Try new experience
with our app

INSTALL

ARMADILLO 

CHAPTER #3 – IMUT dan LUCU

Malamnya Disa tidak bisa tidur. Sudah berusaha berkali-kali untuk memejamkan matanya, tapi selalu terbayang wajah Raka saat dikantin sekolah tadi. Alis matanya tebal, bulu mata yang lentik, bola matanya cokelat pekat, sama seperti bola matanya, hidung mancung dan bibir yang tipis.

Disa selalu terpesona sendiri setiap kali membayangkan wajah Raka. Sayangnya ketika mendapat kesempatan bisa menatap Raka dari jarak begitu dekat seperti siang tadi, diwajahnya tanpa ekspresi senyum, datar. Tapi tetap saja dimatanya, sosok Raka begitu sempurna bak pangeran, hanya saja minus cuek, dingin dan irit ngomong, sekali ngomong malah ketus dan jutek.

Paginya di sekolah, Disa menahan rasa ngantuk yang luar biasa karena baru berhasil tidur lelap jam dua subuh. Gara-gara wajah Raka yang terus menempel dikepalanya, dia jadi tidak bisa tidur dengan mudah seperti malam-malam biasanya. Andaikan cowok itu mau senyum sedikit saja, mungkin bayang wajah dan senyum Raka bisa jadi pengantar tidur yang sangat indah untuk dirinya.

Ditengah-tengah pelajaran Ibu Marta yang judes, Disa tertidur. Guru mata pelajaran sejarah yang  satu ini killernya bukan main. Suka ngusir murid keluar dari kelas kalau ada yang tidak memperhatikan dia lagi menjelaskan. Diusir dari kelas bukan berarti lepas dari hukuman, tidak tanggung-tanggung hukuman yang diberikan double porsi dari hukuman biasa berdiri didepan kelas. Ibu  Marta selalu menghukum membersihkan toilet yang ada di bagian belakang sekolah lanjut ngepelin koridor arah menuju toilte itu.

Banyak murid-murid yang tidak tahan dengan hukuman itu, karena letak toilet yang dibelakang sekolah itu terlalu sepi dan horor. Meskipun didekatnya ada dua kelas, tetap saja perlu nyali yang besar. Disa bukan cewek yang punya nyali besar untuk menjalankan hukuman itu jika ketangkap basah Ibu Marta.

Sementara Ibu Marta sedang menulis dipapan tulis, Ruri menyikut Disa berkali-kali supaya bangun dari tidurnya. Tapi cewek itu tertidur dengan pulas dan tidak merasakan sikutan Ruri. Ruri jadi agak panik, karena Ibu Marta pasti akan mengusir Disa keluar dari kelas dan menghukumnya kalau sampai ketahuan.

Raka, yang berada tepat dibelakang meja Disa dan Ruri, memperhatikan kejadian itu. Dia merasa terganggu dengan pemandangan didepannya yang membuat konsentrasi belajarnya terganggu.

Ditendangnya kursi Disa, cukup keras hingga membuat tubuh Disa bergerak dan akhirnya bangun dari tidurnya. Ruri langsung menunjuk ke arah Ibu Marta dengan gerakan matanya sebelum Disa menjerit.

"Silahkan dicatat dulu. Ibu mau ke ruang guru sebentar. Jangan berisik!" Perintah Bu Marta.

"Iya, Bu!" Seru murid kelas X-I dengan serentak.

Sepeninggal Ibu Marta ke ruang guru, kelas yang tadinya hening, sunyi, sepi seperti tak berpenghuni, mendadak ramai seperti pasar. Disa memutar tubuhnya ke belakang, matanya lurus menatap mata Raka yang kini juga menatapnya dengan tatapan yang sama seperti kemarin Disa lihat, datar.

"Terima kasih ya!" Ucap Disa dengan penuh ketulusan. Disa menunggu respon Raka, tapi percuma. Raka hanya meliriknya sebentar, lagi-lagi tanpa eskpresi apapun. Dia tidak menyerah.

“Istirahat nanti mau makan bareng nggak? Gue traktir, itung-itung ucapan terima kasih udah nolongin gue barusan.” Disa memulai aksinya.

“Gue ditraktir juga nggak? Cewek manis kayak lo harus dijagain, nggak boleh berdua Raka aja. Raka galak.” Farhan menyahut dengan ekspresi penuh harap dan disambut anggukan berkali-kali dari Disa. Kalau harus mentraktir Farhan juga tidak masalah untuknya, yang penting bisa makan bersama Raka lagi.

Raka menatap Farhan sekilas, tatapan yang dengan jelas bisa Farhan artikan maksudnya ; berisik, bisa diam nggak! 

“Jadi gimana? Mau kan?” Disa menunggu jawaban Raka dengan mata berbinar-binar. Matanya membentuk bulan sabit dan itu membuat wajah Disa terlihat sangat manis, imut dan lucu. Marmut pun kalah imut darinya.

“Gue sibuk.”

“Terus kapan lo nggak sibuk?” Disa memiringkan kepalanya, dia ingin melihat ekspresi diwajah Raka yang sedang sibuk mencatat.

“Nggak tahu!”

Oke, sudah cukup. Dua kali ditolak dalam waktu yang sangat singkat itu cukup memalukan baginya. Beri waktu untuk Raka memikirkan tawarannya lagi. Mungkin saat ini Raka benar-benar sibuk. Siapa tahu besok Raka berubah pikiran dan mau menerima ajakannya.

Ruri yang menyaksikan tontonan secara gratis kejadian penolakan itu hanya bisa menepuk bahu Disa untuk memberikannya sedikit semangat.

***

Ruri menggelengkan kepalanya berkali-kali. Masih tidak habis pikir kalau Disa bisa bertingkah konyol seperti tadi tanpa memandang tempat. Ruri gemas sendiri. Cinta memang bisa membuat orang menjadi konyol, termasuk sohibnya itu. Sudah masuk dalam fase gila juga menurut Ruri. 

“Sepertinya lo bener-bener udah kena peletnya Raka.” Celetuk Ruri begitu melihat Disa masih senyum-senyum sendiri dan mengabaikan sop singkongnya.

“Menurut lo, Raka bakalan mau makan bareng gue nggak?” tanya Disa, masih dengan ekspresi senyum-senyum seperti orang yang kesambet... tunggu, kesambet apa ya. Mimi peri mungkin ya, batin Ruri.

“Mungkin...” sahut Ruri, membuat Disa semakin bersemangat dengan perasaannya. “mungkin kalau Raka lupa ingatan.” Sambung Ruri lalu mendapat sentilan kecil dipipinya dari Disa karena sebal sahabatnya itu tidak pernah membuatnya merasa didukung sepenuhnya.

Ruri mengelus-elus pipinya, lalu terkekeh karena berhasil membuat Disa cemberut. Bahkan Ruri saja selalu merasa sahabatnya itu lucu setiap kali memasang wajah cemberut. Masa sih, Raka tidak tertarik sedikitpun dengan sikap Disa yang hangat itu.

“Menurut lo gue itu gimana?” Disa menunggu jawaban Ruri dengan wajah serius.

“Hmm... Lo itu, imut lucu walau tak terlalu tinggi.” Ruri tidak dapat menahan gelak tawanya.

Disa menyilangkan kedua tangannya di dada, “itu kan lirik lagu.” Sahutnya dengan nada sebal. Tapi memang itu kenyatannya.

Tubuh Disa memang tidak terlalu tinggi, tapi dia imut, lucu dan manis. Yah, masih di bawah deretannya Viona sih. Tapi yang mengejar Disa juga tidak sedikit. Hanya saja sejak awal hatinya sudah berpaut pada Raka seorang, dia tidak peduli dengan surat yang dia temukan tiga atau empat lembar dalam sehari di dalam laci mejanya. Atau cokelat dan bunga mawar yang tiba-tiba ada di atas mejanya.

“Lo itu manis. Buat gue selalu rindu pengen liat wajah lo.” Tebak ini suara siapa? Iya benar. Bimo, kakak kelas yang pernah bentak-bentak dan menghukum Disa.

Disa dan Ruri mendongak bersamaan. Menatap bingung ke pemilik suara yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

“Ceileehh. Sa aee si Kakak ganteng!” Ruri terkikik.

Bimo tersenyum menyeringai, “Berdua aja nih?”

“Nggak, bertiga.”

“Sama siapa?” Bimo menoleh ke sekitarnya, dia tidak menemukan siapa-siapa yang berada didekat Disa dan Ruri selain dirinya.

“Nih sama Kakak yang sok jutek.” Sahut Disa.

Bimo tertawa renyah. Dia menarik ujung rambut Disa karena gemas, membuat Disa protes dan pasang muka sangar. “Ih, bisa nggak jangan narik-narik rambut!”

Bimo tersenyum menatap Disa, senyum termanis yang tidak pernah dia berikan kepada cewek manapun selain mamanya, dan barusan tadi itu ke Disa.

“Jangan lupa pulang sekolah nanti eskul voli perdana buat murid baru.” Ucap Bimo mengingatkan, “harusnya nggak lupa, karena sekarang udah gue ingetin.” Sambungnya lagi.

“Iya, makasih Kak. Nggak lupa kok.” Sahut Disa sambil senyum memamerkan lesung pipinya. Bimo berlalu meninggalkan Disa dan Ruri yang masih mau menghabiskan makan siang mereka.

“Kok Kak Bimo bisa tahu lo ikutan voli?” tanya Ruri penasaran. Sedetik kemudian dia mendapat jawaban sendiri dari hasil pemikirannya, “Ah, iya, kan tiap hari chatingan.” Ruri terkikik dan langsung mendapat pelototan tajam dari Disa.

Disa masih saja selalu merasa sebal setiap kali mengingat awal mula Bimo mendapatkan IDnya. Dan seperti tanpa dosa Ruri pura-pura lupa bahwa dialah biang kerok yang memberikan ID Line-nya itu ke Bimo.

Ruri memang tidak tahan jika sehari saja tidak menggoda sahabatnya itu, meski kerap kali Disa sering melayangkan jitakan ke atas kepalanya. Kadang-kadang jitakan Disa tepat sasaran, kadang-kadang juga gagal karena Ruri berhasil menghindar. Tapi diakhir itu mereka selalu tertawa bersama, melupakan sejenak tugas-tugas yang menumpuk dari guru.

Saat bel jam pelajaran terakhir berbunyi, Ruri sudah langsung pamit lebih dulu ke Disa. Ruri ikut eskul paduan suara. Dia tidak punya bakat apalagi minat dibidang olahraga seperti Disa. Meskipun sudah disogok akan membelikannya komik kalau Ruri mau menemaninya di eskul voli, tetap saja Ruri tidak tergoyahkan.