Try new experience
with our app

INSTALL

ARMADILLO 

CHAPTER #4 – TENTANG RAKA

Akhirnya, di sinilah Disa sekarang, berada di pinggir lapangan voli. Halaman SMA Bina Harapan memang luas, punya lapangan voli dan basket yang berdampingan. Kalau berjalan sekitar dua puluh meter, kalian akan menemukan lapangan bola yang rumputnya hijau sekali.

Mata Disa sibuk memperhatikan beberapa orang yang sudah berada di tengah lapangan voli. Dia pun melangkah ke tengah lapangan untuk bergabung. Disa berjalan dengan santai, tidak memperhatikan sekitarnya, tiba-tiba sebuah bola basket terpental ke arahnya. Dia sempat melihat ada seseorang yang lewat tapi tidak memperhatikan wajahnya. Orang itu menarik tangannya dengan cepat sehingga dia lolos dari benturan bola basket yang tertuju ke arahnya.

Disa mengangkat kepalanya, dan terkejut begitu tahu bahwa orang yang menariknya itu adalah Raka. Begitu tersadar, Raka langsung melepas tangannya itu dengan kasar. Tapi Disa menarik tangan Raka, dia berniat menyalaminya untuk berterima kasih. Ini kedua kalinya Raka menolongnya dan Disa tidak bisa menahan luapan hatinya yang begitu bangga dan senang mendapat pertolongan dari Raka.

“Jangan sentuh gue!” Raka menepis tangan Disa dengan kasar hingga membuat tubuh Disa yang mungil itu sedikit terhuyung ke belakang.

Dari sudut lapangan terlihat Farhan berlari menghampiri mereka. Mencoba menenangkan Raka yang kini menatap Disa dengan tajam. Disa menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata Raka saat ini. Dia sadar, tindakannya barusan salah. Tapi dia hanya bermaksud untuk mengucapkan terima kasih. Hatinya begitu senang karena lagi-lagi ditolong oleh cowok yang sedang dia sukai sampai lupa kalau Farhan pernah memberitahunya, bahwa Raka benci disentuh oleh siapapun.

“Ma... maaf, gue cuma mau ngucapin terima kasih.”

Wajah Disa yang tadinya begitu cerah seperti mentari pagi yang merekah di ufuk timur, berubah sedih. Sungguh dia tidak bermaksud membuat Raka marah. Hatinya sedih karena membuat dirinya terlihat menyebalkan dimata Raka.

Raka melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun kepada cewek itu. Farhan mencoba untuk menghibur Disa, meskipun tidak begitu yakin akan berhasil.

“Jangan sedih. Jarang-jarang lho Raka mau nolongin cewek.” Ucap Farhan sambil menepuk bahu Disa.

Disa tersenyum, “Tolong sampaikan maaf gue ke Raka ya. Bilangin, gue refleks, cuma pengen bilang makasih karena udah nolongin gue dua kali.”

Farhan mengangguk singkat, dan Disa yakin seratus persen Farhan pasti akan menyampaikan itu ke Raka. Sekarang hatinya sedikit lega. Senyumnya kembali merekah menghiasi wajahnya yang manis itu.

***

Raka melepaskan ranselnya dan memakai jaketnya yang berwarna navy itu. Dia duduk di atas motornya, di bawah pohon beringin yang besar, yang berada di halaman parkir sekolah. Dia sedang menunggu Farhan untuk pulang bersama-sama.

Raka melamun, memikirkan tindakannya ke Disa tadi memang sedikit kasar dan keterlaluan. Padahal Disa sudah meminta maaf dengan tulus.

Tiba-tiba dia teringat kejadian saat dia berusia 10 tahun. Saat mamanya meninggal. Saat itu dunianya terasa sedang dijungkirbalikkan. Hatinya masih sesak karena kepergian mamanya, tapi papahnya memutuskan untuk menikah lagi. Belum kering luka kehilangan itu di hatinya, dan belum genap setahun ditinggal orang yang paling penting dalam hidupnya, papahnya sudah menggoreskan luka baru yang membuatnya semakin perih.

Bagaimana tidak, ketika saat itu dengan tiba-tiba papahnya membawa seorang wanita ke dalam rumah dan mengatakan bahwa mereka akan menikah. Wanita yang sebenarnya sudah dia kenal sejak kecil, namun tetap saja, dia tidak ingin ada orang lain yang menggantikan posisi mamanya.

“Aku nggak mau punya mama tiri! Nggak ada yang bisa menggantikan posisi Mama. Sampai kapanpun aku nggak akan merestui kalau Papah menikah lagi, dengan siapapun itu! Termasuk dia.” Protesnya saat itu.

“Raka, dia ini Tante Dinda. Kamu sayang kan sama tante Dinda? Bukannya kamu juga sudah anggap Tante Dinda seperti orangtua kamu sendiri?”

Tatapan Raka saat itu sangat tajam dan matanya merah karena kemarahannya memuncak.

“Aku nggak nyangka Tante Dinda tega mengambil dan menggantikan posisi Mama. Jangan-jangan Tante senang Mama meninggal, iya kan? Ini yang Tante harapkan sejak Mama jatuh sakit. Iya kan, Tante?”

PLAKKK!!! 

Mendengar perkataan Raka itu, papahnya menampar keras pipi Raka. Tidak hanya sampai disitu, karena marah dan menganggap perkataan Raka itu sudah kelewat batas, papahnya menariknya ke dalam kamar, memukul dengan rotan berkali-berkali, mengurungnya dan menguncinya di dalam kamar.

Bukan hanya pipinya yang perih saat itu, tapi hatinya, bahkan seluruh tubuhnya juga turut merasakannya. Bahkan lebih dari rasa sakit di pipinya yang di tampar oleh papahnya. Sejak saat itu, Raka sangat marah dan membenci papahnya. Dia menangis sejadi-jadinya di sudut kamarnya, memeluk lututnya.

Bagaimana pun, kehilangan seorang mama seperti kehilangan semangat hidup dan berjalan seperti tanpa arah. Raka tenggelam dalam kesedihannya. 

“Ma, Raka kangen Mama.” Raka tertunduk, menangis sejadi-jadinya.

Sejak kejadian dipukuli oleh papahnya saat itu, dia berjanji pada dirinya sendiri tidak mengijinkan tubuhnya disentuh sedikitpun oleh papahnya, bahkan orang lain. Karena setiap kali tubuhnya di sentuh oleh papahnya atau orang lain dia akan secara tiba-tiba teringat bagaimana papahnya memukulinya karena seorang wanita, rasa sakit dan perih itu kembali menggerogoti hatinya. Meskipun setelah kejadian itu papahnya menyesal dan meminta maaf, tapi dia sudah terlalu kecewa dan sakit hati. Semua rasa itu membekas dan terus mengikutinya kemanapun dia pergi.

Penderitaannya tidak hanya berhenti sampai disitu. Disekolah, Raka adalah murid yang berprestasi, dia rajin, dan suka menolong teman-temannya yang kesulitan belajar. Tapi ketika teman-temannya mengetahui bahwa papanya menikah lagi, tidak sedikit teman-temannya yang membully dan mengatainya.

Padahal Raka selalu bersikap baik pada mereka, dia selalu ringan tangan membantu mereka dengan tulus. Tapi lihat apa yang mereka lakukan, hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulut mereka mampu membuat Raka lagi-lagi seperti tinggal di dalam ruangan yang gelap, dan meringkuk di sudut ruangan. Sekali lagi, dia semakin menyalahkan dan membenci papahnya.

Raka memang dari keluarga yang bisa dikatakan cukup dikenal. Papanya adalah seorang pengusaha dibidang property yang perusahaannya sudah merambah ke luar negeri. Tidak heran jika berita Papanya menikah lagi itu diketahui banyak orang, karena diberitakan lewat media cetak, media sosial dan televisi.

Untuk sesaat Raka menghela nafas panjang. Mencoba meredam kesedihannya untuk dapat tenang kembali.

Tidak lama kemudian Farhan datang dengan membawa sebotol air mineral ditangannya. Dia menyodorkan air mineral itu ke Raka, “Nih, minum dulu. Biar adem.”

“Hmm...” Raka menerima air mineral itu dari tangan Farhan, membuka tutupnya lalu meminumnya.

“Tadi Disa titip buat nyampein permintaan maafnya. Dia nggak sengaja narik tangan lo, dia cuma pengen nyalamin lo buat ngucapin terima kasih karena udah nolongin dia.”

Raka menarik bibirnya, dan memilih untuk tetap diam. Farhan meliriknya, menunggu Raka bersuara, tapi orang itu masih saja tidak menunjukkan ekspresi apapun.

“Lo dengerin gue ngomong nggak?”

Raka diam seribu bahasa.

“Yaelahh, sahabat sendiri lo kacangin. Tau gitu gue beliin kacang juga tadi sekalian biar gue nggak dikacangin.”

Raka masih menutup mulutnya rapat-rapat, tapi tatapannya kosong.

“Woii, Ka, Rakaaaa!!! Etdahhh, cukup kacang aja kali, yang jadi kacang. Jangan gue juga!” gerutu Farhan gemas.

Raka melirik Farhan sebentar, detik selanjutnya dia melemparkan lagi pandangannya dengan asal. 

Farhan mendengus sebal, “Seharusnya lo nggak perlu bersikap kasar kayak tadi ke Disa. Beruntung dia nggak jatuh karena lo nepis tangannya sekeras itu. Badannya mungil, nggak sebanding dengan kekuatan lo.”

Ucapan Farhan barusan semakin membungkam mulut Raka. Dia mengatupkan bibirnya dengan erat. Pikirannya melayang tapi dia tetap tidak mengatakan apapun.

Farhan frustasi melihat sahabatnya itu, dia mengacak rambutnya sendiri. Dia sudah tidak tahu mau mengatakan apa lagi, akhirnya dia memilih untuk ikut menutup mulutnya rapat-rapat. Yang penting pesan Disa sudah tersampaikan.

Farhan sebenarnya merasa kasihan melihat sahabatnya itu. Dia ingin menolong Raka keluar dari sikap dinginnya itu. Entah mengapa dia yakin bahwa Disa mampu menarik Raka keluar dari sikap cuek dan tidak pedulinya. Selama ini, Farhan memang selalu berada di sisi Raka, tidak pernah sekalipun meninggalkan sahabatnya itu sendirian. 

Dia tidak ingin melihat Raka terus terpuruk dan terkurung di dalam ruangan gelap, yaitu pikirannya sendiri. Dia ingin Raka melihat dunia luar, dan merasakan hangatnya matahari dan sinar terang cahaya bulan. Membuka matanya bahwa diluar sana banyak orang yang menyayanginya dan menantikan senyumnya.