Contents
(TAMAT) Kalau Cinta, Jangan Bohong!
Episode Baru
Risty, Nora dan Carol berkumpul di kantin saat pulang sekolah. Risty sudah cerita kenapa Cassie sampai tidak masuk hari ini.
“Cassie pasti benci sama gue. Gue jadi ngerasa bersalah banget,” kata Risty dengan sedih.
“Nggak mungkin, Ris. Mungkin kemarin itu, Cassie lagi emosi. Wajar aja dia marah-marah,” ujar Nora mencoba menenangkan Risty.
“Iya, Ris. Nora benar. Cassie nggak mungkin benci sama lo,” tambah Carol.
Risty mengambil tas-nya. “Ya udah, gue mau pulang.”
“Yuk!”
Mereka bertiga berjalan menuju gerbang. Sesampainya di gerbang, mereka melihat Leon tegak di post satpam. Mereka pun menghampiri Leon.
“Leon?” sapa Risty.
Leon menoleh. “Gue mau bicara berdua sama lo, Ris!”
Risty menoleh ke arah Carol dan Nora yang hanya mengangguk. Risty dan Leon berjalan agak menjauh dari mereka.
“Lo mau ngomong apa?”
Leon menatapnya dengan tajam. “Lo ember banget, ya? Lo cerita ke Levon dan Cassie tentang perasaan gue?”
“Lo kok marah sama gue? Bukan salah gue, dong! Lo pikir enak, nyimpan rahasia lama-lama? Lagian lo tahu dari mana?” berondong Risty dengan berbagai pertanyaan.
Leon menghela napas. “Cassie di rumah gue. Semalam gue tahu dari Kak Levon.”
“Cassie di rumah lo?” tanya Risty dengan kening mengkerut. “Kok bisa?”
“Habis dari rumah Kak Nadia, Kak Levon yang bawa dia ke rumah. Katanya sih dia gak mau pulang dulu.”
Risty mengangguk mengerti. “Lalu, lo ngomong berdua sama dia?”
Leon mengangguk.
Risty tersenyum. “Sikat aja, Leon! Mumpung udah jomblo.”
Mata Leon melotot seketika. “Lo pikir makanan? Pakai sikat-sikat segala. Lagian dia baru putus dari Dava dan gue nggak mau jadi pelarian. Emang lo kira dia suka sama gue?”
“Ih, lo tuh galak banget, ya? Sifat lo yang ini yang harus lo ubah. Bisa jantungan si Cassie kalo lo galak terus menerus.”
“Lo kalau ngomong dipikirin dulu kenapa? Sifat lo yang ini juga harus lo ubah. Bisa jantungan temen-temen lo, kalo lo ember begitu,” balas Leon.
“Ngapain lo ke sini kalo cuma marah-marah? Pergi sana!” usir Risty.
“Cewek ember!”
“Cowok galak!”
Mereka berdua saling membelakangi dan masing-masing melangkah pergi. Risty kembali ke Carol dan Nora dengan tampang masam. Carol dan Nora hanya bisa saling pandang, lalu menaikkan bahu mereka.
“Habis ngomong apaan?” tanya Nora.
“Datang buat marah-marah aja. Gue udah bad mood, dibuat tambah bad mood pula. Rasanya pengen gue gampar tuh orang!”
“Kenapa emangnya?”
“Dia marah karena gue kasih tahu perasaan dia ke Cassie. Harusnya dia terima kasih sama gue. Kalo bukan karena gue yang kasih tahu, dia nggak mungkin bisa deket dan ngobrol sama Cassie,” omel Risty.
“Ha? Jadi Leon pernah naksir Cassie?” tanya Carol yang diangguki Risty. “Udah lah, Ris! Lo aja yang bikin diri lo sendiri jadi bad mood gitu,” kata Carol.
“Hai, cewek-cewek cantik!” sapa Bayu yang baru turun dari mobil.
“Ngapain lo ke sini?” bentak Risty.
“Galak bener! Ya mau jemput lo. Ngapain lagi? Mejeng? Lupa lo nggak bawa mobil?”
“Ya udah. Yuk!”
Bayu menoleh ke arah Carol dan Nora. “Mau ikut nggak?”
“Nggak usah, Kak. Nora nunggu Rian selesai basket,” jawab Nora.
“Lo?” tanya Bayu ke Carol.
Carol menggeleng. Padahal ia mau banget. Kapan lagi bisa dianter Bayu. Bayu yang nawarin pula. “Kan berlawanan arah, Kak.”
“Nggak masalah. Dari pada lo nungguin angkot? Udah kesiangan banget malah.”
“Ikut aja, Car! Gue nggak apa-apa, kok,” kata Risty. “Asal, Kak Bayu anterin Risty pulang dulu.”
“Nggak masalah. Yuk, ikut!”
Carol menoleh ke arah Nora. “Lo nggak apa-apa nunggu sendiri?”
Nora menggeleng sambil tersenyum. Akhirnya Carol memutuskan untuk ikut. Carol tahu, kedua temannya berusaha membantu ia dekat dengan Bayu.
Setelah menurunkan Risty terlebih dahulu, Bayu meminta Carol pindah ke depan. Bukan main senangnya Carol, walau agak canggung.
“Rumah lo masih yang dulu?” tanya Bayu.
“Kakak masih ingat?”
Bayu tertawa. “Ingat. Dulu gue kan berniat ngejar Cindy. Eh, udah keduluan,” jawab Bayu yang membuat Carol cukup sedih. “Oh ya, Cindy apa kabarnya? Sudah menikah, kan?”
“Sudah,” jawab Carol pendek.
Bayu mengangguk-angguk. “Udah punya anak? Berapa? Cowok atau cewek?”
“Baru satu. Anak cewek.”
“Wah, pasti secakep kakak lo, ya?”
Carol menggeleng. “Anaknya lebih mirip suaminya.”
“Oh!” komentar Bayu pendek. “Eh, lo kelihatannya nggak bersemangat? Lagi sakit, ya? Tadi baik-baik aja, deh.”
“Nggak apa-apa, Kak. Cuma kecapean aja,” jawabnya pelan.
“Mau berhenti di warung buat beli obat? Wajah lo pucat.”
Carol gelagapan. “Nggak perlu, Kak. Ini capek biasa, kok. Ntar tinggal tidur juga udah hilang sakitnya.”
Bayu mengangguk lagi. Tampaknya ia memang tak sadar kalau Carol sedih. Bayu pun mengerem mobilnya tepat di depan pagar rumah Carol.
“Terima kasih ya, Kak. Maaf ngerepotin.”
Bayu tersenyum. “Nggak apa-apa. Lo tidur gih, supaya capeknya hilang.”
Carol mengangguk. Ia pun turun dari mobil Bayu dan melambaikan tangannya. Setelah mobil Bayu menghilang dari pandangannya, Carol melangkah pergi ke arah lain.
***
Levon mengajak Cassie jalan-jalan di mall. Hitung-hitung menghibur Cassie yang memang masih terlihat sedih. Levon membawa Cassie bermain di Time Zone. Levon sengaja membeli banyak koin dan membiarkan Cassie memuaskan dirinya bermain dengan permainan memukul kepala Buaya yang menyembul.
Tak hanya itu aja. Levon membelikan sebuah burger jumbo yang segera ludes dalam beberapa waktu aja oleh Cassie. Levon melongo dan sedetik kemudian ia tertawa geli melihat tingkah Cassie. Dengan sabar pula ia menemani kemanapun yang Cassie inginkan.
“Lev, thanks ya udah hibur gue hari ini. Lega rasanya.”
“Baguslah kalau begitu. Gue senang kalau lo seperti ini terus.”
Cassie tersenyum malu-malu. “Ya udah, gue mau pulang aja. Gue udah puas banget.”
Sialnya mereka malah berpapasan dengan Nadia dan Dava. Untuk sesaat kedua pasangan itu terdiam. Cassie sendiri malas melihat wajah mereka berdua. Ia pun menarik tangan Levon untuk berlalu dari sana.
“Cas, tunggu!” cegah Dava yang membuat Nadia menoleh ke arahnya dengan kaget.
“Apa?” tanya Cassie tanpa menoleh.
Dava menarik Cassie agak menjauh dari Levon dan Nadia.
“Aku bisa jelasin semua ini!”
“Aku udah bilang, aku nggak butuh. Aku juga nggak mau lihat kamu lagi. Aku benci sama kamu, Va.”
“Kamu boleh nampar aku, kamu boleh pukul aku. Tapi, tolong kamu jangan benci sama aku. Semua yang kamu pikirkan itu salah. Aku bahkan nggak tahu apa yang udah aku lakuin ke Nadia.”
“Cukup!” seru Cassie hendak melangkah pergi.
Dava menahan lengan Cassie. “Cas, aku hanya sayang sama kamu. Kamu harus pecaya itu. Oke, aku memang salah. Aku akui itu. Tapi sumpah aku nggak tahu apa yang udah aku lakukan.”
“Aku nggak butuh kata-kata manismu. Tolong jangan dekati aku lagi! Kita udah nggak ada hubungan apa-apa!” tegas Cassie. Ia berbalik dan menarik Levon pergi.
Levon menatap Cassie yang mati-matian menahan air matanya. Ia sengaja tak menjalankan mobilnya.
“Nangis aja. Nggak apa-apa.”
“Boleh meluk gue?” tanyanya dengan suara serak.
Levon tak menjawab, namun ia memeluk Cassie yang kembali terisak. Rasanya ia juga merasakan sakit yang sama seperti Cassie. Tidak ada sepatah katapun dari bibir mereka. Cassie masih menangis, sementara Levon mencoba menghibur.
Ketika tangisannya mereda, Cassie melepaskan pelukannya. “Lev, thanks banget lo selalu ada buat gue. Selalu sabar hadapin gue. Padahal gue tahu lo sebenarnya juga sedih dan sakit.”
“Nggak masalah, Cas. Gue nggak apa-apa. Udah lama gue merelakan dia.”
“Gue janji nggak akan repotin lo terus.”
Levon menaikkan satu alisnya. “Maksud lo? Lo nggak mau ketemu gue lagi?”
Cassie menggeleng. “Semalam gue berpikir, gue udah sering banget nyusahin lo. Gangguin lo. Gue tahu lo juga sakit,tapi lo selalu sabar dengerin keluh kesah gue. Gue minta maaf.”
Levon meraih wajah Cassie. Ia meneliti wajah Cassie lalu tersenyum. “Jangan pernah berpikir lo ngerepotin gue, Cas. Gue nggak terganggu. Jadi tolong jangan bicara seperti itu lagi. Oke?” Cassie hanya mengangguk-angguk. “Ya udah, gue antar lo pulang sekarang.”
“Iya.”
Selama perjalanan tak ada satupun yang memulai obrolan. Ketika sampai di rumah Cassie, Levon menemukan Cassie tertidur pulas. Levon tersenyum dan kembali meneliti wajah Cassie sejenak.
Karena tak mau membangunkan Cassie, Levon berinisiatif untuk menggendongnya ke dalam rumah.
“Cassie kenapa, Levon?” tanya Mama Cassie panik.
“Nggak apa-apa, Tante. Cassie hanya ketiduran. Kamarnya di mana?”
Dengan segera Mama Cassie membuka pintu kamar Cassie. Dengan pelan Levon membaringkan Cassie ke kasurnya. Tak lupa ia menyelimuti Cassie.
“Tante, Cassie udah nggak apa-apa. Biarkan aja dia beristirahat dulu.”
“Terima kasih Levon. Tante nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu.”
Levon tersenyum. “Sama-sama, Tante. Kalau begitu Levon pamit dulu. Sampai jumpa, Tante.”
“Iya, hati-hati, Nak.”
***
Bel rumah Levon berbunyi. Levon yang sedang menonton di ruang tv, langsung bangkit dan membuka pintu. Melihat siapa yang datang, membuat darahnya mendidih.
“Mau apa lo ke sini?” tanya Levon dingin.
“Levon, gue butuh bantuan lo!Bantu gue jelasin ke Cassie, kalau apa yang dia pikirkan itu salah.” Levon hanya tersenyum sinis menanggapinya. “Gue mohon sama lo. Gue tahu lo marah sama gue. Gue benar-benar nggak bermaksud merebut Nadia dari lo. Lo tahu gue nggak pernah mencintai Nadia. Gue terpaksa harus bertanggung jawab. Lo tahu itu, kan?”
Levon mengepalkan tangannya. Tatapannya semakin sinis terhadap Dava yang masih merasa tak bersalah sama sekali.
“Gue menikah sama Nadia hanya sampai anak itu lahir. Setelah itu gue akan menceraikan Nadia...”
Mendengar hal itu, Levon tak bisa lagi menahan emosinya. Ia melayangkan sebuah pukulan ke wajah Dava hingga Dava jatuh tersungkur dan dari sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.
“Bisa-bisanya lo bicara seperti itu? Lo tega sama Nadia dan anak lo sendiri? Lo benar-benar nggak punya perasaan, Dava. Lo gila!” seru Levon.
Dava mencoba bangkit. “Gue nggak bisa ninggalin Cassie. Yang gue cintai cuma Cassie.”
“Lo bilang lo cinta sama Cassie? Tapi, apa yang lo perbuat? Lo bukan hanya nyakitin Cassie. Lo bikin penantian dia sia-sia sama lo. Lo nggak pernah tahu bagaimana Cassie selalu membanggakan lo, menelan semua kekecewaannya sama lo. Kemudian lo datang dengan kabar menyakitkan ini. Sekarang lo minta gue bantu lo jelasin ke Cassie?”
“Nadia ngejebak gue, Lev!” teriak Dava.“Malam itu dia memaksa ketemu sama gue. Dia memaksa gue ke tempatnya. Sambil menangis dia bilang dia berantem hebat sama lo dan lo mutusin dia. Setelah itu gue nggak tahu apa-apa lagi dan semuanya terjadi.”
Levon mencoba mencerna kata-kata Dava. “Gue berantem hebat sama dia? Justru dia mutusin gue dan bilang kalau kalian sudah berhubungan. Sekarang siapa yang harus gue percaya, hah?”
“Gue sumpah, Lev! Gue nggak bohong sama lo. Lo tahu jelas bagaimana perasaan gue ke Cassie dan Nadia. Gue memang salah. Tapi, Cassie harus tahu bahwa gue nggak pernah sekalipun berniat khianatin dia.”
Levon merasa kepalanya berputar. Ia tak menyangka Nadia yang ia cintai melakukan ini terhadapnya, bahkan terhadap sepupunya sendiri.
“Gue nggak minta apa-apa, Lev. Gue hanya dia mau ketemu sama gue sekali aja. Setelah itu gue nggak akan menganggunya lagi. Dan ini terakhir kalinya gue minta bantuan dari lo. Tolong.”
Levon menghela napas. “Gue nggak bisa janji, tapi gue akan coba.”
Tampak wajah Dava terlihat lega. “Thanks, Levon.”
Levon tak menjawab. Dava berbalik dan melangkah pergi sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
***
Suasana makan malam di rumah Cassie tampak sunyi. Cassie seolah tak peduli dengan mamanya yang sedari tadi meliriknya.
“Cas, tambah lagi, ya!” pintabeliau saat melihat piring Cassie sudah bersih.
“Cassie udah kenyang,” Cassie bangkit dari duduknya dan melangkah pergi.
Mama Cassie ikut berdiri dan menahan tangan Cassie. “Cassie, Mama minta maaf. Mama tahu kalau Mama salah. Tapi kamu jangan diamin Mama seperti ini. Mama minta maaf,” ujar mamanya sambil menangis.
Mendengar tangisan mamanya, mau tak mau hatinya luluh juga. Ia berbalik memeluk mamanya dan menangis.
“Mama minta maaf, sayang,” kata beliau sambil membelai rambutnya.
“Cassie hanya sedih karena mama nggak jujur sama Cassie. Cassie ngerti kalau Mama memberitahu tentang pertunangan mereka, hanya akan membuat Cassie sedih. Tapi, Cassie jauh lebih sedih kalau Mama nggak jujur sama Cassie.”
“Asal kamu tahu, Cas. Mama juga marah. Mama marah sama Nadia dan Dava. Kalau Mama jadi kamu, mungkin Mama juga akan marah.”
Cassie melepaskan pelukannya. “Ma, mulai saat ini Cassie akan jadi Cassie yang baru. Cassie akan kuat dan tegar. Levon udah nyadarin Cassie. Cassie bukannya nggak pantas untuk Dava. Tapi Dava yang nggak pantas untuk Cassie.”
Mama Cassie menghapus air matanya dan tersenyum. “Mama berterima kasih sama Tuhan, karena udah ngirim orang yang baik seperti Levon. Mm... Mama rasa Levon suka sama kamu.”
“Hah?” wajah Cassie memerah dengan sendirinya.
“Kamu tertidur di mobilnya. Dia nggak membangunkanmu, malah menggendongmu sampai ke kamar. Kalau dia nggak suka sama kamu, nggak mungkin dia mau melakukan hal ini.”
“Serius? Dia yang gendong Cassie? Cassie pikir dia meminta bantuan Pak Dudi.”
“Sekarang kamu telepon dia dan bilang terima kasih.”
“Iya, Ma. Tapi... Cassie nggak punya nomor teleponnya,” jawab Cassie yang membuat mamanya melongo.
“Kok bisa?”
“Nggak apa-apa, nanti biar Cassie minta sama Kak Bayu aja. Cassie ke atas dulu, ya.”
“Iya.”
Sesampainya di kamar, Cassie segera menyambar ponselnya untuk menelepon Risty. Baru aja dering pertama, Risty langsung menjawab panggilannya.
“Cas? Cassie? Beneran lo nelpon gue? Gue minta maaf sama lo, Cas. Lo nggak marah sama gue, kan?” Risty langsung memberondong Cassie dengan berbagai pertanyaan yang membuat Cassie hampir tertawa.
“Ris, gue yang harus minta maaf sama lo. Gue tahu maksud kalian baik, kok. Gue yang salah udah marahin lo tanpa sebab.”
“Gue pikir lo udah nggak mau sahabatan sama gue lagi. Lo nggak ada kabar apapun sampai gue, Carol dan Nora jadi khawatir sama lo.”
“Gue baik-baik aja, Ris. Gue... gue nginap di tempat Levon.”
“Leon udah cerita kok, Cas. Dia marah-marah karena gue buka rahasia dia.”
Cassie tersenyum. “Tapi ada bagusnya, kok. Gue jadi bisa ngobrol sama dia.”
“Wah, baguslah, Cas. Oh ya, lo ada keperluan apa?”
Cassie menepuk jidatnya. Hampir aja ia lupa tujuannya menelepon Risty. “Ah iya, lo boleh tolongin gue nggak?”
“Apa, Cas? Bilang aja?”
“Mm... tapi janji lo jangan ketawain gue.”
“Apaan, sih? Oke, gue janji.”
Cassie meragukan janji Risty. Pasti Risty akan menertawakan kebodohannya selama ini. “Mm... Gue udah temenan lama nih sama Levon. Tapi, gue nggak punya nomor teleponnya. Gue pengen terima kasih sama dia karena udah nolongin gue. Jadi bisa lo mintain ke Kak Bayu?”
Hening sejenak. Sedetik kemudian tawa Risty pecah hingga Cassie menggigit bibirnya menahan kesal.
“Tuh kan? Ketawa?” gerutu Cassie.
“Sorry... habisnya lo aneh sih, Cas. Masa udah temenan selama ini, bahkan sudah sering bareng, lo nggak punya nomor dia? Apalagi ponselnya pernah ketinggalan di rumah lo.”
“Ih, mana berani gue buka-buka ponsel orang? Itu kan privasi.”
“Privasi sih privasi, tapi bisa kepencet sms ceweknya ke dia.”
“Itu nggak sengaja! Lo mau bantuin gue nggak sih?”
“Iya, iya. Gue tanyain Kak Bayu. Nanti gue share ke lo nomornya.”
“Thanks ya, Ris.”
“No problem. Bye.”
Cassie tersenyum. Dia yakin Risty adalah informan tercepat dari pada mata-mata. Dan terbukti. Baru satu menit Cassie mengakhiri pembicaraannya dengan Risty, Risty sudah mengirimkan nomor Levon lengkap dengan pin bbm Levon. Setelah mengucapkan terima kasih, Cassie segera menyimpan nomor Levon dan meneleponnya. Sayang sekali nomornya tak aktif. Akhirnya Cassie memberanikan dirinya untuk meng-invite bbm Levon.
***