Contents
Sempurna Harmoni
PERPISAHAN YANG MENYAKITKAN
SEJAK hari itu, kehidupan mereka bagai berada di neraka. Rendra yang diteror oleh ketakutan dan kekhawatiran yang dibuat oleh pikirannya sendiri, lanjut mengirimkan teror itu kepada Alya. Sepanjang dan selogis apapun kalimat penyemangat dari Alya, tidak berarti apapun bagi Rendra. Mimpi yang telah mereka rangkai bersama, tidak lagi diingat oleh Rendra. Pikiran Rendra telah tertutupi oleh keegoisannya. Dan yang membuat Alya semakin menderita adalah dia tidak sanggup menyadarkan Rendra.
Sampai pada puncaknya, di hari ke delapan Rendra bekerja, Alya yang telah lelah untuk menanggapi sikap kekanak-kanakan Rendra, tiba-tiba dikagetkan oleh kabar dari Dani. Dia menceritakan pada Alya bahwa Rendra telah mengajukan surat resign dan berencana untuk pulang kembali ke kota asal mereka.
“Assalamualaikum Al.”
“Waalaikumsalam Dan, apa kabar? Tumben kamu telepon.”
“Baik Al alhamdulillah. aku ada kabar yang penting Al, makanya aku telepon kamu.”
Alya yang mulai mengerti arah pembicaraan mereka, menebak bahwa pembicaraan selanjutnya adalah tentang Rendra.
“Iya Al, kemarin Rendra telepon sama aku lama banget. Dia cerita kalau neneknya meninggal. Dan... dia langsung ngajukan surat resign malam itu juga.”
Demi mendengar itu semua, Alya bagai disambar petir di siang hari. Dia tidak menyangka Rendra berani mengambil tindakan sejauh ini. Dani pun mengambil jeda beberapa detik sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Aku tahu Al hubungan kalian sedang nggak baik-baik aja sekarang. Ehm...saranku jangan memutus komunikasi seperti kemarin, komunikasikan semuanya baik-baik ya.”
“Iya Dan, terima kasih ya.”
“Dan...tolong ngertiin Rendra ya Al, dari nada bicaranya dia terdengar sedang nggak baik-baik saja.”
“Iya Dan.” Jawab Alya sembari memutus sambungan teleponnya.
Memangnya yang sedang tidak baik-baik saja hanya Rendra? Saat ini dirinya juga sangat tidak baik-baik saja. Keluh Alya dalam hati.
***
SEHARIAN ini Alya mengurung diri di kamar. Berulang kali Kinanti mengetuk pintu mengingatkan untuk makan, tetapi Alya tidak bergeming. Alya tetap meringkuk di bawah selimutnya, menangisi keputusan Rendra secara sepihak.
Alya tak mengira, Rendra yang tak pernah berkata tidak atas semua yang Alya katakan, meski itu hanya omong kosong sekalipun, untuk pertama kalinya berkata tidak. Dia melakukan itu pada sesuatu yang sangat penting bagi mereka, pada janji masa depan yang telah mereka ikat. Alya sungguh merasa kesal pada Rendra, dan dia menjadi semakin kesal ketika menyadari dirinya tak bisa berbuat apa-apa.
Rendra
Maafkan aku sudah mengecewakanmu Al.
Aku mohon mengertilah kondisiku yang berat ini.
Aku yakin kamu sudah diberi tahu Dani.
Aku hanya ingin pulang Al, bertemu mendiang nenekku,
Bertemu keluargaku, dan bertemu kamu.
Lalu aku akan kembali mencari pekerjaan lagi yang lebih dari ini.
Aku mohon beri aku kesempatan Al, kamu percaya kan sama aku?
Setelah membaca pesan dari Rendra, Alya semakin tenggelam dalam kesedihan dan air mata. Tangisan Alya bagai tak dapat berhenti dengan sendirinya, dia seperti menguras habis seluruh cadangan air matanya hari ini.
Malamnya, Rendra memberi kabar pada Alya bahwa dia telah sampai di terminal kota asal mereka. Setelah itu Alya segera menelepon Rendra.
“Assalamualaikum,” ucap Rendra dengan suara yang terdengar memilukan.
“Waalaikumsalam,” jawab Alya singkat. Dan dingin tentu saja.
“Akhirnya aku bisa denger suaramu lagi Al, aku kangen banget sama kamu.”
Tedengar sekali nada suara Rendra begetar demi mengungkapkan keleegaannya mendengar suara Alya lagi setelah gadis itu tidak mempedulikannya selama dua puluh empat jam terakhir. Tetapi Alya hanya diam, hanya hela napas satu sama lain yang terdengar. Alya membutuhkan jeda sekian detik untuk menanggapi kalimat Rendra.
“Innalillahi Wainnailaihi Rajiun, aku turut berduka cita untuk nenekmu.”
“Sekarang kamu sudah ngerti posisiku kan Al?” tanya Rendra.
Nada suara Rendra terdengar begitu menyedihkan, ingin rasanya Alya memeluknya untuk menguatkan, tapi di sisi lain dirinya juga kecewa dan marah pada lelaki itu.
“Akan kujemput di terminal.”
“Makasih ya Al, aku sayang kamu.”
Seketika hati Alya semakin perih mendengar kata itu dari mulut Rendra.
***
ALYA melihat Rendra duduk di kursi ruang tunggu terminal yang sama saat dia berangkat seminggu yang lalu. Rendra duduk termenung menatap kosong koper yang ada di hadapannya. Alya merasakan dejavu. Hatinya perih bagai diiris sembilu. Rendra telah hampir empat tahun mengisi hari-harinya, membawa bahagia, juga duka yang sebelumnya selalu berhasil mereka lewati bersama. Namun kali ini duka yang dibawa Rendra belum pernah dihadirkan untuknya. Dan Alya tak tahu apakah mereka sanggup melewatinya.
“Maafkan aku Al.” Rendra menundukkan kepalanya saat mereka berdua telah bertemu. Rendra meminta maaf tanpa berani melihat ke dalam mata gadis yang amat dicintainya itu.
“Ayo kita segera menuju rumahmu,” ucap Alya tetap dengan nada yang dingin.
Alya merasakan sakit ketika tidak mempedulikan Rendra, tetapi di sisi lain hatinya jauh lebih sakit jika harus terpaksa mempedulikannya.
Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mereka berdua. Tidak ada sambutan yang hangat dari Alya, tidak ada kata-kata manja yang selalu Rendra ucapkan seperti biasanya jika mereka lama tidak bertemu. Pun tidak ada pelukan menguatkan supaya Rendra tabah atas apa yang terjadi dengan mendiang neneknya. Alya berubah menjadi monster sedingin gunung es.
***
SESAMPAINYA di rumah bercat oranye muda itu, mereka segera turun dari mobil. Alya sama sekali tidak membantu Rendra membawa barang-barangnya ke dalam rumah. Alya hanya diam mematung di teras rumah Rendra. Setelah Rendra selesai memasukkan barang-barangnya dan berganti pakaian, Rendra mengajak Alya ke rumah neneknya. Alya hanya menuruti semua perkataan Rendra, mengikutinya ke mana pun dia pergi, tanpa berkata apapun.
Di rumah neneknya yang rindang, telah banyak tetangga dan keluarganya berkumpul. Neneknya telah selesai dikebumikan kemarin. Namun hari ini sampai seminggu ke depan, rumah ini akan terus ramai dikunjungi oleh kerabat mendiang neneknya. Semuanya punya satu tujuan yang sama, mendoakan sang nenek supaya dipermudah jalannya di alam kehidupan yang lain.
“Kamu mau masuk juga Al?” tanya Rendra.
Alya hanya menganggukkan kepalanya sambil melihat Rendra hanya sepersekian detik. Dan perih itu kembali terasa.
***
SELAMA seminggu ini, mereka melewati hari tanpa berkirim pesan sama sekali. Alya yang biasanya bersemangat mengikuti kelas tambahan untuk mencari kerja, saat ini kegiatannya hanya mengurung diri di kamar. Sementara Rendra juga tidak jauh berbeda, dia merasa dihantui dengan ketakutannya yang tidak nyata terhadap dunia pekerjaan yang masih baru pertama kali ditemuinya, ditambah lagi trauma akan kehilangannya yang muncul kembali sejak neneknya tiba-tiba pergi.
Rendra
Maukah kamu bertemu denganku?
Alya
Iya, di mana?
Rendra
Di tempat favorit kita jam 4 sore. Aku tunggu.
Rendra masih saja menyebut kata ‘kita’ setelah apa yang dia lakukan. Tanpa disadari air mata Alya kembali menerobos keluar dari ujung matanya.
***
Pukul empat kurang lima menit, Alya memarkirkan mobilnya di pelataran parkir tempat makan favorit mereka berdua. Dia segera turun dari mobilnya dan melangkahkan kakinya pada jalanan setapak yang terbuat dari batu alam, yang sengaja dipotong dan dipasang berantakan.
Aroma harum roti yang baru saja diangkat dari oven langsung tercium, begitu Alya memasuki bangunan dua lantai bergaya santorini yang saat ini sedang hits di kalangan home decor enthusiast. Cat yang didominasi nuansa hijau tosca dan putih membuat kesan santorininya semakin terasa. Dia berbelok menaiki anak tangga yang di samping kirinya bergantungan lampu-lampu kristal minimalis yang juga berwana putih.
Alya pun sekelebat mengingat momen saat pertama kali mengunjungi cafe ini. Alya merajuk pada Rendra, bahwa dia ingin rumah mereka nantinya didesain persis seperti cafe ini. Supaya terasa seperti di santorini setiap hari, ocehnya kala itu. Dan Rendra seperti biasa, selalu setuju apapun yang Alya katakan.
Alya kembali merasa kesal, dia mendongakkan kepalanya, menatap lampu yang ada di langit-langit cafe –untuk mencegah air matanya menerobos keluar. Mengapa Rendra justru tidak setuju pada sesuatu yang sangat penting untuk masa depan mereka. Rendra seakan lupa terhadap janji masa depan yang telah mereka sepakati bersama.
Saat ini Alya telah sampai di lantai dua. Dia melihat Rendra duduk di tempat favoritnya. Di samping jendela kaca yang menghadap ke jalan raya. Alya ingat dulu ketika duduk di tempat itu, mereka sering menghitung berapa jumlah kendaraan yang lewat. Sangat tidak penting memang. Namun mereka menyukainya dan begitu bahagia pada saat itu. Alya merindukan momen itu. Dia merindukan momen yang bisa menyatukan mereka berdua.
Rendra tersenyum pada Alya. Di tangannya tergenggam matcha milkshake yang tidak disukainya. Dulu Rendra selalu melihat Alya dengan jijik menggemaskan ketika dirinya meminum matcha milkshake, minuman favoritnya. Alya tahu betul Rendra benar-benar membenci minuman itu, tetapi kini dia justru meminumnya.
“Kamu sudah datang Al. Jam empat tepat. Seperti kamu yang biasanya,” ujar Rendra sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.
Alya hanya tersenyum getir sambil melihat Rendra sekilas, lelaki itu tampak lebih kurus dari biasanya. Wajah yang biasanya bersih tanpa bulu halus di sekitar dagu, kini nampak lebat dan menyiratkan kesan tak terurus. Kantung matanya terlihat lebih menghitam sejak terakhir kali Alya melihat Rendra terakhir kali di terminal. Alya tak pernah membayangkan Rendra yang biasanya selalu tampil rapi, bisa terlihat seberantakan ini.
“Aku rasa penilaianku salah tentang minuman ini. Ini terasa sangat enak. Kamu punya selera yang bagus,” ucap Rendra mencoba berbasa-basi setelah Alya duduk di hadapannya. Alya hanya mengangguk kecil, tanpa melihat Rendra. Dia memanggil pelayan dan memesan es teh untuk mendinginkan hati dan pikirannya, berada di depan Rendra setelah sekian lama.
“Kamu bisa lihat sendiri kan aku sampai menghabiskan dua gelas,” ucap Rendra lagi setelah pelayan yang mencatat pesanan Alya pergi dari meja mereka.
Rendra terus berusaha untuk memandang mata Alya, sedangkan Alya terus berusaha untuk menghindari tatapan Rendra. Alya terus melihat ke arah jalan raya, dia mencoba menghitung kendaraan yang lewat bersama pikirannya sendiri.
“Aku kangen banget sama kamu Al,” ucap Rendra akhirnya membuka pembicaraan setelah lima menit mereka hanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing.
“Aku nggak bisa begini terus, aku butuh kamu yang selalu mendukungku, kamu yang selalu ada di pihakku. Seperti kamu yang biasanya Al,” tambahnya kini dengan nada yang mulai menampakkan rasa frustasi.
Dengan terus menatap Alya yang menoleh ke arah jendela Rendra mulai meminta maaf karena mengecewakan gadis yang amat dicintainya itu. “Aku minta maaf nggak bisa menepati janji masa depan yang sudah kita rangkai bersama. Aku minta maaf sekali untuk itu.” Rendra menarik napas panjang, bersiap melanjutkan kalimatnya yang mungkin tedengar berat bagi Alya.
“Tapi apa bekerja di sana menjadi satu-satunya cara untuk mewujudkan mimpi kita Al? Sehingga aku harus terus berusaha bertahan meskipun aku sendiri merasa nggak mampu untuk melakukannya?”
“Ada banyak cara lain Al. Ada berjuta-juta pekerjaan lain di luar sana yang bisa kudapatkan dengan mudah, yang bisa mengantarkan kita mewujudkan mimpi kita tentunya.”
Rendra menatap Alya kelu, memohon pengertian dari gadis yang sangat kokoh dengan pendiriannya itu. “Aku sama sekali nggak pernah lupa Al sama semua yang kamu katakan. Tapi aku mohon nggak dengan bekerja di sana. Aku hanya butuh waktu untuk sembuh dari kondisi ini. Aku benci kehilangan Al, kamu tahu betul itu. Aku janji akan cari kerjaan lain setelah aku benar-benar berhasil bangkit dari kondisi ini.” Rendra berjanji untuk yang kesekian kali.
Rendra benar-benar frustasi setelah seluruh penjelasannya tidak ditanggapi oleh Alya. “Al...Aku mohon jawab aku.”
“Apakah kamu ingin menyudahi semua ini Al?“ tanya Rendra akhirnya, setelah Alya hanya menunduk dan membisu selama setengah jam mereka bertemu.
Alya melepaskan pandangannya dari arah jendela, menundukkan kepalanya menatap meja. Nampak jelas gadis itu terisak. Rendra yang mengerti benar maksud dari gesture Alya, sekalipun gadis itu tidak berbicara sepatah kata pun, segera berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai.
Hari itu sempurna kelabu. Di hari yang tidak pernah bisa mereka lupakan sepanjang sisa hidup mereka, sepasang kekasih yang masih saling mencintai itu terpaksa harus berpisah demi tidak lagi saling menyakiti. Demi untuk tidak lagi saling memohon pengertian satu sama lain.