Contents
LENTERA
BAB EMPAT
KELAS sembilan menjadi tahun terakhir Lentera Kaluela mengenyam pendidikan di sekolah yang tidak pernah ia duga. Satu tahun terakhir ia habiskan dengan membangkitkan diri ditengah gempurnya perundungan yang menimpanya. Cukup sulit bagi sang gadis yang segera menginjak usia lima belas tahun. Hampa benar-benar terasa menyelimuti diri sang gadis, rasanya benar-benar sendiri. Satu atau dua kawan tak ada yang mau menemani. Hingga sang gadis mencapai sebuah prestasi pun tak ada yang peduli. Semua berjalan begitu sulit untuk Lentera.
Meskipun ada hal yang tak menyangka, sebuah pencapaian tak terduga, menjadi seorang kapten klub musik di sekolah. Ragu datang menghampirinya, ragu apakah ia mampu atau tidak. Sang pembina memberi kepercayaan, bahwa memang sudah seharusnya Lentera bangkit dari keterpurukan. Ia juga berkata, bahwa tak seharusnya seorang gadis remaja memikirkan sesuatu yang berat. Sedikit canggung bila menceritakan kisah Lentera dan klub musiknya. Meski begitu, terpukau para anggota ketika melihat permainan musik Lentera. Selang beberapa waktu, kawan masih tetap tak ada yang mau menemani. Hanya saja, para adik kelas selalu menyapa di pagi hari. Jelas membuat senyum ceria gadis itu kembali, sedikit demi sedikit.
Ruang klub musik menjadi ruang paling Lentera senangi. Berada di lantai enam, di sudut gedung, jauh dari jamahan siswa-siswi, dan tidak begitu bising. Di sebelah ruangan, terdapat tangga yang akan membawanya ke atap sekolah, kadang tempat itu akan digunakan para pentolan sekolah. Biasanya Lentera juga berada di sana, membawa gitar sekolah, memetik senar asal namun menghasilkan lantunan suara yang merdu. Seperti sekarang, pada kuasa sang gadis berbalut seragam putih biru terdapat sebuah gitar usang yang lama tak terjamah.
Semilir angin sore menghembus surai legam Lentera yang tergerai. Kunci-kunci gitar yang ia hafal, bersenandung dengan petikan pada senar. Kicauan burung menjadi penambah indahnya suara yang terdengar. Sesekali pandangannya terbawa pada langit yang cerah. Imajinasi sang gadis seolah langit-langit itu adalah penonton yang datang pada pertunjukan megahnya. Petikan-petikan merdu gitar yang ia mainkan sore itu benar-benar cukup meredakan rasa pedih dalam diri. Bila di rumah, mungkin ia akan memainkan piano dengan gila. Senyum tergurat pada wajah Lentera hingga terdengar suara gaduh dari belakang diri sang gadis.
SRRRAAKK!
Terlonjak sang gadis dari tempatnya, lantunan merdu terhenti tengah jalan membuat para penonton kecewa. Menoleh jemalanya kepada asal suara, dari balik tumpukan meja yang tak terpakai. Tersimpan gitar itu sembarang, kemudian bergegas ia menghampiri sumber suara.
Perlahan-lahan ia mendekat, takut kalau ternyata itu adalah hewan buas sedangkan pintu menuju tangga sedang tertutup rapat. Perlahan-lahan langkahnya mendekat, mendekat, dan terus mendekat, hingga membulat mata sang gadis melihat gadis sebayanya menggenggam sebuah pisau lipat terarah pada nadi tangan lainnya.
“KAMU MAU NGAPAIN?” Pekik Lentera. Kemudian ia rampas pisau lipat tersebut dari kuasa gadis dan melemparnya sembarang arah, “kamu ngapain!? Kamu nggak boleh kayak gitu! Tuhan nggak suka ada hamba-Nya yang kayak gitu.”
Pundak gadis sebayanya bergetar, Lentera baru menyadari bila lawan bicaranya sedang menangis dalam diam. Ditariklah sang gadis keluar dari tempat persembunyian, Lentera membawanya menjauh, menuju tempat duduk di tempatnya semula bersama gitar usangnya. Keduanya duduk di bawah bersila, dengan Lentera menepuk pundaknya menenangkan.
Gadis itu menangis tersedu-sedu, bahkan meraung berteriak memanggil sang Ayah. Lentera senantiasa menenangkan. Diraihnya sebuah sapu tangan dari saku bajunya untuk menghapus air mata gadis sebaya.
“Lentera…” Panggil sang gadis lirih dengan suara parau, “Lentera…” Lagi sang gadis memanggil, tentu membuat Lentera terkejut. Bagaimana gadis ini bisa mengenalnya saat Lentera sendiri tak mengenalnya.
“Iya, aku Lentera. Kamu namanya siapa?” Ada sedikit ragu dalam bertanya, namun tak enak juga bila Lentera tak mengetahui namanya, “kamu kelas berapa?” Gadis itu belum menjawab pertanyaan Lentera, masih menghapus air mata dan mengatur napas yang sesenggukan. Lentera tak memaksa, justru tersenyum menenangkan, “sudah, jangan menangis lagi, kasihan wajah kamu sembab, nanti kamu capek.” Lentera menyibak rambut sang gadis, menyelipkan pada telinganya agar wajah tak begitu tertutupi, “maaf kalau menyinggung, tapi betulan aku nggak tau nama kamu dan kelas kamu.” Ucap Lentera.
“Aku… nama aku Cia—Akasia Wulandari, kelas sembilan tujuh.” Perkenalan singkat antara Lentera dan Akasia, justru membuat senyum Lentera merekah.
“Aku Lentera, Lentera Kaluela, kelas sembilan satu! Salam kenal, Cia!” Lentera menjulurkan tangannya dengan senyum yang memperlihatkan rentetan gigi putihnya. Akasia, gadis itu dibuat kebingungan, namun keduanya kemudian berjabat tangan.
Akasia memberi anggukan kecil pada Lentera. Sang gadis masih mencoba mengatur napas yang tidak beraturan, “t-terima kasih, Lentera.”
Jemala sang gadis mengangguk semangat, “ya! Ya! Sama-sama.” Lentera lagi tersenyum menampakan rentetan giginya. Meskipun di dalam benak, ada rasa penasaran ada apa dengan Akasia hingga dirinya lancang mengacungkan pisau lipat ke nadinya. Sunyi melanda kedua gadis, ditengah hembusan semilir angin yang membuat kedua surai gadis menari-nari. Dersik angin menjadi warna dalam sepi.
“Yang tadi itu…” Akasia membuka suara seketika ditengah kesepian yang melanda, wajahnya terangkat, dari balik surainya mata sembab terlihat di sana, “jangan kasih tau siapapun, ya?”
Lentera mengangguk, “kamu… Cia yang sering diomongin satu sekolah, ya? Yang katanya— nggak jadi, deh.”
Akasia terkekeh kemudian mendengar ucapan Lentera yang menggantung, “yang katanya apa? Nggak papa, aku juga sudah biasa dengarnya.” Dusta terdengar dari nada bicara Akasia, “kamu, Lentera yang katanya tukang palak itu, kan?”
“Aku bukan tukang palak! Kalau aku betulan tukang palak, kayaknya kamu udah jadi sasatan aku!” Seru Lentera begitu Akasia mengatakan hal yang sangat Lentera tidak suka. Raut wajahnya semula kesal, namun kemudian terasa bersalah, “maaf…”
“Sama, aku juga bukan anak haram.” Tenang, Akasia sangat tenang mengatakan hal yang sepertinya sangat tidak baik untuk Akasia dengar, “kamu bukan tukang palak, sama, akupun bukan anak haram.” Sunyi kembali menghiasi dua gadis remaja di atas gedung sekolah. Meratapi dan memikirkan nasib keduanya. “Kamu lelah nggak, sih, dengan semua omongan yang ada? Soalnya, aku lihat kamu masih bisa tersenyum.”
Lentera terdiam ingin menjawab sama muaknya ia tak bisa, lantas ia menggigit bibirnya sendiri sebab merasa tak enak dengan Akasia yang memulai percakapan yang tidak seharusnya mereka bicarakan. “Aku muak, Lentera,” Suara sang gadis parau, mungkin Akasia sebentar lagi akan kembali menangis, “mengakhiri hidup bukan kemauan aku, bukan pula kemauan Bapak dan Nenekku. Aku terhasut ucapan mereka.” Mendengar penjelasan Akasia, Lentera cukup tercengang. Biasanya jika ia melihat seseorang yang hendak mengakhiri hidupnya sebab perundungan hanya dalam film saja. Tapi, kali ini ia melihatnya di depan mata. Nyata.
“Cia, untuk apa kamu turuti ucapan mereka? Kamu nggak seharusnya nurut apa kata mereka!” Suara Lentera sedikit meninggi, tak percaya gadis di hadapannya melakukan tindakan yang tak pernah ia bisa percaya, “aku pun muak, aku muak dengan semua omongan yang ada. Nggak jarang dari mereka minta aku melakukan hal yang sama, tapi buat apa? Bahkan Ayah danBunda aku masih senantiasa bersama aku.” Dengan lantang sang gadis berbicara kepada Akasia.
Akasia Wulandari gadis sebaya dengan Lentera. Sejak pertama kali masuk ke sekolah menengah pertama yang sama dengan Lentera, Akasia tak pernah lepas menjadi bulan-bulanan kakak kelas. Begitu Lentera hadir, eksistensinya mulai berkurang meskipun teman satu angkatan yang dulu adalah teman sekolah dasar masih terus merundung Akasia. Mulanya, Akasia ingin sekali berteman dengan Lentera, hanya saja ia takut bila Lentera lebih dulu tahu gosip miring tentangnya dan enggan menjadi teman Karsia. Aapalagi Akasia telah menjadi bulan-bulanan kakak kelas sejak kelas satu. Namun, kenyataan justru berbeda.
Akasia terdiam dari tadi begitu mendengar nasihat panjang Lentera, jantungnya berdegup kencang. Sejak sekolah dasar, tak ada yang mau menjadi temannya, apalagi menasihatinya. Status menjadi anak dari luar nikah, sebab hal itu, ia mendapat banyak kecaman. Bukan hanya dari murid, tetapi dari guru bahkan orang tua murid. Keduanya kemudian masih sama-sama terdiam. Akasia yang merenungi perbuatannya, Lentera yang berlarut dalam pikirannya. Hingga hari semakin sore, kicauan burung memekakan telinga. Kicauan yang indah membuat Lentera menoleh ke awan yang cerah. “Kalau aku ada di posisi kamu, mungkin aku sama nggak kuatnya. Tapi, kalau dipikir, masih ada keluarga, belum lagi impian kita yang kita rancang dari kecil. Sayang, kan, kalau pupus gitu aja?”
Lentera kemudian menoleh pada Akasia yang ternyata kini turut menatap langit sore yang indah, “haaah, kayaknya cukup kita berbincang dan saling mengenalnya.” Selang berapa lama, diitarik kuasa Akasia olehnya, seraya berdiri tempat mereka duduk. Akasia kebingungan melihat gadis remaja itu menarik dirinya untuk berdiri, “masih banyak waktu itu kita bahagia, kan? Ayo, kita kelilingi sekolah!”
Akasia lantas turut berdiri meski masih dalam raut wajah kebingungan, sedikt gila dengan maksud Lentera, “hahahaha nggak, bohong, aku mau ajak kamu ke minimarket.”
“Tapi, tapi aku nggak ada uang?” Lentera hanya terkekeh mendengar ucapan Akasia, “aku nggak pede kesana.”
“Aku traktir!” Seru Lentera kemudian meraih gitar usang yang ia tinggalkan sementara, “ayo!” Pertemanan, ada keraguan dari hati Lentera. Mungkin sudah saatnya untuk sang gadis kembali menerima orang-orang disekitarnya untuk menjadi kawannya. Bagaimana bila menjadi sahabat? Oh, itu tidak—tepatnya, belum yakin.
Sama dengan Akasia, ragu dalam hati pun ada menerima Lentera sebagai kawan. Akasia tak pernah berkawan dengan siapapun sebelumnya, kecuali Gimbal si kucing kampung yang sering datang ke rumah. Sedangkan Ayah dan Nenek sibuk bekerja di kebun. Akasia selalu sendirian. Bagaimana ia bisa memulai sebuah hubungan pertemanan? Keraguan dalam hati dua gadis remaja tak menjadi penghalang. Pasalnya, Lentera dan Akasia, kini berlari keluar dari atap sekolah. Genggaman Lentera sejak tadi pun masih kuat pada kuasa Akasia, enggan 'tuk melepasnya.
Sebelum pergi ke tujuan, Lentera sempatkan menyimpan gitar usang di ruang klub musik. Kata Akasia, ini pertama kalinya ia masuk ke ruang musik. Kemudian Lentera berjanji, akan senantiasa menerima Akasia jika ingin berkunjung ke ruang musik. Dua gadis remaja penuh senyum ceria berlari menyusuri koridor sekolah dan menuruni satu persatu anak tangga. Tak jarang mereka tertawa dan bercanda satu sama lain. Melihat nasib Lentera dan Akasia memang sama buruknya, sedih setiap malam pasti selalu datang untuk keduanya, namun bila saling melengkapi nasib buruk dan sedihnya mungkin akan pergi menghantuinya.
Perasaan gembira yang telah lama Lentera tak rasakan, bahkan hampir ia lupakan, kita kembali rasa bahagianya. Nyata, meski keraguan tetap ada. Perasaan gembira yang tak pernah Akasia rasakan, pada akhirnya ia dapat merasakan. Meskipun ia tahu bila semuanya hanya sementara sebab keraguan yang terus menghantuinya. Dua gadis remaja itu terus berlari masih bergandengan tangan, menuju minimarket tak jauh dari pemukiman sekolah. Semilir angin sore menjadi saksi bahagianya mereka.
Lentera tak lupa berkata kepada Akasia, “ingat kalau dunia harus tau kamu hebat, manusia beradab seperti kita nggak ada tandingannya. Jangan takut untuk keluar, berlarilah sebisanya dan jangan pernah terkubur dengan keterpurukan.”