Try new experience
with our app

INSTALL

ARMADILLO 

CHAPTER #5 – PULANG BARENG

Eskul voli sudah dimulai lima menit yang lalu. Sebelumnya, di awal tadi murid-murid memperkenalkan diri untuk pertama kalinya. Masing-masing sudah ada di dalam barisan untuk memulai pemanasan.

"Maaf, saya telat, Pak." Ucap Bimo sambil berjalan mendekati barisan.

"Ya sudah tidak apa-apa, lain kali jangan terlambat lagi." Sahut Pak Ahmad, "sekarang masuk barisan, kita mau mulai pemanasan dulu." lanjutnya.

Bimo langsung bergegas masuk ke barisan paling belakang dan mengikuti pemanasan. Sekalipun dia senior, kalau terlambat tetap saja harus lapor dan minta maaf ke Pak Ahmad yang notabennya adalah pelatih voli di sekolah mereka. Mata Disa melirik ke arah Bimo sesaat, dia tersenyum ketika Bimo juga menatapnya dan membalas senyumannya.

Pak Ahmad membagi dua tim untuk memulai permainan voli. Disa berada di tim satu, dilihatnya satu persatu orang-orang yang ada di timnya, tapi tidak ada satu pun teman sekelasnya yang ikut eskul voli.

“Bengong aja sih, Dis? Mikirin gue ya?...” Suara Bimo mengejutkannya.

Bukannya menjawab pertanyaan Bimo yang over PeDe itu, Disa malah bertanya balik. “Kak Bimo di tim satu?”

Bimo senyum semringah, lalu mengangguk berkali-kali penuh semangat. “Senang nggak?” tanyanya kemudian.

Disa senyum singkat. Pertanyaan sederhana tapi membingungkan untuk dia jawab. Senang dalam hal apa nih? Maksudnya senang karena satu tim sama Bimo? Memikirkannya saja tidak, apalagi berharap satu tim. Berbeda reaksinya dengan Tita, anak kelas X-2, dia langsung menjerit kegirangan saat Pak Ahmad pilih Bimo ke tim satu.

Jawab sekenanya saja deh, batinnya. “Iya, senang, setidaknya ada teman satu tim yang gue kenal. Hehe...”

Senyum Bimo merekah mendengar jawaban Disa, padalah Disa menjawab dengan asal. Bimo langsung mengajak Disa untuk berpasangan berlatih pashing, dari hal yang paling mudah dan dasar dulu. Di tengah-tengah latihan mereka, Bimo akhirnya tahu ternyata Disa sudah suka olahraga voli sejak SMP, dia mengira ini pertama kalinya bagi Disa berlatih voli. Pantas saja Disa tidak merasa kesulitan sewaktu Bimo mulai melemparkan bola ke arahnya.

“Wah hebat juga ya lo, jarang lho ada cewek cantik yang mau main voli. Apalagi kalau mainnya panas-panasan, takut hitam kena matahari.”

“Nggak usah berlebihan, Kak. Banyak kali cewek cantik yang suka voli. Ada Sabina Altynbekova, Saori Kimura, Alisa Manyonok, Wahida Muntaza, Hany Budiarti, Berllian Marsheilla, siapa lagi ya? Banyak Kak. Gue mah apa atuh...” Disa terkekeh diakhir ucapannya.

“Itu sih, atlit semua yang lo sebutin.” Bimo menyentil kening Disa, gemas.

Disa terkikik. “Tapi cantik semua kan?”

“Iya, tapi maksud gue itu, jarang ada cewek yang gue kenal dan sukanya main voli.”

“Tuh, Tita juga cantik, Kak!” Disa menunjuk ke arah Tita dengan dagunya yang sekarang lagi senyum ke arah Bimo.

Bimo melirik ke arah yang di tunjukkan Disa, “Nggak kenal gue!” Sahutnya kemudian.

“Makanya kenalan biar nambah list cewek cantik yang Kakak kenal suka voli.” 

Bimo menoyor pelan kepala Disa menggunakan bola voli ditangannya. Disa meringis kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya.

“Cukup lo aja yang gue kenal, nggak perlu yang lain.” Ucap Bimo pelan, tepat di telinga Disa, membuat Disa mematung sejenak ditempatnya.

*** 

Bimo muncul dari sudut lapangan dengan membawa dua botol air mineral di dalam kantong plastik bening dan berlari kecil menghampiri Disa yang sedang duduk di pinggir lapangan sambil memeluk kedua lututnya, seperti anak hilang yang menunggu dijemput oleh orangtuanya. Bimo tertawa kecil.

“Ngetawain apaan, Kak?” Disa melirik Bimo sejenak. Semakin dilirik, Bimo malah semakin tidak bisa menahan tawanya.

“Lo kayak anak hilang tau nggak? Udah badan mungil, duduk dipinggir gini. Untung nggak diculik orang.” Bimo terkikik.

“Mana ada yang mau nyulik gue. Gue makannya banyak!”

Bimo tersenyum menyeringai, “Kalau gue yang culik, gimana?”

“Hmm... mana sini minumnya, makin kering tenggorokan gue ngomong sama Kakak.”

Bimo menyerahkan air mineral itu ke Disa, tapi ditariknya lagi sewaktu Disa ingin menggapainya. “Jawab dulu, baru gue kasih!”

Disa bersiap untuk protes, tapi diurungkannya. “Suara gue habis, nggak bisa jawab. Butuh minum dulu.” Sahutnya tanpa  bersuara, hanya gerakan bibir.

“Apa? Gue nggak denger.” Sahut Bimo sambil mendekatkan telinganya ke wajah Disa. Terlalu dekat hingga membuat Disa mendadak kikuk. Bimo mendadak menoleh dan kini wajah mereka berhadapan, sangat dekat.

“Aaaaghh, sini minumnya!!!” Pekiknya sambil mendorong tubuh Bimo menjauh dari hadapannya. Badan Disa yang mungil tidak cukup kuat untuk mendorong tubuh Bimo sejauh mungkin tapi cukup membuat tubuh Bimo bergeser sedikit.

Lagi-lagi Bimo terkikik mendapati raut wajah Disa yang berubah cemberut. Dia menarik tangan Disa dan meletakkan air mineral itu ditelapak tangannya.

“Bisa nggak mukanya jangan cemberut gitu? Makin pengen buat gue culik tau nggak!”

“Mana ada orang mau nyulik tapi ngomong-ngomong.” Disa menjulurkan lidahnya, sebal.

Tidak tahan mendengar ucapan Disa itu, Bimo mengacak-acak rambut Disa dengan gemas. Sejurus kemudian tangan Disa sudah mencubit lengan Bimo. Bimo berteriak minta ampun tapi Disa tidak peduli, dia meringis kesakitan. Satu sama.

Jam sudah menunjukan pukul empat sore. Semua orang sedang bersiap-siap untuk pulang. Bimo menghampiri Disa yang sedang memasukan handuk kecilnya ke dalam tasnya.

“Pulang sama siapa? Naik apa?” tanya Bimo saat sudah berada di samping Disa.

Tunggu dulu, sepertinya dia melupakan sesuatu. Disa menepuk jidatnya, dia lupa menghubungi Kak Novan untuk minta dijemput. Bagaimana mungkin dia lupa akan hal itu. Kalau sekarang dia baru mau mengirimkan chat ke kakaknya, sudah pasti dia akan menunggu lebih dari setengah jam. Disa menepok-nepok jidatnya lagi berkali-kali, menyesali kepikunannya yang super akut. 

“Kenapa Dis?” tanya Bimo lagi, bingung melihat Disa dari tadi menepuk jidatnya berkali-kali.

“Kayaknya pulang naik angkot, Kak, atau mungkin naik ojol.”

“Nggak dijemput?”

“Lupa minta jemput. Kalau minta jemput sekarang, nunggunya setengah jam lagi.” ucapnya lemas.

“Ya udah, pulang bareng gue aja.”

Disa menoleh ke Bimo, memastikan ucapan Bimo barusan itu beneran atau hanya basa basi doang. Tapi Bimo mengulang ucapannya sekali lagi.

“Gimana, mau pulang bareng nggak?”

“Nggak usah deh, Kak. Gue naik ojol aja.”

Bimo terkekeh, “tenang aja, nggak bakal gue culik kok.”

“Hehehe, bukan itu. Ngerepotin ntar!”

Bimo tersenyum lebar, “nggak ngerepotin kok. Udah, gue anterin aja ya. Lagian lebih aman pulang bareng gue dari pada sama ojol. Gue anterin sampai depan pintu rumah dengan selamat.”  

Disa menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal itu. Bingung harus menolak tawaran Bimo seperti apa. Sebenarnya dia ragu menerima tawaran Bimo itu. Karena jika dia menerima tawaran Bimo, ini akan menjadi pengalaman pertamanya diantar pulang sekolah dengan seorang teman laki-laki. Orangtua dan kakaknya sih tidak melarangnya untuk dekat dengan siapa pun, hanya saja dia tidak ingin di introgasi kalau kakak dan papahnya melihat dirinya diantar pulang oleh Bimo.

Kakak laki-laki Disa yang super duper kepo dengan kehidupan Disa. Apapun yang terlihat baru dan mencurigakan pasti Novan akan mengintrogasinya sambil terus menggodanya habis-habisan tanpa berhenti sampai Disa mau menjelaskannya.

Disa pernah menerima sebuket bunga yang dikirim langsung ke rumahnya, Novan langsung mengira bahwa yang mengirim bunga itu adalah pacar Disa. Atau sekotak coklat yang seminggu lalu Disa bawa pulang kerumah, jelas-jelas cokelat itu Disa beli sendiri, tapi tetap saja Novan terus menerus menggodanya supaya mengaku bahwa itu pemberian seorang laki-laki. Gitu aja ribet kan? Apalagi nanti kalau Kakaknya itu melihat dengan mata kepalanya sendiri dia diantar pulang oleh Bimo? Habislah dia tidak bisa tidur pulas karena pasti Novan akan bertengger dikamarnya, memaksanya untuk memberitahu siapa Bimo.

“Disa?” Bimo melambaikan tangannya didepan wajah Disa yang sedang bengong.

“Ah, iya kak.”

“Yuk, gue anterin pulang sekarang.”

Disa masih memutar otaknya, masih belum memutuskan mau atau tidak pulang bareng Bimo, tapi Bimo sudah menarik tangannya untuk mengikuti langkahnya menuju parkiran motor.