Try new experience
with our app

INSTALL

Misi Menikahi Suami 

07. Hari Pertama Jadi Anak SMA (Lagi)

“Kenapa diam saja, sih, Ndin?” tanya Wina gemas sembari menarik tangan Andin, menuntunnya duduk di salah satu kursi beton panjang dekat gerbang sekolah. “Ndin? Kenapa, sih? Kamu bikin aku takut tahu!” protes Wina dengan kalimat yang sama.

“Aku ... ah, sudahlah. Aku saja enggak mengerti cara bagaimana aku bisa jelasin semua ini sama kamu?”

Wina kembali menelisik wajah Andin. Sekilas memang tidak tampak ada yang aneh, tetapi dilihat lebih teliti memang ada yang berubah dari ekspresi sahabatnya itu. “Kamu kenapa? Kemarin kamu enggak kenapa-kenapa.”

Andin diam. Jujur, ia juga bingung tentang apa yang sekarang menimpa dirinya. Apa ini mimpi? Namun, mengapa ia bisa merasakan sakit ketika berusaha mencubit dirinya sendiri?

“Ndin?”

Tanpa sadar Andin menepis tangan Wina lalu menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga. “Win, ini mimpi, 'kan?”

“Mimpi apaan Andin? Kamu dari tadi aneh tau!”

Andin diam, sekali lagi coba berpikir keras. Ini semua terlalu nyata untuk dikatakan sebagai satu mimpi belaka, tetapi waktu adalah satu hal yang berjalan maju dan terus berjalan. Bagaimana mungkin ia kembali ke masa lalu?

Wina hampir menjerit ketika Andin tiba-tiba memegangi pipinya. “Apa ini hadiah dari Mama Rosa? Apa beliau meminta pada Tuhan menolong aku? Apa aku direstui untuk menyelamatkan pernikahan aku sama Mas Al?”

Wina melepaskan tangan Andin. “Ish! Kamu itu apa, sih? Pusing aku dengarnya! Ayo, sambil nunggu pengumuman, ikut ke perpustakaan saja.”

“Win, tapi—“

“Ah, kamu kebanyakan alasan! Ayo!”

Andin tidak punya pilihan selain ikut bersama Wina. Ketika Andin melangkahkan kaki memasuki perpustakaan, hampir saja ia menitikkan air mata. Aroma buku lama, suasana hening serta pemandangan lorong-lorong rak yang ia rindukan kini terpampang nyata di hadapannya. Andin menoleh ke deretan majalah-majalah remaja yang menjadi sasaran empuk Wina mencari artikel tentang boyband Inggris kesukaannya.

Di sebelah kiri ada meja pengurus perpustakaan yang selalu penuh dengan kertas-kertas seukuran kartu pos juga beberapa stempel bulat.

“Ndin, sini!”

Andin menoleh, Wina sudah mengambil beberapa majalah lalu duduk di deretan kursi paling belakang. Andin melepaskan tas lantas duduk di samping Wina. Andin memperhatikan Wina yang serius membalik tiap-tiap halaman majalah.

“Jangan digunting. Sayang.”

Wina melirik garang. “Tumben kamu ngomong begitu?”

Andin tidak menimpali. Ia hanya memperhatikan Wina menggunting hati-hati artikel tentang boyband kesayangannya. Sampai Andin ingat betul betapa kecewanya Wina ketika tahu kalau personel boyband itu mengumumkan memiliki orientasi seksual menyimpang.

Andin juga masih ingat sumpah serapah Wina termasuk derai air mata dari Wina yang merasa sangat terkhianati oleh sang superstar.

“Kalau ngefans enggak usah sampai berlebihan. Kalau enggak sesuai sama harapan kamu, kecewa, loh.”

Wina melipat dua lembar kertas majalah yang sudah ia gunting lantas memasukkannya ke dalam tas. “Kamu kenapa, sih? Aneh! Biasanya juga kamu yang paling banyak gunting-gunting!”

Andin mengedikkan bahu lantas meraih salah satu majalah yang terhampar di meja lalu tersenyum. Wina benar, Andin memang juga suka mengoleksi artikel tentang boyband favorit Wina.

“Pokoknya kalau pengumuman sudah ditempel dan ternyata kita satu kelas, harus langsung cepat cari bangku di belakang, pojok dekat jendela.”

Punggung Andin menegak. “Pengumuman kelas?”

Wina mengangguk tanpa menatap Andin. “Iya, kemarin kita, ‘kan sudah sepakat, berangkat lebih pagi supaya dapat posisi bagus di kelas.”

“Posisi bagus?” cicit Andin.

“Iya.”

Refleks Andin menarik majalah yang dipegang Wina. “Win! Kita kelas berapa?”

Wina balas merebut majalah dari Andin. “Apaan, sih? Aneh tahu enggak!”

Andin kembali merebut majalah dari Wina. “Aku serius!”

“Kelas tiga! Kamu kenapa, sih?”

“Tiga? Tahun terakhir di SMA?” Andin bangkit, “enggak! Aku enggak bisa biarin mereka dekat!”

Kali ini Wina balas menarik tangan Andin. “Kamu kenapa, sih?”

“Aku akan jelaskan, tapi aku harus lakukan sesuatu.”

“Sesuatu? Apa?”

“Tentang pembagian kelas! Ayo, ikut!”

***

Wina tidak percaya dengan apa yang sedang Andin lakukan dan tidak mengerti mengapa ia bisa mengikuti Andin masuk ke ruang kepala sekolah. Kalau begini terus, bisa-bisa Wina benar ikutan gila.

Bapak Burhan bertubuh tegap, rambutnya kelabu akibat dari upaya gagal menghitamkan rambut setelah sepenuhnya helaian rambut berubah menjadi uban. Sebelum menanggapi ucapan Andin, ia membetulkan letak kacamatanya.

“Semuanya sudah selesai dibagi. Bapak rasa sebentar lagi pengumuman akan dipasang,” ucap Bapak Burhan.

Tanpa sadar Andin menggebrak meja. “Enggak!” Sontak Wina menatap sang kepala sekolah yang sama terkejutnya. “Enggak bisa! Mereka enggak boleh satu kelas! Mereka enggak bisa satu kelas!”

Wina menarik tangan Andin. “Ndin!”

Entah siapa yang lebih terkejut ketika Andin menarik tangan Bapak Burhan. Wina atau malah Pak Burhan sendiri.

“Pak, ini enggak adil!”

“Andin—“

“Pak, konsep kelas unggulan itu enggak adil! Seharusnya Bapak membantu murid lain yang punya kesulitan sendiri dalam memahami pelajaran! Kalau anak-anak pintar dipisahkan dan dibuat kelas sendiri, ini enggak adil, dong, Pak!” protes Andin memutus kalimat Pak Burhan.

“Andin, sekolah sudah menyusun program jam tambahan untuk semua murid. Tidak ada perlakuan istimewa. Semua sama,” sanggah Pak Burhan.

“Jelas ini enggak adil, Pak! Aku tahu kalau di kelas unggulan mereka juga dipersiapkan untuk mengikuti ujian masuk universitas negeri ternama! Dengan begitu, peringkat sekolah naik! Ini eksploitasi! Konspirasi!”

Bapak Burhan tercekat tidak percaya mendengar Andin. “Pembicaraan kita selesai!”

Sekali lagi Andin menarik tangan Bapak Burhan. “Pak, sebagian besar dari murid yang bersekolah di sini mengandalkan hanya ijazah tamat SMA saja, Pak! Kalau pihak sekolah enggak memperhatikan seluruh murid atau sampai ada yang enggak lulus ujian akhir nasional, sama saja seperti menyodorkan peti mati buat mereka! Murid-murid yang berniat masuk universitas negeri ternama pasti ikut les di luar sekolah, Pak! Kalau sekolah enggak memberikan keadilan, bagaimana kami bisa lulus?”

“Andin.”

“Pak, diajari teman itu berbeda dengan diajari guru! Aku sendiri yang enggak terlalu pintar ini pasti senang kalau bisa minta diajari teman! Pak, kalau sampai persentase kelulusan ujian akhir nasional sekolah kita seratus persen, aku yakin pasti sekolah termasuk Bapak dapat keuntungan berlipat-lipat!”

“Tapi ....”

“Pak, aku yakin, kalau sekolah bisa adil, semua murid bisa belajar dengan nyaman tanpa ada perbedaan kasta kepintaran. Mereka, tiga puluh murid unggulan bisa disebar ke sepuluh kelas, bisa membantu murid lain yang kesulitan! Pak, aku tahu, Bapak pasti bangga kalau murid-murid sekolah sini bisa masuk universitas ternama, tapi Pak bukannya ada beban sendiri kalau sampai ada yang enggak lulus ujian nasional? Bapak enggak lupa tentang adanya murid SMA yang nekat bunuh diri karena enggak lulus ujian, 'kan, Pak?”