Contents
LENTERA
BAB TIGA
BULAN Juli menjadi bulan yang pahit bagi Lentera Kaluela. Selang tiga minggu telah Lentera lewati, mencari sekolah yang mau menerimanya kembali. Keluarga besar mengetahui apa yang terjadi, namun keluarga besar tidak menyalahkan Lentera, justru mendukung dan meyakini ia tidak bersalah. Keluarga besar juga menyarankan untuk masuk sekolah swasta saja, tapi Lentera tetap pada pendirian pergi ke sekolah negeri. Darma Wiryo, sang Kakek juga menyarankan untuk pindah ke Pontianak sementara, meninggalkan Jakarta hingga hilangnya trauma. Ingin sekali rasanya tinggal di Pontianak menemani Kakek Darma yang sendirian, namun Lentera hanyalah anak remaja tak bisa jauh dan masih membutuhkan sosok Ayah dan Bunda.
Hingga jatuhlah pilihan pada satu sekolah yang cukup jauh dari rumah, sekolah yang asing dan tak pernah terdengar namanya. Yang mana kini Lentera telah berada di depan gerbang sekolah tersebut. Dwi tungkai gadis berbalut seragam pramuka menyusuri gerbang utama, hingga membawanya ke koridor sekolah yang asing untuknya. Tak ada warna disana, semua terkesan biasa. Berbeda dengan sekolah yang sebelumnya. Yang ini, bahkan bisa Lentera nilai sekolah yang kumuh.
Cerita dari kawan-kawan sekolah lama yang masih setia dan mau menemaninya, sekolah itu tak pantas untuk Lentera yang penuh prestasi dan berbakat. Tapi, apalah daya, sekolah incarannya sudah tak menerima siswa baru meski berada di tahun ajaran baru. Hadirnya mengundang tatapan penasaran para siswa yang bersekolah, berbisik tentang dirinya, ada pula yang menatapnya tak suka. Lentera menundukan kepala dalam-dalam selama berjalan.
“Eh, eh, itu siswa pindahannya?”
“Oh ya, betul dia orangnya! Cantik, sih, tapi sifatnya jelek? Masa jadi tukang palak?”
“Cantik-cantik, kok jadi tukang palak? Malu-maluin!”
“Orang tuanya pasti malu, makanya dipindahin kesini!”
“Tuhan, kok, bisa dia pindah ke sekolah kita? Takut banyak korban!”
“Kira-kira ada yang mau berteman sama dia nggak, ya?”
“Siapa juga yang mau temenan sama bocah sifatnya kayak preman? Hahahaha!”
Tak menyangka dirinya disambut oleh hal yang tidak mengenakan hati. Bagaimana mereka tahu? Sekolah ini jauh dari sekolah lama, bagaimana gosip itu sampai disini? Diam-diam tangan mengepal kuat hingga buku-buku jari membiru. Bisikan-bisikan kasar memekakan telinga, jua satu julukan yang tak sepantasnya untuk bocah kelas dua SMP itu terima terdengar olehnya. Jelas, ia bukan anak yang suka meminta atau merampas sesuatu yang bukan haknya secara paksa. Ia bukan tukang palak. Namun, apalah guna penjelasan untuk mereka? Bahkan saat kejadian ia tak diberi kesempatan. Gosip miring bertebaran, hingga sekolah yang ternyata jauh dari lingkungan sekolah lamanya. Wajah merona panas sebab bisikan-bisikan tak mengenakan telinga, Lentera hanya bisa diam, menunduk lebih dalam, enggan menatap kawan-kawannya. Ini hari pertama menjadi siswa baru di sekolah yang jauh dari yang ia impikan. Jauh dari rumah, tak ada murid yang ia kenal, terlebih ia terpaksa pindah ke sekolah yang dicap tak baik oleh kalangan orang tua.
Tiba di suatu ruangan, ruang kepala sekolah. Tak seperti biasanya, kini irama jantungnya berdegup kencang 'tuk menghadap kepala sekolah sendirian. Ia tarik napas panjang berkali-kali, satu, dua, bahkan tiga kali sebelum memasuki ruangan. Kuasanya kemudian mengetuk pintu. Samar-samar ia mendengar jawaban untuknya mempersilakan masuk. Kemudian Lentera membuka pintu dan langsung menyeruak bau asap rokok. Sontak ia menutup hidung begitu terasa sesak, “silakan masuk.” Ucap wanita paruh baya yang mengisi ruangan.
“Maaf, Bu, saya Lentera Kaluela, anak baru itu…” Ucapnya lirih sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan, tak lupa ia tutup pintu sebelum masuk lebih dalam, “mohon maaf saya agak terlambat, bu.” Setelah menutup pintu, kedua matanya bertemu dengan sosok wanita paruh baya dengan rambut yang telah memutih.
Kacamata bertengger disana, sebatang rokok terselip pada jemari wanita paruh baya tersebut, “oh, ya, ya, hampir lupa—tunggu sebentar, ya.” Sebelum mempersilahkan Lentera duduk, wanita itu menyesap rokoknya satu kali lagi dan mematikannya pada asbak disana. “Ah, ya, Lentera. Anak pindahan itu, ya. Duduk dulu, nak, sebentar saya ambilkan beberapa hal untuk kamu.” Lentera mengikuti perintah sang kepala sekolah, duduk di kursi yang sudah tak layak. Di atas meja terdapat nama sang kepala sekolah, ‘Winduri Noor Hayati’. Winduri, mungkin itu nama sang kepala sekolah, batin Lentera bertanya-tanya sembari ia menahan sesak dalam dada sebab kepungan asap rokok masih terjebak dalam ruangan.
Tak lama berselang, Winduri—sang kepala sekolah kembali membawa sebuah amplop coklat kemudian memberikan pada Lentera. “Didalamnya ada jadwal selama satu tahun ajaran, nama guru beserta mata pelajaran yang diajarkan, kemudian ada juga pedoman sekolah yang harus kamu taati. Selain itu…” Winduri menggantungkan kalimatnya, beralih pada bawah meja, kuasanya seperti mengambil sesuatu yang besar. Sebuah plastik besar, berwarna merah berisi buku-buku pelajaran, “ini buku LKS untuk semester ini, kalau buku paket kamu harus pinjam ke perpustakaan, pakai dari sekolah lama juga bisa kalau kamu masih ada. Untuk seragam kamu bisa ambil ke koperasi dan cukup bawa bukti administrasi, lalu—oh, ya, kamu kelas berapa?”
“Kelas delapan, bu.” Jawab Lentera kikuk.
“Oh, ya, kelas delapan. Saat ini kamu masuk ke kelas delapan empat. Sebab kamu pindahan, meski prestasimu tinggi, kamu belum bisa masuk kelas unggulan. Tidak apa-apa, ya? Naik kelas kalau prestasi kamu bertahan, kamu pasti bisa masuk sana.” Lentera mengangguk, ada rasa tak terima sebab ia tak lagi masuk ke dalam kelas unggulan. Namun, bukan masalah yang penting ia harus mengejar impiannya dimanapun ia belajar.
Cukup lama keduanya berbincang, hingga waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan bertepatan dengan bunyi bel tanda masuk dan jam pelajaran pertama, “silakan masuk ke kelas, ya? Perlu saya antar—”
“Nggak perlu, bu, saya bisa sendiri.” Menolak dengan cepat, Lentera segera beranjak dari ruang kepala sekolah. Bukan apa-apa, bau rokok masih terasa menyengat apalagi jika ia harus bersebelahan dengan Winduri, mungkin baunya ikut menempel pada seragam.
Winduri menatapnya dalam, “yakin tidak mau saya antar? Barang kali kita bisa berkeliling sekolah sebentar sebelum—”
“Saya yakin, bu, saya bisa sendiri. Kalau keliling sekolah saya bisa minta kawan kelas saya kalau memang bersedia.”
Winduri mengangguk tanda percaya pada sang muridnya. Dipersilakan Lentera keluar dari ruang kepala sekolah. Begitu keluar, Lentera berpapasan dengan beberapa guru yang lewat membawa buku pada lengannya. Memang sebenarnya sudah memasuk waktunya pelajaran. Lentera kembali menyusuri lorong-lorong sekolah menuju kelas delapan empat yang terpisah gedungnya, kelas yang cukup jauh dari ruang guru dan gedung utama. Dari tempatnya berjalan, ia bisa melihat masih banyak siswa dan siswi berkeliaran di depan ruang kelas. Mungkin masih menunggu guru datang, tapi kenapa harus menunggu dan disuruh?
Tiba di kelas delapan empat, beberapa siswa laki-laki berpakain sama dengannya duduk memperhatikan Lentera dengan tatapan tak suka. Ketika hendak memasuki ruang kelas, tiga gadis sebaya menghadang jalan. Satu dari ketiganya ia kenal, Seruni, kawan dekat Yuventa semasa sekolah dasar, jika ia tak salah ingat. Mereka saling bertatapan, Lentera menatap bingung penuh rasa takut. Sedangkan tiga lainnya menatap sinis tak suka.
“H-hai, Seruni.” Suaranya bergetar saat menyapa Seruni, sedangkan yang disapa menaikan sebelah alis.
“Lo kenal sama dia, Run?” Seruni menggeleng saat salah satu kawannya bertanya, “kok, dia kenal lo?”
“Gokil, seorang Seruni! Pentolan SMP kita dikenal sama tukang palak”
“Mana gue tau, lagipula mana sudi gue kenal sama tukang palak kayak dia kayak dia.” Mendengar ucapan Seruni, kembali Lentera menunduk dalam-dalam. Tawa terdengar memekakan telinga, hingga tiba-tiba saja cairan berbau tak sedap membasahi kepala hingga tubuh Lentera dari belakang. Seragam, tas, kantung berisi buku pelajaran basah dan berbau tak sedap seketika. Hal ini membuat sang gadis terkejut bukan main, jua mengundang tawa siswa-siswi yang melihatnya.
“Oh, jadi ini tukang palak yang disebut-sebut itu?”
“Jadi sekolah kita kedatangan tukang palak, nih? Wah, kok, ke sekolah? Kenapa nggak ke pasar aja sekalian? HAHAHAHA!”
“Heh! Tukang palak! Ngapain lo kesini?” seorang gadis sebaya dengan suara sopran membuka percakapan, itu Seruni “lo tuh nggak seharusnya disini! Lo seharusnya di pasar sana!” Riuh tawa semakin terdengar kencang sebab kalimat terakhir yang terucap. Lentera semakin menundukkan kepala dalam-dalam. Matanya turut terpejam enggan melihat sekitar.
Dua pundaknya kemudian bergetar hebat, sebab tahan emosi dan tangis sedari tadi. Tak lama kemudian bulir air mata jatuh mulai membasahi pipi yang merona tahan malu akibat ejekan kawan.
‘Bunda… Lentera nggak kuat.’ Begitu batin sang gadis berbicara, meraung tak kuat memanggil Ibunda dalam hati paling dalam. Sebuah tangan terjulur, meraih dagu Lentera 'tuk mengangkat wajah. Matanya terbelalak saat pandangan bertemu dengan Seruni yang menatapnya tajam penuh kebencian.
“Idih nangis. Malu-maluin geng preman tukang palak lo! Mana ada tukang palak cengeng, palak itu kuat!” Tangis dalam diamnya Lentera semakin menjadi, “takut, ya? Takut kita laporkan ke…” Wajah Seruni mendekati telinga Lentera yang masih menangis dan masih menggantung kalimatnya, “ke polisi, eh? HAHAHAHA.” Tubuh Lentera terhempas sedikit setelah gadis itu berbicara dan mendorongnya. Siswa-siswi yang melihat semakin keras tawanya terdengar. Lentera memaki dirinya sendiri dalam hati, mengapa ia harus menerima semua ini?
“Kalian,” Suaranya parau sebab tangisnya, “kalian kalau nggak tau apa-apa lebih baik diam.” Lentera berusaha berbicara meski masih menundukkan kepala. Para siswa dan siswi menyorakinya, begitupun Seruni yang kembali mendekati Lentera. Surai hitam Lentera ia tarik membuat kepala gadis itu menengadah ke atas, “s-sakit!” Rintih Lentera.
“Apa lo bilang?”
“Aku bilang, kalau kalian nggak tau apa–apa, tutup mulut nggak berguna kalian! Aku bukan maling seperti yang Yuventa bilang.”
“Berani lo ngomong kayak gitu! Lo sendiri juga sama!” Ucap Seruni keras, “Asal lo tau, semua murid di sekolah ini, bahkan guru-guru disini, udah tau kalau lo tukang palak!” Seruni memekik tepat di hadapan wajah sang gadis yang kini masih merintih sakit.
Seruni yang jelas tubuhnya lebih tinggi dari Lentera, sekuat tenaga menghempaskan dirinya hingga jatuh tersungkur ke lantai koridor kelas yang basah, “kalau sukanya malak, ya akui aja, jangan sok polos lo!” Lentera mengaduh sakit begitu tubuhnya mendarat di lantai, plastik berisi bukunya turut jatuh dan berserakan. Semakin keras tawa yang terdengar meremehkan Lentera.
“Orang tua lo nggak berhasil mendidik anaknya! Atau orang tua lo—”
“CUKUP!” Seruan Lentera cukup membuat para siswa-siswi terpekik, “kalian nggak usah bawa-bawa Ayah sama Bunda, kalian juga nggak tau bagaimana aku sebenarnya!” Sakit hati Lentera ketika mereka membawa kedua orang tuanya. Dengan sekuat tenaga, Lentera bangkit tanpa peduli barangnya yang terjatuh. Pandangan remeh tertuju pada sang gadis, pandangan yang menyakitkan, “sejak awal nggak ada yang mau dengar penjelasan aku. Aku bukan tukang palak! Aku bahkan nggak sudi melakukan hal tidak terpuji kayak gitu!”
“Huuuuu!”
“Ngelak lo, sok polos!”
“Cantik-cantik tukang palak, gedenya mau jadi apa?!”
Entah disini atau disana, Lentera bahkan tak dapat kesempatan sedetikpun untuk menjelaskan. Tak mau menyangkal, ia yakin sahabatnya lah dalang dari semuanya—meskipun menurut hatinya jauh lebih dalam Yuventa orang baik.
“Ada apa ini ramai-ramai?!” Sorakan benci yang dilemparkan untuk Lentera seketika terhenti begitu seorang guru dengan suara mezzo soprannya membentak, “masuk ke kelas kalian!” Semuanya berhamburan meninggalkan kerumunan dan segera memasuki ruang kelas masing-masing, meski sampai disana mereka tetap mencuri pandang melalui jendela. Tak terkecuali Lentera yang berusaha merapikan buku yang berserakan seraya menghentikan tangis saat guru tersebut mendekatinya. “Kamu kenapa nangis? Disini kenapa kotor? Baju kamu juga kenapa basah dan bau? Kamu ini niat sekolah nggak, sih!” Suaranya meninggi, sontak Lentera bergidik ngeri dibuatnya.
“Maaf, bu…” Hanya kata itu yang dapat diucapkan. Sejujurnya, ia terkejut dengan reaksi sang guru perempuan. Padahal terlihat jelas bahwa Lentera mendapat perundungan dari siswa-siswinya.
“Kamu murid pindahan itu?” Lentera mengangguk menjawab pertanyaan sang guru, tatapan guru itu meremehkan sang gadis, “saya wali kelas kamu, Delima. Sana bersihkan diri sampai bersih, setelah itu bersihkan lantai, lalu masuk ke kelas.”
“Baik, bu Delima.” Lentera bergegas menuju toilet setelah mendapat perintah guna membersihkan diri. Entah apa cairan tak sedap membasahi dirinya ini. Lentera kemudian membersihkan diri setibanya di toilet sekolah. Sabun cuci tangan ia gunakan untuk membersihkan diri, seadanya. Sembari berkaca, bulir air mata masih turun perlahan satu persatu dari pelupuk mata. Ia usap dengan kasar, ia harus menahan, ia yakin ini tak akan lama.
Seragamnya terlihat sangat lusuh, namun setidaknya bau tak sedap sedikit lenyap dari tubuh. Lentera menatap wajah yang sendu pada cermin, bila saja tak ada kejadian itu, mungkin ia tak seperti ini, bernasib buruk. Pindahnya sebab permintaan sekolah lama, merasa terganggu dengan gosip miring yang ada. Lentera dengan berat hati menuruti, meski bukan salah sang gadis. “Harus sampai kapan aku kayak gini?” Monolognya. Kembali ia berpikir dan dalam hati ia berkata, Yuventa lah yang berulah. Siapa lagi? Yang terlibat hanya mereka berdua, kan?
Lentera masih menatap wajah sendu pada cermin toilet sekolah, masih mengeringkan rambut dan seragam dengan tissue. Nasib, tak ada gurat senyum indah yang selalu ia layangkan pada semua orang. Sejujurnya ia tak tahu awal bagaimana Yuventa bisa menuduhnya mengambil uang dalam jumlah besar. Sungguh ia tidak pernah melakukannya, apalagi kepada sahabatnya. Jika ditelisik kembali, orang tua Yuventa memang sangat menekan Yuventa untuk mendapat peringkat satu, Yuventa pun adalah anak yang pernah mau kalah.
Sesekali Lentera berkunjung ke rumah Yuventa, sebatas bermain sebentar atau mengerjakan tugas bersama. Widy—Ibu Yuventa, selalu menatap tak suka Lentera, entah karena apa. Cukup banyak tissue yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut. Kembali ia menatap cermin toilet dengan tatapan nanar. Tampilannya sangat menyedihkan. Ayah dan Bunda mungkin tak merasa kecewa, meski begitu tetaplah dirinya merasa bersalah. Masih terbayang tatapan Delima sang wali kelas barunya, di tambah kawan-kawan barunya.
“Lentera, kamu pasti bisa, ingat prinsip kamu, Ayah dan Bunda. Dimana sekolahnya, selagi prestasi dapat kamu gapai, maka impian juga bisa tercapai.” Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, sekali lagi ia basuh wajahnya dengan air mengalir disana. Hidung, mata, pipi semuanya merah sebab tangisnya yang cukup lama. Sekali lagi ia tatap wajahnya, ia menggurat senyum tipis yakinkan diri sendiri meski rasa takut masih terus menyelimuti. Lentera mengepalkan tangan memberi semangat pada bayangan. Sungguh ia tak meminta belas kasihan, ia hanya ingin kembali hidup tenang dan damai.
Segera Lentera meraih tas sekolah dan keluar dari toilet. Dengan langkah penuh yakin, ia beranjak kembali ke ruang kelas meski dengan seragam lusuh, yang tak layak bergabung selama kegiatan belajar. Tak masalah dengan keadaan, yang jelas Lentera bertekad bulat membalas semua yang mereka berikan, layaknya membalaskan dendam. Sempat terbesit satu pilihan selain bertahan, pergi dari sekolah tanpa sepengetahuan orang tua. Namun, tentu saja tak akan gadis itu lakukan. Lagipula tak juga memberi keuntungan. Meski badai rintangan menghantam, menggapai impian yang paling utama dibenaknya.