Try new experience
with our app

INSTALL

PUNDEN DEMIT 

SIARAN PERDANA SANDIWARA RADIO HOROR "RUMAH MERAA"


Kamis, 22 Maret 1984 pukul 6.30, hampir semua peserta ‘Debar’ sudah berkumpul di ruang kerja Ra Nuh berukuran 4x4 meter yang tiba-tiba terasa sempit. Ruangan yang sebelumnya hanya berisi meja kerja, lemari, sofa kecil, dan meja kecil, kini berubah menjadi ramai dengan berbagai hidangan daging, rendang paru, masakan laut dan berbagai macam sayuran, makanan kecil, kue tart, serta berbagai jenis minuman. Ra Nuh dan teman-temannya sibuk menyiapkan makanan. Ra Nuh sendiri menyiapkan piring dan gelas yang dipinjamnya dari Mbak Satime di warung di depan. Ra Nuh juga meminta Mbak Satime untuk menyediakan es batu agar minuman tetap segar. Selain itu, Bram, sahabat Ra Nuh dari bagian teknik, menyiapkan radio terbaik dan pengeras suara yang ada di kantor. Jadi, suasana makan malam sebelum acara 'Debar' malam itu sudah di iringi suara latar radio Studio/4 menemani candatawa mereka yang hangat.


Tidak lama kemudian, Bu Blenda datang ke ruangan Ra Nuh dan bergabung dengan para pegawainya.


"Ra Nuh, saya membawa sesuatu yang pasti kamu suka," sapa Bu Blenda di tengah keramaian ruangan yang sempit. "Wow, ini sangat meriah," tambahnya.


"Asyik, terima kasih banyak, Bu. Sudah mau ikut 'Debar' dengan kami," jawab Ra Nuh sambil menerima puding dingin yang dibawa oleh Bu Blenda. Menik kemudian mengajak Bu Blenda untuk melihat berbagai macam makanan, termasuk rendang kesukaannya. Bu Blenda terlihat senang malam itu dan berbaur dengan para karyawan. Ra Nuh dan Menik memperhatikan momen tersebut, karena Bu Blenda jarang sekali melakukan hal seperti ini.


Sementara teman-teman Ra Nuh menyusun makanan, Menik meminta semuanya untuk berkumpul berdoa bersama. Zeno  memimpin doa serta mempersilahkan Bu Blenda menyendokkan makanan pertama yang akan diberikan kepada Ra Nuh. Ra Nuh menerimanya dengan salam tangan dan kemudian memeluk Bu Blenda sambil berbisik, "Terima kasih, Bu Blenda..." Bu Blenda merangkulnya dengan hangat yang mengingatkan Ra Nuh pada sosok ibunya di Bali. Setelah melepaskan rangkulan Bu Blenda, dia tak kuasa menahan emosi haru nya dan mengalirlah air mata di pipi Ra Nuh.


“Sukses buat kamu,” kata buat Bu Blenda sambil mengusap pipi dari air matanya. Menik ikut merangkul Ra Nuh, dan diikuti yang lainnya bersama-sama. Bu Blenda memandangi senang dengan kekompakan karyawan nya ini.

Setelah Bu Blenda mengatakan, "Ayo, kita makan!" suasana menjadi pecah dan semua orang di ruangan itu menyerbu meja makan, tetapi Menik mengatur agar mereka berbaris antri. Di dalam ruangan, Bu Blenda berbicara dengan Ra Nuh dan Bram.


"Bram, apakah semuanya sudah aman untuk siaran perdana?" tanya Bu Blenda. Ra Nuh memperhatikan Bram dari samping.


"Semua sudah siap untuk Rumah Meraa. Penyiar dan bagian master control sudah siaga di studio. Mereka akan berbincang-bincang dengan para penggemar setengah jam sebelum siaran perdana," jawab Bram.


“Tolong jaga ketat penayangan iklan nya,” ujar Bu Blenda.


“Sudah aman. Urutan penyiaran iklan sudah diatur. Dan kekuatan pemancar sudah dibesarkan juga,” jawab Bram


"Bagus! Mari makan," kata Bu Blenda sambil memukul pundak Bram dan menarik tangan Ra Nuh untuk mengambil piring.


Bu Blenda, Ra Nuh, Menik, dan Bram menikmati makanan sambil berdiri dan berdiskusi berempat. Mereka membicarakan berbagai hal, baik urusan dalam maupun luar kantor, dan sesekali tertawa. Tanpa terasa, suara penyiar menyapa para pendengar yang sudah bersiap-siap untuk mendengarkan siaran perdana Rumah Meraa. Hal ini telah direncanakan oleh Bram untuk mengingatkan pendengar agar bersiap-siap sebelum pukul 8 malam.


"Sebentar lagi kita akan mendengarkan siaran perdana sandiwara radio horor pertama di Indonesia, tapi jangan lupa ajak teman-teman ya. Pacar juga boleh, asalkan bukan pacar orang lain, ya, pendengar... ha...ha...ha... tapi lihat dulu kakinya, napak atau tidak?" penyiar tiba-tiba menghilang dan musik dari band Queen mengalun. Ungkapan "kakinya napak atau tidak" menjadi bahan gurauan di antara para karyawan di ruangan Ra Nuh. Mereka bersenda gurau sambil memperhatikan kaki teman-teman mereka, semakin memeriahkan suasana. Ditengah lagu penyiar masuk kembali dan menyampaikan pesan, “...tapi ingat jangan mendengarkan sendirian… hi hi hi,” dengan tawa yang menyerupai tawa kuntilanak.


Setelah musik dari band Queen selesai, penyiar kembali menyapa para pendengar dan menerima telepon yang masuk ke ruang kontrol. Setiap penelepon ditangani dengan baik oleh penyiar, dan setiap panggilan diterima dengan hangat seolah-olah mereka adalah teman lama. Banyak penelepon yang menanyakan jalan cerita dan merasa penasaran karena promosi yang sering mereka dengar di radio. Beberapa penelepon juga memberikan ucapan selamat dan berharap ceritanya seru. Beberapa di antaranya ingin berbicara dengan penulis cerita atau para pemeran utama. Penyiar berjanji akan menghadirkan pembuat Rumah Meraa dan pemeran utama dalam program radio pada hari Sabtu sore mendatang.


Waktu sudah menunjukkan pukul 19.45 malam. Bram pamit untuk kembali ke ruang master control. Dan penyiar mengingatkan pendengar untuk mengajak saudara dan teman lainnya mendengarkan siaran perdana. Setelah itu, musik diputar agar tidak membosankan. Saat musik hampir berakhir, penyiar kembali masuk siaran.


"Sepuluh menit lagi, pendengar," kata penyiar mengingatkan.


"Hai semua, apakah kalian sudah siap mendengarkan siaran perdana Rumah Meraa? Pastikan ada teman yang menemani kalian mendengarkan cerita horor ini. Ayo kita hitung mundur, sepuluh... sembilan... delapan... tujuh... enam... lima... empat... tiga... dua... satu...," kata penyiar dengan suara pria yang berat.


Setelah menghitung mundur, efek suara mulai memutar suara yang menyeramkan, meskipun belum ada dialog. Bu Blenda dan semua teman Ra Nuh memandangi radio yang diletakkan di atas meja yang mengeluarkan suara-suara menyeramkan.


Ra Nuh memperhatikan atasan dan teman-temannya yang fokus mendengarkan sandiwara radio Rumah Meraa. Mereka memandangi radio dan pengeras suara yang terpajang kaku. Tapi spesial efek horor membuat semuanya menoleh ke radio. Ra Nuh merasa senang sandiwara radio yang dia tulis dan produksi sendiri diputar untuk pendengar radio di Indonesia. Perlahan, Ra Nuh keluar dari ruang kerjanya, memasukkan sebatang rokok ke bibirnya, dan menyalakannya. Ra Nuh menuju teras depan kantornya. Dia mendekati sekuriti Babeh yang sedang menikmati makanan dari acara 'Debar' dari dalam ruangan. Mbak Satime mengantar makanannya keluar, tetapi dia kembali ke dalam untuk ikut dalam acara tersebut.


"Lanjutkan saja makannya Beh," kata Ra Nuh.


"Enak banget rendangnya Non," jawab Babeh sambil melanjutkan makanannya.


Kemudian, mereka terdiam dan melanjutkan aktivitas masing-masing. Tak lama sebelum rokok Ra Nuh habis, telepon di pos satpam berdering dan Ra Nuh mengangkatnya karena Babeh masih makan. Setelah diangkat, terdengar suara yang agak aneh.


"Raaaaaa nuuuuuhhh...," seperti suara yang memanggil dengan lembut dan pelan.


"Hallo... halo... siapa ini? Mau bicara dengan siapa?" sapa Ra Nuh. Babeh menoleh ke arah Ra Nuh


“Siapa Non,” ujar Babeh


"Hhaaa nuuuuuuuuhhhh...," bisik aneh di telepon dengan lembut, pelan, dan bergema. Seperti suara arwah gentayangan di film horor.


Ra Nuh segera menutup telepon dan wajahnya sedikit pucat. Namun, telepon kembali berdering. Dia mengira telepon sebelumnya hanyalah ulah pendengar yang iseng, tetapi Ra Nuh tetap merinding mendengarnya. Ra Nuh sempat berpikir dan memiliki prasangka buruk bahwa telepon tersebut mungkin merupakan suara Fatima, seolah-olah telepon dari pendengar. Dia juga khawatir bahwa ini mungkin merupakan ulah keusilan para seniornya, Trio Demit. Ra Nuh menyadari dan merasakan kemarahan yang dirasakan oleh Fatima, Yessy, dan Camelia. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pekerjaannya, yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka, diambil alih oleh seorang junior yang dia ajar tentang bagaimana membuat konsep dengan baik. Selain itu, ketika Bu Blenda memberikan ruangan kerja sendiri kepadanya, itu merupakan tamparan bagi para produser Trio Demit. Karena tidak ada satu pun karyawan di kantor mereka yang mendapatkan ruangan kerja sendiri, kecuali Bu Blenda dan kini Ra Nuh.