Contents
02.00
Siswa Baru
"Kan udah gue bilang, jangan gegabah, inget resiko bermain mistis. Sekarang liat kan, Ini akibatnya, untung cuma kamar ini, bukan kalian yang porak – poranda,” panjang wejangan Chicco pada ketiga sahabatnya siang itu saat membantu Kanaya merapikan kamarnya, bersama Tasya dan Milly.
“Iya, iya, gue salah deh, udah ngasih ide bermain jelangkung,” Tasya mengaku salah. “Tapi niat gue kan tadinya baik, mo ngebantuin Aya,”
“Ngebantuin sih ngebantuin tapi jangan yang aneh - aneh juga kale,” Chicco masih mengomel.
“Iyaa maap,"
"Ya udah, sekarang yang penting semua udah berlalu,” Kanaya menengahi.
"Iya, tapi..,” Milly yang sedari tadi diam saja, tiba - tiba menyeletuk. Sambil merapikan pakaian Kanaya yang berserakan di atas tempat tidur, Milly, gadis berambut sebahu, dikuncir satu itu, tampak berpikir – pikir.
“Tapi apa?” Chicco memandang tak sabar.
“Tapi kok bisa si cakep itu..,”
“Devandra maksud lo?”
“Iya, Devandra, sebetulnya dia siapa atau apa?” pertanyaan Milly membuat sahabat – sahabatnya saling berpandangan. Ya, siapa Devandra sebetulnya? Hantu?
Kanaya bergidik, teringat Devandra yang sudah memberinya payung, menghiburnya, begitu lembut menatapnya saat di pemakaman Mama dan Papa, kenapa bisa tiba - tiba berubah menjadi sosok yang begitu mengerikan? Se..Seperti Zombie!?
“Eh, ada yang ngeliat kalung Pentagram itu? Kemarin kan gue simpan di kotak pinsil gue, gak berani gue sentuh,” Kanaya memegang kotak pinsil yang baru saja ditemukannya tercampak hingga ke bawah tempat tidur. Kotak pinsil itu kosong karena isinya masih berserakan di lantai. Chicco mengangkat bahu, sementara Tasya dan Milly menggelengkan kepala, tanda tidak melihat.
“Kalau hilang, ya udah, kita jadi gak repot lagi ngebuangnya kan?,” kata Milly asal bunyi.
"Jangan asal ngomong deh, ini masalah serius!" Tasya mendelik."Kita harus mastiin dulu, ntar kalo masih ada, nongol lagi Devandra...,"
Ketiga gadis itu saling berpandangan, miris memikirkan Devandra yang tadinya sangat mereka puja kini berubah sontak jadi seseorang atau sesuatu yang sangat menakutkan bagi mereka.
Tapi kalung Pentagram itu ternyata bagai hilang ditelan bumi. Hingga lelah mereka mencari, benda menakutkan itu tetap tidak ditemukan. Kanaya berharap tidak terjadi sesuatu yang mengerikan lagi pada mereka, gadis itu kapok, cukup tadi malam saja mereka mengalaminya.
*****
Hari Senin, seperti biasa, keempat sahabat itu masuk sekolah. Tapi keempatnya begitu terkejut saat Bu Meira, wali kelas mereka muncul di kelas dengan seorang siswa baru mengikuti ibu guru itu dari belakang.
"Anak - anak, hari ini kita mendapat teman baru," kata bu Meira sambil menoleh pada siswa baru itu. "Ayo Nak, perkenalkan dirimu,"
"Nama saya Devandra...," siswa baru itu mulai memperkenalkan diri.
"Devandra?!!" Keempat sahabat itu terpana. Tubuh mereka langsung mendingin memandang sosok jangkung yang sedang berdiri canggung di sebelah Bu Meira. Tak peduli teman - teman satu kelas mulai ribut karena terpesona dengan kesempurnaan sosok Devandra. Keempat bersahabat itu justru sangat ketakutan pada Devandra.
"Gimana mungkin?" Tangan Chicco mengepal
"Di - dia kayak ngikutin kita...," Kanaya menoleh pada Tasya yang duduk di belakangnya.
"Ta - tapi dia keliatan baik - baik aja, tangannya masih utuh...," komentar Milly dari kursi sebelah Tasya, membuat sahabat - sahabatnya saling berpandangan. Benar, Devandra yang sedang berdiri di depan kelas, terlihat baik - baik saja, tidak ada yang aneh pada diri pemuda bermata abu - abu itu, tubuhnya utuh, tidak ada yang remuk atau patah, tangannya masih lengkap.
Kanaya tercekat, saat Devandra ternyata diarahkan Bu Meira untuk duduk di sebelahnya, karena memang hanya itu kursi yang masih kosong. Saat duduk, Devandra menoleh sekilas pada Kanaya.
Memang tidak menyapa, tapi pemuda itu tak bisa menyembunyikan sorot mata abu - abunya yang terlihat begitu surprise mengetahui dirinya ternyata sekelas dengan Kanaya, duduk bersebelahan pula. Walau ekspresi itu tak bisa lama tampaknya, alis mata pemuda itu segera terangkat saat melihat betapa gemetarnya tangan Kanaya yang sedang memegang pena, dan betapa pucatnya wajah Kanaya.
"Kenapa?" Tanyanya, singkat tapi cukup membuat Kanaya nyaris terlonjak kaget.
"Si - siapa lo sebenarnya? Ha - hantu ato manusia?" Pertanyaan spontan itu meluncur dari mulut Kanaya. Devandra terlihat seperti tercengang mendengar pertanyaan Kanaya, mata abu - abunya melebar.
Kilauan bandul kalung yang diikat sedemikian rupa pada pergelangan tangan kiri Devandra sontak menyita perhatian Kanaya. Karena bandul kalung itu sangat dikenal baik, tak mungkin ada duanya.
"Ka - kalung pentagram??!!" Kanaya tiba - tiba berdiri panik. "Itu, itu kalung Pentagram...Hilang dari kamar gue, ke - kenapa ada dengan lo? Gimana bisa?"
Sikap Kanaya jelas mengejutkan Bu Meira, sahabat - sahabatnya dan seluruh siswa kelas. Bahkan Devandra pun tampak terkejut, seperti tiba - tiba teringat sesuatu, pemuda itu spontan berusaha menutupi pergelangan tangan kirinya yang terlilit kalung pentagram. Seolah tak suka kalung yang dia jadikan gelang itu terlihat oleh Kanaya.
"Be - berarti lo yang datang ke rumah gue! Iya kan?" Kanaya hampir menjerit histeris saat menanyakannya
"Gue?"
"Malem itu lo datang ke rumah gue, minta dikembaliin kalung pentagram..,"
Anehnya Devandra terlihat kebingungan dibrondong dengan pertanyaan - pertanyaan panik Kanaya. Pemuda bermata abu - abu itu mengangkat alisnya.
"Gue? Datang ke rumah lo malem - malem?" Tanyanya heran. "Rumah lo aja, gue gak tau...,"
"Jangan bohong! Lo bukan manusia! Lo, lo...,"
"Ngomong apa sih lo? Gue apa?"
"Lo setan!"
"Hah?" Devandra akhirnya ikut berdiri, tapi hal itu justru membuat Kanaya tersentak kaget, spontan mundur.
"Stop! Jangan mendekat!!"
"Tu - tunggu, ini pasti ada yang salah...,"
"Pergi lo, pergi!! Aaah!!"
Tak ada yang bisa menahan Kanaya yang berhambur panik keluar kelas. Chicco langsung berdiri, juga Tasya dan Milly. Tak ada yang peduli, walau Bu Meira berteriak memanggil mereka. Ketiga remaja itu ikut menghambur keluar kelas mengejar Kanaya.
"AYAA!! AYAA!!"
Tapi Kanaya seperti telah hilang akal, terus berlari dan berlari menyebrangi halaman sekolah, menuju gerbang keluar. Bagaimana khawatirnya Chiccho bersama Tasya dan Milly berusaha mengejar Kanaya, ternyata ada yang lebih khawatir dan lebih cepat mengejar gadis itu.
"Kanaya! Tunggu, please?!"
"Tidaak! Pergi lo!! Pergi!!" Kanaya bertambah panik saat melihat ada yang berteriak dan mengejarnya dari belakang. Devandra.
Masih belum lupa dari ingatannya, betapa tangan itu lepas, dan belatung – belatung itu...Sesak napas Kanaya, Ya Tuhan!! Bagai buta, Kanaya berlari menyeberangi jalan raya di depan sekolah.
"Awaass!!"
Beberapa orang berteriak memperingatkan Kanaya. Karena dari ujung jalan, sebuah Bis besar muncul dengan kecepatan tinggi melaju bagai hantu yang menakutkan. Tampaknya remnya blong. Sang supir bis seperti tak mampu menghentikan bisnya lagi, saat Kanaya melintas di depannya.
"Aaaah!! Tidaak!!" Kanaya begitu histeris memekik, hingga kehilangan keseimbangan, gadis itu tersungkur di aspal jalan raya.
Roda bis terdengar mendecit - decit mengerikan, klakson begitu menulikan telinga siapapun, membuat Kanaya memejamkan mata pasrah menunggu hantaman bis itu di tubuhnya.
Tapi dalam detik - detik maut yang mengancam, sekelebat sosok menerjang cepat ke tengah jalan raya. Tak sengaja, Kanaya membuka matanya, dan melihat sosok itu, ternyata Devandra! Pemuda itu berdiri tepat di tengah - tengah antara Kanaya dan bis.
Bagaikan sedang dihadapkan dengan adegan slow motion sebuah film horror, gadis itu terpana menyaksikan betapa Devandra merentangkan kedua tangan ke samping seolah menyodorkan tubuhnya untuk menerima hantaman bis itu, menggantikan tubuh Kanaya.
"De - Devandra?" Kanaya tak tau harus berkata apa, gadis itu mendekap mulutnya. Apa yang dia lakukan?
Tapi dilihatnya mata Devandra tampak mendelik begitu mengerikan, menatap bis yang kian mendekat. Warna abu - abu mata yang sedang menatap tajam itu begitu jernih, bahkan terlalu jernih, bagai sudah berubah menjadi warna kristal yang berkilau. Dada pemuda itu terlihat naik - turun karena napasnya memburu cepat. Urat - urat wajahnya tampak begitu menegang, seolah Devandra saat itu sedang berjuang keras melakukan sesuatu yang sangat menguras tenaganya.
Kanaya tak terasa menahan napas, begitu tegang, merasakan waktu bagai membeku untuk beberapa detik, ketika bis tiba - tiba berhenti dengan bunyi berderak - derak mengerikan hanya berjarak beberapa senti dari tubuh Devandra.
Supir bis hanya bisa ternganga, tak mengira bisnya bisa berhenti. Mungkin sama ternganganya dengan para penumpang bis dan orang - orang di sekitar jalan raya yang menyaksikan kejadian itu. Sesaat suasana menjadi sunyi sebelum akhirnya mereka bersorak - sorai ribut mengungkapkan rasa lega, mereka berhamburan ke jalan, menolong Kanaya yang masih terpana, shock menatap Devandra.
Kanaya merasakan sorot mata mengerikan itu perlahan berubah saat Devandra menoleh dan membalas tatapannya. Sorot itu, Kanaya terkesiap, entah kenapa tiba - tiba terlihat begitu sedih.
"Kanaya..," seolah ada yang ingin diucapkan pemuda itu pada Kanaya tapi penuh keraguan. Orang - orang yang berkerumun menolong Kanaya, menghalangi Devandra mendekati gadis itu.
Kanaya menggigit bibir, apa arti semua ini, Tuhan, Devandra nolongin gue! Devandra udah nyelametin nyawa gue dari hantaman bis itu! Ta..Tapi...Ya Tuhan, siapa ato apa dia sebenarnya?
Sementara Devandra tampak begitu pucat karena sangat kelelahan, bagai baru selesai bekerja keras. Sambil masih menatap Kanaya, pemuda itu sibuk mengatur napasnya yang masih terengah - engah, tidak menghiraukan sudah berapa banyak orang yang mengucapkan salut pada tindakan beraninya tadi.