Try new experience
with our app

INSTALL

ARMADILLO 

CHAPTER #6 – SEPERTI BINTANG

Disa menatap langit-langit kelas tanpa bersuara. Sejak pagi tadi dia berubah jadi pendiam. Sangat jarang dia jadi pendiam seperti ini. Padahal ini hari sabtu, seharusnya dia senang karena besok hari minggu yang otomatis libur sekolah. Anak sekolahan paling mengerti bahagiannya bertemu hari libur, apalagi jika libur tanpa ada tugas. Nikmat mana lagi yang mau didustakan.

“Udah sih, Dis, nggak usah dipikirin lagi. Liat tuh muka lo, kusut banget.” Celetuk Ruri sambil merangkulkan tangannya dipundak Disa.

Disa sudah menceritakan kejadian kemarin yang membuat Raka marah. Tidak ada yang bisa Ruri lakukan selain menghibur sahabatnya itu. Ruri sempat kesal mendengar cerita Disa, bisa-bisanya Raka kasar seperti itu sama seorang perempuan. Tapi Ruri tidak mungkin melarang Disa untuk dekat-dekat dengan Raka, atau menyuruhnya menjauhi Raka, dia sudah berjanji untuk mendukung gadis itu untuk masalah hati. Lagipula, dia tahu sahabatnya itu tidak akan menyerah begitu saja.

Sejak awal Disa sudah siap untuk berperang dalam jangka waktu yang panjang. Baginya, ini baru permulaan, masih panjang perjuangannya. Jujur saja, Ruri juga tidak terima jika sahabatnya itu diperlakukan kasar. Percuma punya wajah ganteng tapi kelakuan minus. Pikirnya dalam hati.

“Gue mau ke toilet dulu.” Disa beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan keluar kelas dengan malas menuju toilet.

Waktu keluar dari toilet, Disa berpapasan dengan seseorang yang sangat akrab di matanya. Seseorang yang selalu membuat jantungnya berdetak tidak karuan, tanpa bisa dikontrol. Dia ingin menyapanya, tapi batal ketika dia teringat kesalahannya yang belum termaafkan itu. Disa terus berjalan, menunduk ketika melewati Raka, tidak sanggup untuk menatap mata cowok itu.

Raka menghentikan langkahnya, “sorry buat yang kemarin.”

Langkah Disa terhenti, dia menoleh dan mendapati Raka sedang berdiri menatapnya. Disa tertegun mendengarnya, permintaan maaf dari seorang Raka yang dingin, irit ngomong dan jutek itu datang dengan tiba-tiba. Seharusnya dia yang meminta maaf kepada cowok itu. Tapi dia malah menghindarinya dengan menyembunyikan matanya dari tatapan cowok dingin itu.

“Nggak apa-apa, gue yang salah. Sorry kemarin gue nggak sengaja. Dan terima kasih sudah nolongin gue.” Ucap Disa sambil senyum.

Raka bisa merasakan ketulusan dari ucapan cewek yang sedang menatapnya itu. Dia menarik bibirnya sesaat lalu berkata, “Sama-sama.”

Seulas senyum muncul di wajah Disa. Dia mendekati Raka, “Lo udah nggak marah?” saking senangnya Disa memegang pergelangan tangan Raka.

Tatapan mata Raka turun ke arah tangannya yang dipegang Disa. Disa tersadar dan cepat-cepat melepaskan tangannya dari tangan Raka yang kini menatapnya tanpa ekspresi apapun. “Ma... maaf.” Disa menggigit bibir bawahnya. Kenapa ceroboh banget sih, runtuknya dalam hati.

“Hhemm..”

“Mau makan siang dikantin bareng-bareng nggak? Gue traktir, sebagai ucapan terima kasih gue. Mau ya, ya, ya!!!” Disa nyengir kuda, matanya berbinar-binar dan meneduhkan orang yang menatapnya.

Raka menghela nafas, berusaha untuk tetap sabar menghadapi gadis di hadapannya ini.

“Bareng Farhan sama Ruri juga kok.” Kata Disa lagi.

Akhirnya Raka mengangguk malas. Sekali ini saja, supaya cewek di depannya itu tidak berisik lagi. Lagi pula ada Farhan juga bersama-sama dengan mereka, jadi dia tidak terlalu pusing memikirkannya.

*** 

Benar saja, ketika jam istirahat berbunyi, Disa, Ruri, Farhan dan juga Raka ke kantin bersama-sama. Tidak bisa digambarkan betapa bahagianya Disa siang ini bisa makan siang di kantin bersama Raka, meskipun sebelumnya pernah satu meja dengan Raka, tapi itu berbeda. Kali ini dia bisa makan siang bareng Raka atas ajakannya dan Raka menerima ajakannya itu. Hati Disa penuh dengan bunga yang bermekaran, senyumnya tidak pernah hilang dari wajahnya.

Rasanya melihat Raka duduk dan makan di sampingnya seperti saat ini seperti mimpi disiang bolong, tapi barusan dia mencubit lengannya dan terasa nyeri, akhirnya dia sadar bahwa ini adalah nyata. Tatapan Disa tidak pernah lepas dari wajah Raka, sampai-sampai Raka merasa risih terus-terusan diperhatikan seperti itu.

“Lo nggak makan?” tanya Raka dengan alisnya yang dinaikan, heran.

Bukannya menjawab pertanyaan Raka, Disa malah semakin tersenyum lebar, memamerkan giginya yang terlihat cukup rapi, tapi ada gingsulnya muncul yang membuatnya terlihat manis.

“Jangan bilang lo udah kenyang liat Raka makan!” Celetuk Ruri.

Disa mengedipkan matanya berkali-kali dan terkikik sendiri, sementara Raka tetap bersikap tenang dan mengunyah makanannya sampai habis. Farhan dan Ruri saling menatap lalu kompak menggelengkan kepala berkali-kali.

Siang itu Disa benar-benar merasa bahagia, sukacita yang meluap di dalam hatinya rasanya tidak dapat dia bendung sendirian. Disa ingin sekali membagikan kebahagiannya itu dengan bercerita ke Ruri, tapi hari ini jadwal eskul paduan suara, jadi Ruri tidak bisa diganggu sampai eskul selesai.

Saat malam hari, ketika sudah selesai belajar, dia segera berlari mengambil handponenya dan menghubungi Ruri.

“Ruriii......” Pekiknya dengan penuh semangat ketika telfon tersambung di seberang sana.

“Semangat banget sih. Kenapa? Ada apa? Raka kenapa lagi?”

“Hehehe, nggak kenapa-napa. Cuma mau cerita tentang tadi siang.” Disa terkekeh.

“Hmm, kenapa tadi siang?”

Mata Disa bersinar, wajahnya penuh senyum dan pikirannya tertuju pada cowok yang membuat hatinya tidak karuan. Dia berjalan mendekati jendela kamarnya, menengadah ke langit dan mendapati langit sedang cerah, penuh bintang dan bulan yang bersinar terang. Langit begitu cerah, secerah hatinya saat ini.

“Menurut lo, Raka udah mulai suka sama gue nggak?” Disa tersenyum. Terdengar di seberang sana Ruri sedang menghela nafas.

“Jangan terlalu mikir yang berlebihan, manis.”

“Tapi tadi lo dengar sendiri kan, Farhan bilang apa? Ini sejarah, seorang Raka mau menerima tawaran makan siang bareng dari cewek.” Ucap Disa penuh semangat dengan pandangan ke langit.

Siapa tahu dia cuma menghargai tawaran lo sebagai ucapan terima kasih seperti yang lo bilang ke dia. Jangan terbang terlalu tinggi, ntar jatuh, sakit lho.”

Mendengar ucapan Ruri itu, Disa mengerucutkan bibirnya. Setelah cerita panjang lebar, Disa mengakhiri sambungan telfonnya dengan Ruri. Dia masih menatap ke langit, menunjuk satu bintang yang bersinar paling terang lalu tersenyum sesaat. Dia teringat lagi wajah Raka, tapi detik berikutnya dia juga teringat kata-kata Ruri tadi waktu ditelfon.

Meskipun kalau dia pikir-pikir lagi ucapan Ruri itu ada benarnya juga. Tapi dia menepis itu jauh-jauh dari pikirannya. Dia tidak ingin merusak suasana hatinya yang sedang bahagia. Setidaknya dia sudah berusaha dan Raka memberikannya kesempatan yang tidak pernah dia berikan kepada orang lain, itu seperti memenangkan pertandingan terbesar dalam hidupnya. Lebay, tidak apa-apa, karena baginya ini adalah langkah awal yang akan membawanya terus maju hingga menembus pertahanan Raka.

Disa tersenyum menatap langit yang penuh bintang. Baginya, Raka itu seperti bintang, ciptaan Tuhan yang unik, bisa bersinar terang memancarkan cahayanya sendiri, sekalipun berada di tengah langit yang gelap, tapi tetap mampu memancarkan cahayanya dan memberikan keindahan pada langit yang gelap. Kerlap-kerlipnya juga mampu menghibur hati yang sedang sepi.

"Lo itu seperti bintang, yang ada di atas langit sana, sulit untuk gue sentuh." Gumam Disa sambil tersenyum  mengingat wajah Raka.

Dia berjalan ke meja belajarnya, matanya tertuju pada sebuah botol kaca bening berbentuk tabung. Didalamnya berisi bintang-bintang kecil yang dia buat dari kertas berwarna-warni yang dilipat-lipat membentuk bintang. Botol kaca itu baru terisi seperempat, bintangnya akan bertambah seberapakali dia melihat Raka dalam satu hari. Tapi akan dia buat lebih jika dia bisa berbicara dengan cowok itu, sebagai bonus. 

Tok, tokk, tokkk!!!

Tatapan Disa beralih ke pintu kamarnya yang diketuk dari luar. Dia berjalan menghampiri pintu kamarnya untuk dia buka. Begitu pintu kamarnya terbuka sedikit, kepala Novan sudah muncul dari balik pintu.

“Kenapa Kak?”

“Nggak kenapa-napa. Cuma mau main-main ke kamarmu aja.” Jawab Novan sambil melangkah masuk ke dalam kamar Disa.

Disa memicingkan matanya, mencium sesuatu yang mencurigakan dengan sikap Kakaknya itu. Detik selanjutnya Novan terjun bebas ke tempat tidur Disa, mengambil handponenya dari saku celananya. Dia membuka aplikasi game yang lagi booming dimainkan anak-anak muda, bahkan orangtua pun ada yang memainkannya juga.

“Ih, Kak Novan mah. Kenapa nggak Main di kamar sendiri sih?” Protes Disa. Benar kan feeling dia, Novan ke kamarnya pasti mau ngerecokin ketenangannya. 

“Kamu kayak nggak tau Papah aja, dek. Kali ini aja, kakak numpang bentar, ya, ya, ya?” Sahut Novan dengan wajah sok memelas.

Dia sudah tahu, pasti Papahnya habis mengomelinya karena memainkan game itu terlalu berisik sampai teriak-teriak, padahal dia sendirian tapi terdengar seperti satu kampung, makanya sampai harus kabur ke kamar Disa yang letaknya di lantai dua supaya tidak terdengar oleh Papahnya. 

Kadang-kadang Disa ikut mengomeli kakaknya itu, sudah kelas XII tapi masih santai, bukannya sibuk belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian kelulusan, tapi masih saja menghabiskan banyak waktu untuk bermain game.

“Tapi jangan berisik, kalau berisik aku usir pokoknya.” Ancamnya.

“Rebes nona manis!”

Disa mengambil potongan kertas yang sudah dia gunting untuk dia bentuk menjadi bintang. Dengan telaten dan senyum yang terus mengembang di wajahnya dia melipat potongan kertas itu, terlalu fokus sampai tidak mendengar kakaknya yang sedang bertanya. Novan melirik Disa sebentar.

“Dek...”

Tidak ada sahutan dari Disa, dia masih tetap fokus melihat potongan kertas itu, sesekali terdengar senandung kecil dari bibirnya yang mungil.

Novan berjalan mendekatinya dan berhenti di samping Disa, tapi cewek itu masih belum menyadari keberadaan kakaknya di sampingnya sejak tadi. Disa tiba-tiba merasakan keheningan dalam kamarnya, dia menoleh dan terkejut setengah mati mendapatin kakaknya sudah berdiri di sampingnya dengan sorot mata yang menyelidik.

“Kak Novan ihh, bikin kaget aja deh!” Omel Disa.

“Kamu lho, dipanggilin dari tadi diam aja, Dek. Lagi buat apa sih?”

“Buat bintang.” Jawabnya singkat.

Novan mengerutkan keningnya, “tugas sekolah?”

“Mana ada tugas sekolah buat beginian, Kak.”

“Terus?”

“Buat...” tiba-tiba dia menyadari dirinya seperti sedang di introgasi, Disa melirik Novan dan mendapatinya sedang menatapnya dengan curiga.

“Buat cowok ya?” Tebakan Novan berhasil membuat Disa menelan salivanya dengan susah payah, tapi dia berusaha tetap tenang dan tidak terpancing dengan kekepoan kakaknya itu dengan kembali melipat kertas itu.

“Buat diri sendiri.” jawabnya berusahan tetap santai, supaya kakaknya yang mulai kepo itu tidak bertaya lagi. Dia melirik Novan lagi dan menangkap raut wajah yang tidak percaya di wajah kakaknya itu dengan jawaban yang dia berikan barusan.

Novan memegang dagunya sambil mencoba menebak-nebak lagi, “Pasti buat cowok yang kemarin ngantarin kamu pulang, kan? Hayooo ngaku!!!”

Mata Disa terbelalak, sumpah demi apapun, bagaimana Novan bisa tahu tentang dirinya yang diantar pulang oleh Bimo? Jelas-jelas kemarin Novan tidak ada dirumah, papahnya pun belum pulang bekerja. Terus bagaimana bisa Novan tahu dirinya diantar pulang oleh seorang cowok?