Contents
Biru Berderai
Bab 4 Operasi Habituasi
Masih terlalu pagi. Embun saja baru selesai menguap. Matahari tengah mulai menghangatkan dinding-dinding yang rembes. Petugas kebersihan masih menyapu dan beres-beres. Dia sudah duduk di salah satu kursi di selasar.
Ini Derai.
Dia membaca ulang pesan pendek yang masuk semalam. Sepanjang malam dibaca berulang kali. Dua kata yang dikirim sebuah nomor baru. Belum disimpan ke daftar kontak sampai pagi berikutnya. Belum dibalas. Tidak ada pesan lain.
Wahai, manusia, kelas DI jam berapa?
Malah pesan dari teman sekelasnya. Inbi membalas dengan semangat batere 5%. Cepat dan lekas padam.
10WIB.
Bi, akhir pekan ada acara?
Sudah dibilang jam 10!!!
Inbi menekan tombol on/off. Terhenti. Diperiksa kembali kotak pesannya. Malah sudah ada pesan baru.
Oh, ya, Biru. Mau ketemu di mana? Aku jemput ya.
Seketika bulu kuduk Inbi meremang. Diguyur air es mungkin begitu rasanya. Sampai tangannya gemetaran. Hampir dilempar ponsel ke lantai. Masih ada bagian otaknya yang bekerja rasional.
Dipegang erat-erat layaknya benang layang-layang. Takut terbang ketinggian. Inbi mengerjapkan mata beberapa kali. Entah halusinasi karena datang ke kampus kepagian atau efek sisa lembur tugas semalam.
Setelah tarikan nafas dalam-dalam. Udara yang masuk dirasakan mengalir melalui hidung. Lalu ke paru-paru. Kembali dihembuskan perlahan-lahan. Diketiknya balasan pesan dengan perhitungan matang.
Mas Derai, maaf, saya kira teman saya.
Jantung Inbi berdegup kencang. Sampai dia takut petugas kebersihan yang lewat bisa ikut mendengar suaranya. Nanti kalau malah dipanggilkan dokter. Susah kalau mau request dipanggilkan dokter Derai, bukan dokter yang lain.
Iya, ndak apa-apa. Jadi, akhir pekan kamu ndak lowong ya?
Hei, hei! Inbi kelupaan menulis balasan lebih panjang. Dia berdiri dari kursi. Berjalan menyusuri selasar. Berbalik arah, masih menyusuri selasar.
“Nak, pak dokter ngajak kopdar,” beritahu Inbi. Dia menggeser ponsel agak menjauh dari telinga.
Lulu memekik tajam. “Maksud lo?”
“Nanyain, akhir pekan ada acara nggak? Mau ketemu di mana? Mau dijemput?”
“Wow, kayak naik Argo Lawu ya.”
“Asal bukan kayak naik Sumber Mira patas aja deh.”
“Maksud lo, lo takut dia cuma gencar di awal, hilang di tengah-tengah. Bonus, amit-amit lecet atau syok atau kecelekaan?”
“Hus! Lidah kita jangan sembarangan,” hardik Inbi. Dia mengusap puncak kepala. “Gimana, aku iyain nggak nih?”
Lulu terkikik. “Lo sendiri mau nggak? Lo pikir dulu deh. Kalau lo mau, ya udah, terima ja. Saran gua sih, lo coba dulu ja. Kalau nggak sreg, langsung hapus akun. Gua backup lo.”
“Yaudah, aku iyain aja dulu ya. Tapi, kalau Malik tahu gimana?”
“Kenapa lo masih mikir pendapat Malik.”
“Ya, mereka kan di rumah sakit yang sama.”
“Bisa bedain kali, urusan kerja sama pribadi.”
“Nggak yakin.”
“Yaudah, lo tolak aja.”
“Enggg.”
“Ya, Tuhanku! Inbi! Beneran lo ini apa bukan?”
“Engggg.”
“Sialan! Gua yang nemuin dokter itu dulu. Lu nggak boleh ketemuan sama dia tanpa dampingan dari gua atau Abe atau mas Bram.”
Inbi terangguk. “Oke.”
Namun jarinya bekerja lebih sigap. Dia sudah mengetik sederet jawaban. Yang kalau dipikir, eh, dia tidak terlalu berpikir.
Mas Derai, Sabtu pagi jam 9.30 WIB di kontrakan teknik ya.
Oke, Biru. Makasih ya.
**
Dahi-dahi berkerut bersamaan. Kalau ada setrika khusus muka, bolehlah dibeli. Setrika rambut saja ada. Diluruskan sampai halus dan licin.
“Ini apaan?” tunjuk Inbi ke piring di meja teras kontrakan.
Bram melipat kedua tangan di atas perut. “Semacam pakan?” tebaknya.
Lulu mengusap hidung. Dia menyodok benda di piring dengan sumpit. “Ini brownie,” katanya yakin.
“Itu roti bakar selai kacang,” tukas Abe.
Keempatnya bertukar pandang. Tanpa kerutan dahi. Lirikan mata yang juling. Lalu tawa kaku.
“Mungkin selai nanas atau srikaya lebih baik,” ujar Inbi. Dia menyandarkan punggung, melipat kedua kaki ke atas kursi. “Siapa yang bikin?” lanjutnya.
“Anak-anak. Katanya buat latihan, mau dikasih ke pacar masing-masing,” terang Bram. Dia mengangkat benda dari piring. Dipencet sampai remuk. “Aku yang jadi kelinci percobaan. Asin, apaan sih ini.”
Lulu terbahak-bahak. Dia menepuki lengan Abe. “Dalam rangka apa sih? Hari kasih makan nasional?”
“Jadi ingat sewaktu bikin nasi goreng buat Malik. Kebanyakan kecap manis,” curhat Inbi.
Bram berdengus. “Coba deh masak buat cowok lain. Malik kalau kamu kasih air dan garam aja udah bahagia sampai ke awang-awang.”
Inbi tersenyum kecut. Jarinya memilin benang lepas dari kaosnya.“Menurut kalian, kalau aku deket sama cowok lain, Malik bakal gimana ya?” tanya Inbi lirih.
“Tanya Malik,” kata Abe paling cepat.
“Gua bukan Malik,” sahut Lulu.
“Kenapa nggak nanya aku bakal gimana?” timpal Bram.
Angin bertiup agak kencang. Daun kering yang jatuh berserakan. Andai keresahan Inbi ikut terhembus. Wuss! Hilang dalam teriknya mentari. Bukannya bertanya tiga manusia ini yang malah seperti menambah beban pikiran.
“Enggak, gini, Bi, kamu sama Malik udah resmi putus? Udah resmi batal tunangan dan nikah?” hati-hati Bram bicara.
Kepala Inbi dianggukkan. Tepat setelah ujian semester empat lalu. Sebelum liburan pergantian semester. Sebelum Malik masuk masa koasistensi, semua berakhir.
Kedua pihak keluarga bertemu dalam malam yang cerah dan hangat. Gerah sebenarnya. Bukan firasat aneh. Iklim saja yang pancaroba. Ayah dan ibu Malik memutuskan untuk membatalkan pertunangan. Malam itu juga Inbi bukan lagi pacar mau pun tunangan Malik.
“Cincinnya udah diminta balik malam itu juga,” beritahu Inbi. Untung saja mereka hanya memberikan cincin emas bermata putih pada Inbi. Tidak ada barang-barang lain yang harus dikembalikan.
“Ya kalau gitu, kamu ndak ada lagi dong harus wajib lapor atau apalah ke Malik. Pada dasarnya kan kalian ndak ada apa-apa,” tukas Bram.
Inbi terangguk lagi. “Aku takut dia usil. Misal ngomporin cowok yang deketin aku. Ya, mungkin aja kan. Bisa saja dia nggak rela aku bahagia.”
Lulu menggeleng keras. Dia berdecak kesal. “Gua yang bakal pukul dia duluan. Kurang ajar bener sama kesayangan gua.” Kedua tangannya saling meremas.
“Sabar, Yang. Kamu jangan bikin keadaan tambah runyam,” Abe menegur. Dia ikut bersandar ke kursinya sendiri. “Terus, sekarang ada cowok yang lagi deket sama kamu, Bi? Dah lama?” lanjutnya.
Anak itu malah mengikik. “Belum ada. Mana ada yang suka sama Inbi,” kelakarnya. Dia tertawa sampai berair mata.
Saat itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dia membukanya beberapa menit kemudian. Ketika teman-temannya kembali membahas makanan gagal di atas piring. Permasalahannya bukan lagi fokus mereka.
Biru, maaf, hari Sabtu batal ya. Tapi, mas janji ganti hari lain. Gimana?
Tiga detik Inbi tertegun. Rasanya kok ada perih-perih. Otaknya bergegas berpikir. Tidak boleh menjawab asal. Harus, wajib, mengetik jawaban singkat yang netral. Tidak boleh ada pengaruh rasa. Hanya tidak jadi ketemuan. Bukan perkara pelik.
Gpp. Ya, terserah.
“Kenapa lo?” heran Lulu. Matanya terarah ke ponsel di pangkuan Inbi.
Inbi mengedikkan bahu. “Tiba-tiba bete. Mau balik ke kost,” jawabnya sengau.
“Bete apaan? Birahi tinggi?” sahut salah satu anak yang baru saja datang.
Inbi mendelik padanya. “Ya. Tapi nggak gara-gara kamu,” tukasnya. Dia meraih ransel. Berdiri dengan sempoyongan. “Aku nggak apa-apa. Beneran nggak mood aja. Mau balik, bye,” imbuhnya.
Tak menunggu jawaban, dia berjalan meninggalkan teras. Melewati anak yang baru datang seraya menabrak lengannya. Tak digubris protes yang dilayangkan. Dia menuju sepeda motornya. Cepat-cepat berpindah dari kontrakan teknik menuju kostannya.
Suasana hatinya belum berubah. Parkir serapi dia bisa di garasi kost. Lantas berjalan cepat-cepat menuju kamar kost yang berada di ujung bangunan. Kunci diputar keras, untung saja tidak sampai patah. Sepatu sudah dijejalkan di rak samping pintu. Dia masuk sambil menginjak kaos kaki sampai lepas.
Benda lain yang semena-mena diperlakukan adalah ranselnya. Dionggokkan di bawah lemari. Ditinggal berbaring ke tempat tidur. Kemampuan Inbi melepas jaket dalam posisi tengkurap mulai gesit. Dilempar tanpa melihat sasaran. Duk! Benda keras lain terhempas ke lantai.
Seketika Inbi bangun. Ponselnya tergeletak di lantai keramik abu-abu. Berpendar menyala ada notifikasi masuknya pesan baru.
Maaf ya, Biru. Mendadak gini. Nggak enak aku. Kamu marah?
Inbi mengatur nafasnya yang naik turun keterlaluan cepat. Direm, ditahan, dilepas. Dihirup udara dalam-dalam. Dihembuskan pelan-pelan.
Boleh aku telepon?
Nafasnya buyar lagi. Dia membelalakkan mata. Pandangannya bergulir dari pintu ke lantai. Lantas berdiri tegak. Hampir menjerit.
Biru ....
Eh, Biru. Sejak kapan dia menyebut dirinya Biru. Ah, sudah, tak apa.
Biru, tidak apa. Ya, boleh, telepon saja.
Tampaknya Inbi yang apa-apa. Dia duduk begitu saja ke kasur. Diraihnya bantal. Ya ampun, bau mie instan semalam. Berusaha keras ditenangkannya jantung dan hati yang tak karuan. Apaan juga ini?!
Ponselnya berdering. Nama Derai memanggil. Tangannya gemetar. Sungguh apa pula ini yang terjadi.
“Selamat siang, Biru. Masih di kampus?” sapa Derai.
“Siang, mas Derai. Saya tidak di kampus. Bagaimana?” jawab Inbi lirih.
“Ya, apa, Bi?”
Inbi berdeham. “Saya tidak di kampus!” ujarnya lebih keras. Jauh lebih keras dari pada yang dimaksudkan.
“Oh, iya, ya. Di mana? Mas ganggu tidak ini?”
Oh, sangat mengganggu. “Ndak kok. Ini di kost, kelar kuliah.”
“Mau istirahat ya? Ini mas masih di rumah sakit. Nanti mau ada operasi juga.”
Kapan Inbi tanya itu. Oh, hati kecilnya yang angguk-angguk. “Sibuk sekali ya. Nanti malah Inbi yang gangguin mas Derai.”
“Enggak lah. Mana ada Biru gangguin. Jadi, gimana, Biru marah ya mas batalin janji. Ya, ampun, baru juga pertama janjian.”
“Ya, gimana ya, Mas. Lumayan kecewa sih. Tapi mau gimana. Nanti palingan rapot mas Derai ada nilai merahnya. Tahu, nggak, Mas, aku tuh udah seneng banget kamu ajakin ketemu,” ujar Inbi dalam hati.
“Biru, ya, ampun, kamu beneran marah ya? Jawab dong.”
Inbi terkesiap. “Oh, ndak, Dok. Saya tidak marah. Kan dokter baru sibuk. Ndak apa-apa. Benar, kok, tidak masalah,” jawab Inbi selekasnya.
Helaan nafas. “Derai, Bi. Mas Derai,” tukasnya. Tarikan nafas. “Ya, sudah, hari Minggu ya. Kamu bisa? Aku mau ajak kamu nonton film sama makan. Mau?”
Mau lah! Ya ampun. Ya ampun! Ya ampun. “Boleh, Mas,” kata Inbi dengan suara sedatar mungkin.
“Kamu kirim alamat kost ya, nanti aku jemput saja. Pulang aku anterin.”
Klik! Sambungan telepon Inbi putus. Dia terperanjat sendiri. Tangan yang masih memegang ponsel ditatap membelalak. Kurang ajar sekali jempolnya. Masih ingin dia mendengar suara Derai, malah disudahi begitu saja teleponnya.
Selamat beristirahat, Biru. Jangan lupa bagi alamatnya ya.
**
Kepalanya masih dibungkus handuk. Basah sampai ke kerah kaos. Malah keluar kamar dengan tergesa-gesa. Dia menuju pintu gerbang kost. Sesosok mas-mas dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang dilipat sesiku bersandar ke mobil SUV silver yang terparkir tak jauh dari gerbang.
Dia melambaikan tangan dan menegakkan badan. Dihampirinya gadis yang melongo ke arahnya. Dia tersenyum lebar. Terpampang gigi-geligi putih dan bibir merah jambu menyegarkan. Rambutnya yang biasa disisir rebah rapi belah pinggir, kini ditata acak layaknya anak band jepang (tapi bukan aliran viskey kok).
“Lhah, baru kelar mandi?” sapa Derai.
Inbi menutup mulut dengan satu tangan. Menahan teriakannya. Dia pun mengangguk. “Kirain masih nanti,” ungkapnya pelan.
Derai mengulum tawa. “Udah ndak sabar mau ketemu kamu. Sana lanjutin siap-siap. Aku tunggu sini nggak apa-apa,” kata Derai sedikit berkelakar. Sepertinya.
“Duduk di ruang tamu aja, Mas. Yuk, masuk,” Inbi mempersilakan Derai ke dalam bangunan kost. Setelah memastikan Derai duduk di salah satu sofa di ruang tamu terbuka, dia berjalan cepat menuju kamarnya.
Salah seorang teman satu melonggokkan kepala dari pintunya. Alisnya dinaikkan satu. Mata bergulir ke arah ruang tamu, tapi muka terarah ke Inbi yang lewat. Inbi hanya memberi sebuah kedikan bahu. Lekas-lekas dia masuk ke kamar.
Jins gombrong dan kaos yang dia pakai baru saja keluar dari lemari. Wangi dan bersetrika rapi khas jasa laundry. Namun, melihat penampilan santai Derai, dia jadi urung memakai perpaduan tersebut. Diambilnya kemeja kotak-kotak biru tua, kemeja Derai warna hitam dan kelabu.
Kemeja Inbi berukuran satu ukuran lebih besar. Dia lebih nyaman memakai pakaian yang longgar. Tindakan penyamaran bentuk badan. Begitu pula celana jins baggy hitam kusamnya. Perlu dikencangkan dengan sabuk, lalu ditutupi lipatan ujung kemeja yang dimasukkan ke pinggang.
Dibawanya tas jinjing rajutan warna putih yang tak lagi putih. Ponsel, dompet, sisir, beanie, tisu, pen cutter, drawing pen, buku sketsa ukuran A5 dan satu set pensil warna sudah berada di dalamnya. Berkaca ke cermin sekali lagi, sisi depan-samping-belakang. Dia pun keluar kamar, mengunci pintu sambil memakai sepatu kets.
“Dah siap,” lapor Inbi pada Derai yang menundukkan kepala.
Nyala ponselnya meredup. Kepalanya terangkat ke Inbi. “Ya, Biru. Berangkat sekarang,” laporan diterima dan direspons.
Dipimpin keluar kost, Inbi berjalan pelan-pelan. Tapi bergegas maju membuka pintu mobil sendiri saat melihat gelagat Derai. Dia duduk tegak memakai sabuk pengaman. Ditunggunya Derai turut masuk dan menjalankan mobil.
“Ini nanti bisa sampai jam berapa?” tanya Derai. Dia menoleh sejenak ke Inbi.
Inbi membalas pandangan singkat itu. “Sekitar jam 5. Habis magrib mau ngerjain tugas.”
“Sama teman atau sendiri?”
Inbi menautkan jari-jari dì atas pangkuan. “Sendiri. Tugas individu kok.”
Derai menoleh lagi. “Gimana kabar Lulu? Baik-baik saja kan kalian?”
“Baik. Ya, biasalah. Kayak gitu.”
Senyum Derai yang terlihat dari samping, masih saja menarik. Sedikit meresahkan. Bisa-bisanya ada profil laki-laki yang membuat mata sulit berkedip. Adem, sejuk dirasa hati.
“Kalian lucu ya,” komentar Derai.
Kepala Inbi dimiringkan. “Bagian apa?” timpalnya.
“Gaya kalian. Seru ya kuliah desain? Kalian berdua begitu bebas mengekspresikan diri. Kayak, nggak masalah mewarnai keluar garis. Garis itu bukan batas. Kalian lebih dari batas itu.”
Inbi mencibir. Bola mata diputar ke atas ke bawah. “Orang suka ya bikin garis. Garis nyata, garis imajiner. Ruangan longgar dikasih sekat. Ada yang sekat imajiner. Luasan dikotak-kotak secara visual dan persepsi psikologi. Yah, memang lucu, Dok. Kadang saya juga heran sendiri.”
“Keterbatasan,” ucap Derai.
“Dah, lah, Dok. Bukan tema obrolan yang menyenangkan untuk permulaan,” sahut Inbi, menoleh ke luar jendela. Dalam benak memukul mukul mulut. Kurang ajar benar malah bilang begitu.
Dengung mesin. Inbi menjulurkan tangan, hendak mengubah posisi birai AC, tapi diurungkan. Dia melipat kedua tangan di atas pangkuan. Udara benar-benar dingin mengisi kekosongan.
“Mau nonton film apa?” pertanyaan yang baru muncul ketika mereka memasuki tempat parkir sebuah mall. Berasal dari Derai. Orang yang memutuskan untuk diam selama perjalanan lima belas menit.
Inbi melepas sabuk pengaman. Sedikit meregangkan badan. “Asal bukan horor saja. Bukan yang bermuatan kekerasan dan pertumpahan darah.”
“Superhero, detektif, roman, animasi,” sebut Derai.
Mereka turun dari mobil. Berjalan beriringan. Sibuk menyebutkan satu persatu judul film yang tengah tayang. Sampai di depan loket tiket, baru diputuskan menonton salah satu film animasi.
“Saya nggak akan sok tahu dengan menyebutkan sejumlah istilah animasi. Tapi kalau keceplosan, tolong ditegur,” Inbi memberikan peringatan. Jari telunjuk dan jari tengah ditegakkan serempak.
Derai memberinya sekotak popcorn, juga senyuman. “Aku tidak keberatan. Itu, ada bangku kosong,” ujarnya memimpin duduk di lobi menunggu jam tayang.
“Pada dasarnya saya penggemar animasi. Ya, saya baca novel grafis, komik,” terang Inbi. Dia beringsut memberi ruang bagi Derai untuk duduk. Terlalu dekat dengan duduknya.
“Waktu SD aku juga baca komik. Sampai sekarang kadang-kadang juga masih baca,” cerita Derai yang bersandar ke dinding. Dia menerawang ke pot tanaman di seberang. “Waktu yang menyenangkan. Seakan masuk ke portal dunia lain. Waktu tidak lah sama dengan dunia nyata. Momen-momen yang menggembirakan.”
Inbi menahan diri hendak menyentuh tangan Derai. Ekspresi sang dokter yang menggemaskan begitu mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dia memegang wadah jagung makin erat. “Kita bisa pergi bersama. Saya tidak suka berkomentar, ditanyai, atau diajak bicara sewaktu menonton di bioskop. Tapi, kalau menonton dalam komunitas lebih kecil, saya bisa berdiskusi sambil menonton filmnya.”
“Noted,” kata Derai. Lengannya menempel ke bahu Inbi.
Inbi bergidik. Dia hampir melonjak berdiri. Dalam kesadaran yang cukup untuk membuat reaksi aman, Inbi bernafas senormal mungkin. Dia khawatir Derai membuat penilaian atas tingkah lakunya. Bisa dikira dia mengidap suatu gejala penyakit. Penyakit asmara!