergantikan oleh sikap baik keluarga Hendrik.
“Ros!”
Ros menoleh. Bik Ida melambaikan tangan dari arah garasi.
“Bentar!”
Ros mematikan semprotan selang di tangannya, kemudian menggulung selang yang panjang tersebut dan menumpuknya di sudut taman, bagian yang terlindungi pohon mangga. Tak lupa dia juga mematikan keran yang terhubung ke selang tersebut.
Setelah mencuci kaki dan tangannya di air keran dekat garasi, Ros mendatangi Bik Ida di dapur.
Bik Ida menunjuk sebuah nampan kayu di atas meja dapur. Di atasnya, tertata sebuah piring dengan nasi goreng yang masih mengepul, tanda baru saja diangkat dari penggorengan. Segelas air putih dan secangkir kopi panas juga tersaji di sana.
“Cing tanya aja nanti, mau dibawain teh juga ga, soalnya kadang Koko minum teh.” Tangan Bik Ida yang cekatan, mengaduk adonan baru di dalam baskom. Entah makanan apa lagi yang ia akan buat pagi ini.
“Koko?” Kening Ros berkerut.
“Eh Iya, kamu mah udah tidur ya tadi malam. Itu anaknya Ibu yang paling besar, pulang. Trus dia pesan sama Bibik, pengen sarapan di kamar aja ceunah, nasi goreng.”
Ros mengeringkan kedua tangannya memakai lap yang selalu tersedia di sebelah tempat cuci piring.
“Koko Chandra mah paling suka nasi goreng Bibik, ga ada yang ngalahin, katanya!” Senyum Bik Ida terkembang begitu lebar.
“Euh … namanya teh, Koko, atau Chandra?”
“Koko teh, kalo di kita mah ‘Aa’. Kan anak paling gede.”
“Ooh.”
“Hati-hati bawanya ya. Kopinya panas.”
“Muhun[1] Bik.”
Koko Chandra pasti pemilik kamar di lantai dua yang selama ini kosong. Ros rajin membersihkannya setiap hari tapi ia belum pernah bertemu dengan penghuninya. Dengan nampan berat di tangannya, Ros menaiki tangga ke lantai dua dengan hati-hati.
Tiba di hadapan pintu kamar itu, Ros berhenti. Nampan berat dia letakkan di meja kecil dekat pintu. Setelah tangannya bebas, dia mulai mengetuk pintu.
Tok! Tok!
Tak ada jawaban.
Ini masih pukul tujuh pagi di hari Minggu. Sebenarnya belum semua penghuni rumah terjaga. Bahkan Bu Lina, yang biasanya sudah melakukan inspeksi ke dapur sejak pukul lima pun, tampaknya memanfaatkan hari libur dengan bangun lebih siang dari biasanya.
Tangan Ros terangkat kembali.
Tok! Tok!
Masih sunyi.
Antara ragu mau mengetuk pintu lagi, atau kembali ke dapur, Ros berjongkok untuk mengambil nampan di atas meja. Saat itulah, sebuah suara setengah berteriak menjawab ketukan pintunya dari dalam.
“Masuk aja Bik! Ga dikunci!”
Ros urung mengangkat nampan. Dia memutar kenop pintu sampai ada celah untuk tubuhnya masuk, baru mengangkat nampan.
Kamar itu agak temaram sebab tak ada lampu yang dinyalakan. Seprai yang biasanya rapi terpasang kini acak-acakan, tanda habis ditiduri semalam.
“Bik! Taro di meja!” Teriakan lagi. Kali ini Ros tahu dari mana sumber suaranya. Suara air mengalir di kamar mandi menandakan pemilik kamar berteriak dari sana. Di rumah ini, setiap kamar memang dilengkapi dengan kamar mandi.
Ros mengangkat nampan menuju meja kerja yang berada di sebelah jendela besar yang menghadap ke halaman rumah. Dia memeriksa nasi goreng yang di atasnya diberi ayam goreng dan telur ceplok. Dia memastikan tak ada yang mengotori piring dan gelas yang dihidangkannya. Bik Ida mengajarinya untuk selalu menghidangkan makanan yang tak hanya sedap dimakan tapi juga enak dilihat.
Sebelum keluar kamar, dia memutuskan untuk membuka tirai jendela. Jika nanti pemilik kamarnya keluar dari kamar mandi, tentu ia akan senang sekali dengan melimpahnya cahaya pagi dari luar.
Seketika kamar menjadi terang benderang. Ros sekarang bisa melihat sebuah koper besar teronggok di sudut, dan barang-barang yang tampaknya terburai acak-acakan dari sebuah tas ransel yang ada di dekat tempat tidur.
Ros memutuskan untuk membereskan semuanya saat si pemilik kamar sudah tak ada di sana. Dia lebih suka bekerja sendiri tanpa diawasi, lebih nyaman dan tenang.
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, sebelum Ros mencapai pintu kamar untuk keluar. Karena posisinya yang tepat di sebelah kanan sebelum pintu, sudah terlambat bagi Ros untuk berjingkat dan berlari ke luar.
Seorang lelaki bercelana pendek dan berkaus putih keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Kulitnya putih, seperti semua anggota keluarga di rumah ini. Lelaki itu mengangkat wajah dan bertatapan dengan Ros, yang langsung menunduk malu.
Koko Chandra.
Ternyata anak sulung keluarga ini mirip dengan Sandy, hanya kulitnya yang terang terlihat lebih sering terpapar matahari, menjadikannya tampak sehat dan tidak pucat. Tulang pipinya agak tinggi. Kedua matanya tak sesipit Sandy, agaknya diturunkan dari Bu Lina. Sisanya sama. Meski bukan Aaron Kwok kesan yang Ros dapatkan, melainkan karakter yang lebih dewasa.
“Bik Ida mana?”
Ros tergagap sebelum menjawab, “Di dapur. Saya cuma disuruh nganter itu.” Jempol kanannya menunjuk meja tempat makanan dan minuman ditaruh. Setelahnya dia mengangguk dan berjalan menuju pintu kamar. Dia bisa merasakan tatapan kakak sulung Sandy itu mengamatinya.
Di depan pintu langkahnya terhenti.
“Eh, kata bibik, Koko mau dibuatkan teh panas juga?”
Sudut bibir lelaki itu tersenyum.
“Boleh. Anterin ke sini ya.”
Ros mengangguk. Ia membuka pintu dan bergegas ke luar. Jantungnya tiba-tiba berdentam lebih kencang dan ia takut tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya bila berlama-lama di sana.
Sesampainya di dapur wajahnya masih terasa memanas. Mengapa rasanya kok malu sekali bertemu dengan lelaki tadi?
Ros memegang dadanya. Degupnya masih saja kencang.
[1] Iya