Contents
Biru Berderai
Bab 1 Tragedi Subuh
Kakinya memakai sandal jepit, warna biru di kaki kanan dan sebelah kiri warna merah. Satu ukuran 9, satunya 9 ½. Seketika tangannya menepuk jidat. Anak mesjid bakal ngomel-ngomel. Baru juga kemarin beli sejumlah sandal jepit baru, subuh-subuh 2 pasang sudah diusili.
“Mbak, kamu yang sama pasien barusan?” tanya seorang perawat perempuan. Pertanyaannya membuat gadis itu mengangkat muka dari sandal beda pasangannya.
Dia mengangguk. “Gimana, Sus? Harus operasi?” dia bertanya beruntun dengan gugup.
“Tidak perlu. Sudah dijahit sedikit. Tapi disarankan untuk rontgen ya. Tolong diurus administrasinya,” terang mbak perawat.
“Sadar dia, Sus? Bisa diajak ngomong? Misal diomelin gitu boleh?” dia memberondongkan pertanyaan lain.
Mbak perawat menarik nafas sepelan angin sepoi subuh hari. “Temannya mbak sadar. Tapi baiknya dibiarkan istirahat dulu. Masih ada efek biusnya. Silakan ke pendaftaran dahulu untuk mengurus administrasi dan didaftarkan tindakan selanjutnya, Mbak.”
Dia menegakkan diri dari dinding yang sedari tadi disandari. Sedikit cemberut, dia menjawab, “Saya nih nanti yang tanggung jawab atas semua tindakan yang dia terima? Anak orang itu, Sus.”
“Kalau begitu telepon keluarganya saja, Mbak. Biar nyusul ke rumah sakit dan urus administrasinya,” saran mbak perawat masih sesejuk embun.
“Boro-boro urus administrasi, Sus. Angkat telepon saya saja belum tentu mau. Anak orang nggak jelas dia mah,” sungutnya. Dia menghela nafas. “Ya, sudah, biar saya yang jadi wali dia. Asal nggak suruh jadi wali nikahnya ajalah.”
Perawat di depannya mengerjapkan mata. Gadis itu hanya mengedikkan bahu. Dia berjalan meninggalkan ruang gawat darurat menuju lorong yang mengarah ke tempat pendaftaran. Ketika dia membuka pintu, dia menarik ponsel dari saku jaket.
Seseorang berteriak, “Inbi!”
Dia bergegas masuk kembali ke ruang gawat darurat. Tergopoh-gopoh menghampiri salah satu sekatan tirai hijau. Hampir lepas tirai ditariknya. Perawat yang tadi bicara dengannya menyusul di belakang. Lebih tenang, tapi lebih siaga.
“Lo jangan telpon nyokap gua! Awas kalau sampai lo telpon dia. Sana bayar mendoan yang gua makan di kantin,” seru gadis lain di atas tempat tidur.
Gadis pertama, Inbi, menarik nafas dalam-dalam. Dia menoleh pada perawat, “Tuh, kan, Sus, bius lokal aja kayak gini. Saran saya sih, ditambahi obat penenang. Anaknya masokis,” bisiknya. Dia ganti menoleh ke temannya. “Lu, nasibmu di tanganku. Kalau aku nggak mau tanda tangan tindakan dokter, mati dah kamu. Sekarang, kamu diem dan tidur. Nomor ibumu kan udah kamu hapus dari ponselku. Diem, Nak.”
Inbi menepuk pelan lengan sehat Lulu. Lantas meninggalkan sisi tempat tidur. Tirai dibenahi. Dia berbisik meminta maaf pada pasien lain dan keluarga mereka. Berbisik minta maaf pada petugas medis yang terang-terangan juga mengamatinya.
Cepat-cepat dia menuju tempat pendaftaran. Dari pada ada yang menyadari kalau sandalnya tertukar juga. Sebelum Lulu juga berteriak tidak jelas lagi. Lebih cepat diurus berkas, lebih cepat kegilaan anak itu ditangani.
**
“Temannya?” tanya dokter muda yang berjaga sejak semalam.
Perawat itu mengiyakan. “Harusnya sama saya suruh bersih-bersih ya, Dok? Itu dia kena darah banyak gitu. Syok pasti mbaknya,” ujarnya.
Dokter berhenti menulis laporan. “Habis ini saja. Mana ada dia bawa baju ganti. Suruh saja pulang dulu sama ambil keperluan pasien. Rawat inap tiga hari paling tidak.”
“Jatuhnya gimana ya, Dok? Sampai robek sana sini gitu. Apa jangan-jangan berkelahi? Masih bau alcohol pasiennya,” sahut perawat.
“Ih, Mbak, ada-ada saja. Mana ada cewek berkelahi gitu, mabuk sekali pun. Tadi kan sudah dibilang jatuh dari tangga. Udah, terima aja,” timpal dokter.
Perawat mengangguk. Dia menoleh ke arah deretan tempat tidur yang di batasi tirai. “Asli orang siapa yang tahu, Dok. Kata-kata mereka berdua saja aneh.”
Dokter yang berdiri di meja konter itu menggeleng pelan. “Satunya pasien berkadar alcohol plus habis dikasih obat bius. Satunya syok bawa temannya luka sendirian ke rumah sakit lho, Mbak.”
“Iya sih, Dok.”
“Sandalnya saja sampai ketuker.”
“Apa, Dok?”
Dokter hanya menggoyangkan kepala. Dia meneruskan menulis laporannya sebelum jam jaganya berakhir. Nanti kalau rekan kerjanya sudah datang, bisa dengan cepat dia menyerahkan kendali.
Namun dia menyunggingkan senyum. Teringat teman pasien barusan. Berikut sandalnya yang beda warna. Mungkin gaya jaman sekarang begitu. Tapi, ukurannya juga beda. Ah, mana mungkin tidak syok kalau mendapati temannya kecelakaan subuh-subuh begini. Mana dia sadar dan temannya masih pengar begitu.
**
Inbi membopong tas laundry bergambar helokiti merah muda. Isinya baju, selimut, handuk, dan entah barang apa lagi yang dia ambil dari kamar kost Lulu. Dia sendiri sudah mengganti pakaiannya. Sekali pun badannya masih gemetaran dan sedikit lemas.
Tadi selesai mendaftarkan Lulu, baru disadari kalau badannya gemetar luar biasa. Kedua tangannya sampai berkeringat dingin. Apa lagi kakinya lunglai.
Ah, dia juga sudah mengembalikan sandal mesjid kampus dan memakai sepatunya. Penampilannya sudah lebih manusiawi dari pada awal mengantar kedaruratan tadi.
Ditaruhnya tas itu di bawah tempat tidur Lulu. Anak itu masih pulas dalam tidur. Masih pula di UGD menunggu kamar rawatnya siap. Lantas Inbi duduk di kursi seraya mengatur nafas.
“Ngapain lo?” celetuk Lulu. Dia melebarkan mata tiba-tiba.
“Nyantai, nunggu kang bubur lewat,” kata Inbi sekenanya.
Lulu mengerutkan dahi. Dia jadi mengernyit. “Sialan, sakit badan gua. Di mana ini?”
Inbi menyingkap tirai. Ruangan UGD jadi terlihat. “Hotel dekat kampus. Tadi subuh kamu tak seret kemari. Haus?”
“Sialan! Gua kepleset tahu nggak sih. Bocor nih kepala gua?” keluh Lulu.
“Bukannya dari dulu?” seloroh Inbi.
Lulu tampak ingin melemparkan sesuatu, tapi apa daya. Satu jari saja dia terlihat kesulitan untuk menggerakkannya. Anak itu menghembuskan nafas berat. Kemudian memilih mengunci mulut.
“Baru juga mau tiduran di mesjid, aku dengar suara gedobragan. Terus kamu teriak. Ya aku buru-buru naik lagi. Lha kok kamu udah di bawah, semampir di pegangan tangga. Kepala sama lengan kamu berdarah-darah. Mana anak-anak udah pada cabut,” terang Inbi.
Kalau kejadian tadi diulangi, dia tidak yakin bakal kuat menggendong Lulu menuju motor di parkiran. Atau mengendarai motor dengan kecepatan menyaingi Valentin Rosi sambil menyeimbangkan Lulu di punggungnya. Kasihan juga kan kalau Lulu harus jatuh lagi. Yah, tidak perlu dipikirkan yang sudah terlewati memang.
Lulu membuka matanya lagi. “Habis gua capek banget, Bi. Makasih ya udah bawa gua ke rumah sakit. Lo nggak papa kan?” ujarnya pelan.
“Secara fisik aku belum merasakan gejala signifikan. Cuma udah mulai ngantuk lagi sama rada pegel. Kalau secara psikis, kayaknya masih di awang-awang nih,” beritahu Inbi apa adanya. Dia mengenyakkan punggung ke sandaran kursi yang tidak ada nyamannya. Kayak kursi makan, bukan kursi santai.
Tirai sekat dibuka lebih lebar. Perawat tadi mendatangi dengan seorang rekannya. “Mbak, pindah ke ruang rawat ya? Nanti jam 10 rontgennya,” kata perawat.
“Ya, Sus. Dah bawa saja ini anak orang. Saya susul lima belas menit lagi. Mau tidur sebentar saya,” sahut Inbi seraya bangun dari kursi. Dia menyeret tas keluar dari UGD.
Ditujunya deretan kursi ruang tunggu. Duduk dengan bunyi keras. Dilihatnya dua perawat tadi membawa tempat tidur beserta Lulu keluar dari UGD. Mereka menuju ruang rawat yang nanti Inbi bisa tanya namanya. Tujuannya sekarang adalah tidur.
**
Sekalipun jam jaga sudah selesai, dokter itu tak segera pulang. Padahal sudah serah terima laporan. Sudah bawa tas dan kunci motor. Malah berjalan melipir ke arah UGD lagi. Kakinya kurang bimbingan.
Namun langkahnya terhenti begitu saja. Pandangannya tertuju pada gadis yang memakai jaket hitam yang tudungnya menutupi kepala belakang. Selembar kain motif polkadot menutupi muka bawah. Satu kakinya ditaruh di atas tas plastik merah muda. Dia sudah memakai sepatu kets tanpa kaos kaki. Ujung celana jins longgar panjangnya robek-robek.
“Dok,” sebuah panggilan mengagetkannya.
Dia berjingkat menjauh dari deretan kursi tunggu. Dahi mengernyit ke arah salah satu perawat yang berdiri dengan mata memicing. “Kenapa, Bu?” herannya pada perawat senior itu.
“Belum pulang?” selidik perawat senior.
“Ini..., ini mau pulang,” ujarnya. Dia berdeham. Punggung diluruskan. “Duluan, ya, Bu. Sampai ketemu lagi,” pamitnya kemudian.
Mata perawat masih memicing. Sekejap melirik ke satu-satunya orang yang ada di kursi tunggu. “Ya, Dok. Hati-hati di jalan,” balasnya. Lantas pergi.
Dia menghembuskan nafas lega. Hendak mengelus dada, tapi urung. Dia kan tidak berbuat apa-apa. Kenapa rasanya seperti habis ketahuan melakukan hal yang tidak pantas? Ah, dia terlalu lelah hari ini.
Krang! Suara kursi besi mengagetkannya untuk yang kedua kali. Dia bahkan sampai melompat dari titik tempatnya berdiri. Dielusnya dada yang berdebar sambil menoleh ke sumber suara.
Gadis itu berdiri menghadap kursi. Tangannya menarik tas dengan serampangan. Tampak bicara sendiri dengan pelan tapi cepat. Kain polkadotnya jatuh di samping tas. Diambil dengan segera, meleset hingga menimbulkan suara gaduh kursi besi lagi. Kemudian menyeret tas merah mudanya ke arah koridor.
**
“Satu kamar tiga orang?” ulang Inbi pada perawat jaga di bangsal yang ditempati Lulu. Dia mengucek mata. “Jadi ada tempat buat yang jagain kan, Sus? Capek banget saya. Rasanya kayak habis manggul semen 10 zak. 400 kilo, Sus. Bayangin. Anak itu kalau pas sadar emang cuma 45 kilo. Tapi, pas pingsan, aduh. Pacarnya aja suka ngeluh kalau tuh anak minta gendong. Boleh nggak sih kalau pegel dikasih itu yang ditempel panas-panas, Sus?”
Perawat itu mengerjapkan mata. Tampak menarik kedua sisi bibir dengan kaku. “Istirahat dulu saja, Mbak. Nanti kami yang antar pasien untuk ke lab. Punggungnya dikasih koyo nggak apa-apa.”
Inbi terangguk-angguk. “Makasih, Sus. Saya masuk dulu ya. Kamar nomor 406 kan? Ada pasien lain di sana, Sus? Takut ganggu soalnya. Kadang ngigau tuh anak.”
“Ada satu pasien lain, Mbak. Tolong dijaga ketenangannya ya.”
“Iya, Sus. Saya usahakan. Ya, tapi namanya manusia bisanya berusaha ya, Sus. Nanti kalau temen saya masih ada gangguin pasien lain, saya beliin beliau sama keluarganya bakso deh semangkok.” Inbi mengusap tengkuk. Dia merinding entah kenapa.
“Sedang diet sebelum operasi, Mbak, pasiennya. Saling jaga saja.”
Inbi mengerucutkan bibir. Kepalanya dianggukkan seperti boneka dashboard mobil. Langkahnya gontai menuju kamar 406. Tas helokiti tidak lagi diseret, melainkan dibopong.
Pelan-pelan dibukanya pintu kamar. Suara engsel berkeriut. Perlu diminyaki, pikir Inbi seraya masuk. Dengan lebih pelan, ditutupnya pintu kembali. Berjalan jinjit, Inbi menuju ujung kamar.
Tempat tidur paling dekat pintu tirainya ditutup sekeliling. Tak ada suara, hanya dengkur lembut. Tempat tidur di tengah terbuka, tanpa ada pasien. Di ujung, tirainya tidak rapat.
“Haus gua, Bi,” ujar Lulu ketika Inbi menaruh tas.
Inbi pun mengambilkan segelas air putih dari meja. Dibantunya Lulu minum dengan sedotan. “Ada lagi yang kamu perlukan?” tanya Inbi menaruh kembali gelas ke meja.
“Udah, Bi. Mau tidur lagi. Lo juga tidur deh. Mata lo dah nyaingin panda.”
“Jangan berisik. Pasien sebelah mau operasi. Kalau sampai kamu bikin ribut, aku telpon Abe sekarang juga,” ancam Inbi.
Lulu meringis. “Harusnya emang lo telpon Abe segera. Mending cowok gua yang ngurus gua. Jadi lo bisa istirahat di rumah.”
Inbi tak menggubris. Dia menggelar kantong tidur. “Hari ini dia lagi rapat BEM deh. Habis ini kukirim pesan saja. Beneran aku mau tidur dulu. Dah, kamu juga diem aja ya. Tenang seperti bayi yang selesai minum susu..” Dia memasuki kantong tidur dan langsung memejamkan mata.
“Bi, lo yakin mau di kost sendiri?” tanya Lulu hati-hati.
“Istirahat, Lulu. Kenapa malah bahas kost. Beneran, deh. Tidur dulu ah. Siapa tahu bangun-bangun ada pangeran ganteng di depanku,” jawab Inbi.
“Pangeran berjas putih gitu, Bi?”
Inbi hanya menggumam iya. Kedua kelopak matanya sudah berat. Seperti lampu yang perlahan meredup. Ah, bukan, seperti PC tidak pakai UPS, lalu listrik mati tiba-tiba.
Tak berapa lama, Inbi terbangun. Meskipun bukan pangeran yang membuatnya bangun, dia tidak berkecil hati. Gadis itu melipat kantong tidur lantas memberi jalan pada perawat yang hendak membawa Lulu menuju ruang lab. Tak ada tenaga untuk mengikuti mereka. Inbi memilih terenyak di kursi.
Bahunya turun. Dipeluknya kantong tidur yang terlipat. Bau rumput dicampur pembersih lantai samar-samar tercium. Bukan lagi aroma pinus dan humus. Dia menghela nafas.
Dikeluarkannya ponsel dari tas. Pesan singkat dikirimkan ke Abe, pacar Lulu. Diberitahukan bahwa Lulu terlalu capek lembur sampai terjatuh di tangga. Minus salah satu fakta bahwa sorenya anak itu sempat menegak bir kalengan.
Kalau Abe sampai tahu, yah, jangan lah. Urusan mereka berdua saja. Berulang kali Inbi turut melarang Lulu saja tak digubris. Cuma satu teguk katanya. Satu tegukan saja sudah membuat kepalanya bocor. Mungkin kali ini tanpa perlu dimarahi Abe atau dirinya, Lulu bisa kapok dan berhenti minum.