Try new experience
with our app

INSTALL

Misi Menikahi Suami 

06. Terjebak Dalam Lingkaran Waktu

“Ndin! Andin! Bangun! Sudah siang, nanti Wina datang jemput kamu belum siap-siap!”

Tanpa membuka matanya Andin menarik selimut hingga menutupi kepala. Sekujur badan Andin sakit. Perlahan ia meremas kepala.

“Andin! Bangun!”

Seketika Andin benar-benar terjaga , ia melemparkan selimut jauh-jauh. Berkali mengusap mata lalu bangkit ke arah jendela.

Langit berselimut awan kelabu juga rintik hujan menjadi pemandangan yang ia lihat. Andin melepaskan gorden lalu kembali duduk di tepian ranjang.

Pikirnya Wina tidak mungkin datang dalam keadaan hujan. Andin ingin tidur lagi, tetapi teriakan bunda Sofia tidak akan hilang sampai ia keluar dari kamar.

Andin kembali mengusap wajahnya lalu keluar dari kamar.

“Cepat mandi! Sudah jam berapa ini? Semalam kamu begadang, ya? Cepat mandi! Bantu Bunda siapkan bekal sekolah adik-adik!” cecar Bunda Sofia ketika Andin keluar dari kamar.

“Kepala Andin sakit. Seharusnya kemarin Andin dengar Bunda.”

Bunda Sofia urung membalik tiap-tiap piring yang berada di atas meja makan. “Memangnya kemarin Bunda bilang apa?”

“Kemarin pulang dari kantor Mas Al, Andin ke makam Mama Rosa. Hujan. Maafin Andin ya, Bun. Kemarin Andin langsung masuk ke kamar.”

Raut bingung jelas tercetak di wajah Bunda Sofia. “Hujan?”

Andin mengangguk lantas mendekati Bunda Sofia. Dahinya mengernyit. “Bun, Bunda ke salon, ya? Rambutnya disemir, ya? Bagus Bun, ubannya enggak kelihatan.”

Sejenak Bunda Sofia terdiam lalu memukul kencang lengan Andin. “Kamu itu ngigo atau gimana, sih? Sudah, cepat mandi! Nanti terlambat baru tahu rasa! Sana mandi!”

“Bun—“

Ketukan pintu serta sapaan dalam memotong kalimat Andin.

“Tuh, Wina sudah datang, 'kan? Kamu, sih dibangunin dari tadi enggak dengar-dengar! Iya, sebentar Win.”

Begitu Bunda Sofia pergi ke arah pintu depan, Andin menegaskan pandangan menatap ke sekeliling tempatnya berdiri. 

Berkali ia mengedipkan mata bahkan mengusap kelopak matanya. “Seperti ada yang berbeda,” cicit Andin.

“Kamu baru bangun? Ya ampun, kita mau berangkat pagi-pagi Andin!”

Sontak Andin berbalik. Menatap terpaku Wina dan Bunda Sofia yang mendekatinya.

“Bunda sudah bangunkan dia berkali-kali Win. Kamu sudah sarapan? Ayo, makan dulu.”

Wina melepaskan tas lantas menaruhnya di lemari pendek dekat meja makan. “Biar Wina yang rapikan meja, Bun.”

Bunda Sofia berhenti menyusun gelas-gelas di meja. “Terima kasih, Bunda mau lihat anak-anak yang sedang mandi dulu, ya?”

“Iya.” Andin masih diam menatap Wina yang menyusun gelas-gelas di meja lantas mengisinya dengan susu. “Cepat mandi, nanti kita terlambat.”

“Win.” Andin mendekati Wina, menelisik wajah serta penampilan Wina dari ujung kepala hingga kaki. “kamu ... sakit? Kenapa kamu pakai baju seragam?”

Wina balas menatap Andin. “Loh, dari kemarin aku sudah tanya kamu kan kita pakai baju apa hari ini, kamu bilang putih abu, gimana, sih?”

“Aku?” tanya Andin menunjuk dirinya sendiri.

“Iya! Buruan mandi! Aku enggak mau ya kita sampai duduk di barisan paling depan!”

Andin meremas kepalanya sendiri. “Kamu jangan bercanda! Aku tahu kamu ingin hibur aku. Oke, oke! Ayo, aku setuju sama rencana kamu. Kita ke kantor pengacara. Mungkin, mereka punya cara pembatalan putusan cerai itu.”

“Hah? Kamu ngomong apa, sih?”

“Wina aku tahu kamu marah karena aku masih enggak bisa lepaskan Mas Al, tapi aku mau kamu hormati keputusan aku. Aku enggak bisa hidup tanpa Mas Al.”

“Hah?”

Andin refleks meraup wajah Wina. “Win, aku enggak bisa. Aku enggak mau jadi janda.”

“Ja-janda?”

Andin mengangguk. “Iya.”

Wina melepaskan tangan Andin yang menekan pipinya lantas mundur beberapa langkah. “Bun? Bunda! Andin kenapa?” teriak Wina.

“Sebentar, aku mandi dulu. Nanti kita bicara lagi. Sebentar.”

Andin kembali ke kamarnya. Mengambil handuk dari belakang pintu lantas bergegas mandi. Ia melilit tubuhnya dengan handuk lalu keluar dari kamar mandi dan membuka lemari pakaiannya.

Ia sempat tertegun sesaat melihat pakaian-pakaian yang terlipat rapi di rak-rak lemari. Andin membuka lemari yang lain, ada kemeja batik, beberapa kemeja putih yang tergantung di dalamnya.

Andin mengambil asal salah satu kemeja putih lantas berlari menuju ruang tengah. 

“Bun, ke mana semua baju Andin? Ini, ini apa? Seragam?” protes Andin.

Terlebih dahulu Bunda Sofia menatap Wina lalu menarik napas panjang. “Nak, pakai seragam kamu. Nanti kamu terlambat,” bujuk rayunya.

Andin mengentakkan kaki. “Ini enggak lucu!”

Bunda Sofia kembali menarik napas lantas kembali menyantap hidangan di meja, begitu pun dengan Wina yang sama memilih mengabaikan Andin.

“Bun!” protes Andin lagi. “Andin—“ Kalimat Andin terpotong karena ia merasa ada yang menarik handuknya. Sontak ia menoleh dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Seorang anak perempuan berwajah sendu tepat berada di sisi Andin menyodorkan kemeja batik. “Mbak, kancingnya copot.”

Andin mengenali anak perempuan itu. Tahi lalat tepat di pipi bagian kiri menjadi ciri khas yang dimiliki Nadia. Salah satu penghuni panti yang Andin ingat menolak di adopsi hingga tumbuh dewasa menemani Bunda Sofia.

Setelah Andin menikah dan dibawa oleh Aldebaran, Nadia yang selalu menemani Bunda Sofia, tetapi masalahnya bukankah sebulan yang lalu Andin baru saja menghadiri acara wisuda sarjana Nadia?

“Nadia, kamu makan dulu, ya? Sini, Bunda yang jahit kancingnya. Andin, kamu cepat pakai baju! Nanti terlambat!”

Tiba-tiba mulut Andin terasa kering, dengan gerakan super lambat, satu per satu ia kembali memandangi Wina, Bunda Sofia, anak-anak yang sedang makan dengan tertib di meja makan dan terakhir Nadia.

“Enggak mungkin,” cicit Andin.

“Andin! Kalau kamu enggak buru-buru, aku berangkat ke sekolah sendiri saja!” ancam Wina.

Andin mengerjapkan mata, berlari ke ruang tamu, ia meraih kalender yang tergantung tidak jauh dari pintu. Begitu melihat tahun yang tercetak di kalender itu, Andin kehilangan tenaga sampai ia harus menyandarkan tubuhnya ke dinding.

Andin memejamkan mata, berusaha memeras isi kepala dan berharap ia tahu apa yang saat ini sedang ia alami. 

Kemarin setelah ia mendatangi Aldebaran di kantor dan berujung dimaki oleh Aldebaran, Andin pergi ke makam Mama Rosa lantas hujan deras turun lalu Andin pulang kemudian tidur. Tidak ada hal yang aneh.

Andin menatap jemarinya yang kosong. Tidak ada cincin pernikahannya di jari manis. Andin bangkit lantas berlari menuju kamarnya. Satu per satu ia memeriksa laci di lemari dekat ranjang dan lemari rias. Ia tidak menemukan ponselnya atau tas yang kemarin dipakainya.

Andin diam sejenak. “Aku, aku hanya berharap kemarin adalah mimpi, tapi ... kenapa?”

Andin memutar tubuhnya. Ia menatap pantulan bayang diri di cermin. Perlahan ia mengusap wajahnya sendiri. Menyentuh rambutnya yang pendek sebahu. 

“Apa, apa yang terjadi?” cicit Andin.