Contents
LENTERA
BAB LIMA
TAHUN 2022 menjadi waktu yang paling bahagia untuk Lentera Kaluela. Layaknya sedang memuja, tak henti-hentinya ia membaca surat yang sangat berharga. Surat penerimaan siswa baru di sekolah favorit yang sudah menjadi incaran Lentera—incaran seluruh murid di Jakarta. Sembari berbaring di atas sofa, surat itu ia angkat tinggi-tinggi seraya membaca tulisan SELAMAT disana.
Farid dan Warna, juga tak hentinya melepas senyum melihat putri semata wayang bergembira. Mereka percaya bahwa ini adalah bayaran untuk Lentera, mereka tak pernah kecewa dengan apa yang pernah terjadi padanya, mereka selalu dan akan terus bangga pada putri semata wayangnya. “Itu giginya nanti kering, lho, senyam senyum terus.” Goda Farid pada Lentera yang terus tersenyum menunjukkan rentetan gigi putih di atas sofa, “selamat, ya, anak Ayah akhirnya bisa masuk ke sekolah yang diimpikan dari dulu.”
“Benar kata Ayah sama Bunda, mau dimanapun belajarnya, sekolahnya, kalau niatnya ada pasti bisa!” Seru Lentera menanggapi sang Ayah, “nanti, Ayah bagian antar jemput, Lentera, ya?”
“Ih? Nggak mau, kan perjanjiannya kalau udah masuk SMA pulang pergi naik ojek online, kecuali kalau cuacanya mendung dan hujan baru Ayah antar. Ayah kan juga kalau udah di rumah sakit nggak bisa kemana-mana.” Mendengar tanggapan sang Ayah, bibir Lentera mengerucut, hal itu membuat Farid tertawa puas.
“Pelit! Kalau setiap hari naik ojol uang jajan Lentera habis dong!” Farid masih tertawa melihat tingkah putrinya yang tak pernah berubah, “nanti nggak bisa beli komik baru…”
Warna yang sedari tadi hanya terkekeh melihat bagaimana tingkah anak dan Ayah itu ikut menimpali, “hayo, udah SMA, baca komik sama nonton animenya dikurangi dulu.” Lentera kemudian terkekeh mendengar ucapan sang Ibunda, benar sekali Lentera harus mengurangi porsi membaca komik dan menonton anime. Bahkan ia meminta kepada Warna untuk mundur saja dari kursus piano demi Lentera mendapat waktu lebih untuk belajar.
Sang teruni bangkit dari sofa dan membentuk sikap hormat, “siap ratu! Lentera pasti akan belajar lebih giat lagi!” Sebab tingkah yang menggemaskan, Farid dan Warna tidak bisa menahan tawa. Tawa mereka pecah begitupun Lentera. Keluarga kecil itu akhirnya kembali seperti sedia kala, dipenuhi tawa berkat putri semata wayangnya.
Setelah bercanda dengan kedua orang tuanya, sang gadis berpamitan dan menuju kamar tidurnya yang terletak tak jauh dari ruang keluarga. Saat memasuki kamar, disambut Lentera dengan ruangan serba putih yang telah menjadi saksi kerja kerasnya, meyakini dunia bahwa iya tak seperti yang orang lain pikirkan. Kamar itu pula terhias oleh komik setiap sudut, siapa sangka bila komik itu turut menjadi pendukung kala pikiran semrawut. Surat yang ia genggam sedari tadi ia letakan di atas meja setelah puas membaca. Senyum sumringah masih menghiasi wajah remaja berusia lima belas tahun itu. Ia hentak-hentakan kaki, kemudian melompat kecil sambil memekik. Bila bisa berteriak, maka ia akan berteriak, namun takut mendapat omelan dari Ayah Bunda.
Lentera menghempaskan diri ke atas kasur yang masih rapi sejak tadi pagi. Percayalah bahwa senyum sang gadis tidak luntur dibuatnya. Pada langit-langit kamar, terdapat gambar karakter animasi Jepang yang sengaja ia tempel dekat dengan lampu kamar, dia adalah Uzumaki Boruto. “Boruto-kun! Lihat, kan? Aku ini bisa, aku nggak seperti yang mereka kira. Enak aja, aku ini bukan maling, ya!” Ucapnya disusul tawa girang, sedikit menggelikan sebab berbicara sendiri pada gambar yang tak nyata.
Senyum dan tawa riang gadis itu telah kembali sejak beberapa bulan yang lalu, sudah tidak ada lagi kesedihan disana. Selama melewati masa sulit ia hanya ditemani oleh keluarganya, Ayah, Bunda, Kakek, Oma, dan saudara dekat lainnya. Trauma satu persatu menghilang, meski ada rasa sedih bila mengingatnya tanpa sengaja atau terlalu terbawa perasaan dan suasana yang bahagia.
Seperti sekarang ini misalnya, ia terlalu larut dalam bahagia, hingga tak sengaja terbayang kembali kisah masa lalunya. Senyumnya perlahan memudar, Lentera teringat kejadian dimana ia mendapat sorakan, cacian, makian dan kebencian yang tak ada henti-hentinya. Kejadian yang merenggut masa remajanya oleh seorang durjana yang entah bagaimana dan apa alasannya membenci Lentera yang telah menganggapnya sebagai sahabat.
Dua tuhan—kurang lebih selama itu, Lentera masih belum mengetahui alasan Yuventa membuatnya dibenci. Meskipun ada rasa ingin mencari tahu, Lentera menutupi semua itu.
Bulan lalu tepatnya saat hari kelulusan sang gadis dari sekolah menengah pertama. Dengan berani dan memantapkan hati ia mengucapkan rasa terima kasih pada Winduri sang kepala sekolah. Sebab selama disana, Winduri lah yang selalu menjaganya, ia juga meminta maaf karena sering membuat keributan. Ada rasa takut tersendiri bila harus berhadapan dengan para guru, rasanya seperti terulang kembali ke masa lalu. Masa lalu yang tak begitu jauh.
Tak menyangka sebenarnya, jika Winduri juga berterima kasih pada Lentera, berkat dirinya telah membuat nama sekolah yang ia pimpin menjadi lebih baik di mata orang tua murid. Guru-guru terlebih guru kesenian juga berterima kasih banyak kepada Lentera, sebab dirinya minat siswa di sekolah tersebut dalam bermusik semakin tinggi.
Bahkan ekstrakurikuler musik yang telah mati kini hidup kembali, di mana Lentera menjadi salah satu panutan yang paling disegani. Ya, masih sama seperti di sekolah lamanya, Lentera masih terus mengikuti ajang kompetisi bergengsi hingga mendapatkan medali. Emas, perak, perunggu, apapun mampu ia dapatkan.
Lentera mengibas tangannya di depan wajah, mencoba melupakan bayang-bayang masa lalunya agar tidak terus teringat. Sekon kemudian ia beranjak dari kasur dan menuju sebuah lemari berisi piala dan piagam prestasi sang gadis. Ada pula buku-buku pelajaran yang akan segera ia hibahkan kepada adik-adik kelasnya. Kemudian di salah satu bagiannya, terpajang sebuah foto yang terbingkai manis menunjukkan dua siswa berseragam putih biru tersenyum manis. Foto Yuventa dan Lentera ketika pertama kali sama-sama memakai seragam SMP.
Trauma itu jelas masih ada, masih sedikit membekas pada dirinya. Apalagi bila mengingat ucapan tak pantas dari orang tua sahabatnya, ungkapan benci, hingga caci dan maki dari kawan-kawannya. Semua itu terus menyelimuti dirinya selama dua tahun, bahkan masih mengganggunya hingga detik ini. Ia raih bingkai foto berwarna putih itu, diusapnya kaca yang menutupi foto agar tak usang oleh debu.
“Maaf, tapi sekarang, kembali waktunya aku mengatakan pada dunia kalau masa kini milik Lentera.” Sang gadis berbicara sendiri, masih mengusap foto pada kuasanya. Berlalu ia dari sana, menuju sebuah peti kayu yang dilapisi warna biru, tempat ia menyimpan barang-barang yang tak pernah ia gunakan atau akan segera dibuang. Tanpa pikir panjang, ia memasukkan bingkai foto tersebut ke dalam sana, kemudian menutup peti kayu tersebut rapat-rapat.
Setelah itu ia duduk di atas kursi belajarnya, memandang keluar jendela kamar yang tertuju pada taman perumahan. Terlihat disana anak-anak sebayanya yang bermain dengan leluasa. Sore hari memang waktu yang tepat untuk bermain bersama. Senyum mengembang melihat para anak tetangga bermain dengan bahagia meski Lentera tak ikut bergabung dengan mereka—rasanya memang masih takut untuk bertemu mereka. Kemarin-kemarin, jendela itu tertutup rapat bahkan sinar matahari tak dipersilahkan untuk menyapanya. Dan sang gadis hanya ditemani ikan buntal kesayangannya di dalam akuarium yang bernama Sam. Ikan buntal yang telah memikat hatinya, yang cukup lama juga menemaninya.
Dalam lubuk hati, ia masih merasa sedih dan tak menyangka bila sahabatnya telah berkhianat. Masih terpikir juga, apa tujuan Yuventa melakukan itu semua. Namun tak mungkin ia terus memikirkannya, apalagi berselimut dengan traumanya. Perjalanan Lentera masih panjang, perjalanannya menggapai impian masih setengah jalan. Dibalik semua perjuangannya melawan trauma, hadir sosok-sosok penting dalam hidupnya yang menjadi penyokong bangkitnya sang gadis yang terjatuh dalam lubang dalam.
Kakek Darma, Ayah Farid dan Bunda Warna, sudah pasti yang pertama menumpu punggung sang gadis. Lalu dua kakak sepupunya, Samudera dan Radela meski hubungannya sempat merenggang, namun Lentera meyakinkan diri bila dua kakak sepupunya turut membantu dirinya bangkit dari kegelapan. Kemudian, Akasia, sosok gadis sebayanya yang telah menemani masa-masa akhir di SMP, yang memutuskan melanjutkan sekolah di Pontianak tepat dimana sang Ayah dilahirkan.
Bila disebutkan, cukup banyak. Salah satunya juga, Radja Gentala. Setelah kejadian lalu semasa SMP, Lentera dan Genta tak lagi berbicara. Jelas sebab orang tua Genta tak mau Genta terpengaruh dengan rumor Lentera yang tak benar adanya. Selain itu pula, Genta juga memutuskan kontak dengan Lentara. Ini bukan kemauan orang tuanya, melainkan kemauan wira yang lebih tua satu bulan dari Lentera. Sedih sang gadis bila mengingatnya, namun Lentera berjanji pada Genta bila mereka bertemu di sekolah yang sama, mau tak mau mereka harus kembali berteman. Namun entahlah, bagaimana kabar Genta pun Lentera tak tahu. Sudah dua tahun berlalu, ia benar-benar tak tahu.
Sang gadis kembali beranjak menuju dapur dari kamar tidurnya, mengambil segelas susu ‘tuk redakan dahaga setelah seharian penuh terselimuti rasa bahagia. Ada juga buah jeruk yang kemudia ia ambil untuk mengurangi rasa lapar yang tiba-tiba menyerang.
“Lho, Tera, kok kamu makan jeruk sebelum makan nasi, sih? Memang kamu sudah makan nasi? Kamu tadi kan cuman sarapan sereal.” Tiba-tiba saja, Warna datang ke dapur menghampiri Lentera membawa sebuah piring kotor, mungkin bekas Warna makan.
Lentera tersenyum kemudian menggelengkan jemala, “belum Bunda, masakan Bunda hari ini… Ikan bakar, aku kurang berselera. Maaf, Bunda…” Mendengar jawaban anak semata wayang Warna justru tersenyum kemudian mendekati sang gadis.
“Yaudah, Ayah ngajak kita makan malam di luar, gimana? Restorannya kamu yang pilih, deh!” Sontak semangat kemudian bergejolak pada diri sang nona. Kedua tangannya terangkat ke atas, menari-nari di udara bahagia mendengar ucapan sang Ibunda, “gih siap-siap, Bunda juga mau siap-siap, Ayah udah nungguin juga, tuh.”
“Siap Bunda!” Usai menenggak habis segelas susu miliknya, ia berlari menuju kamar tidur dan memilih untuknya pergi sore ini, pergi untuk makan malam bersama keluarga setelah lama tak pergi bersama.
sederhana Lentera, kaus putih berbalut vest merah muda favoritnya. Kemudian rok hitam dan sepatu putih dengan gambar Haruno Sakura di sana, sepatu andalannya untuk pergi keluar rumah. Sederhana namun terlihat manis untuk sang gadis. Rambutnya tergerai, rambut hitam legam panjang yang Lentera banggakan. Riasan wajah? Tidak perlu, wajahnya sudah cantik sejak lahir.
“Hari ini dan seterusnya, kamu harus bahagia, Lentera!” Kicaunya pada diri sendiri dalam pantulan kaca kamar tidur. Merasa sudah sangat siap, Lentera bergegas lagi keluar kamar dan menemui sang Ayah yang telah siap di ruang keluarga. Tanpa aba-aba, Lentera melompat dalam pelukan Farid yang tengah memakai jam tangannya, “Ayah! Terima kasih.”
Sedikit terkejut atas ulah sang anak, namun Farid memaklumi dan mengusap surai legam Lentera, “sama-sama, nak, ini kan hitungannya jadi hadiah Lentera karena berhasil masuk sekolah favorit Lentera.” Lentera mengangguk dalam dekapan sang Ayah, “yaudah Ayah pakai jam tangan dulu, kamu lepas dulu pelukannya ini, kamu sudah berat, lho.”
Lentera pun menurut, melepas dekapan dan menunggu Farid serta Warna yang baru saja keluar dari kamar tidurnya. Tak menyangka dan baru menyadarinya, keluarga kecil itu sama, berbalut atasan putih. Senyum terukir pada wajah Lentera, senang sebab sang keluarga sangat memahami dirinya.