Try new experience
with our app

INSTALL

Biru Berderai 

Bab 3 Mahasiswa Baru

Spanduk putih sablonan licin dibuat serius anak DKV, masih terpampang. KAMU SALAH JURUSAN. Dulu, sewaktu Inbi jadi mahasiswa baru, spanduknya cuma kain putih dipiloks merah dan hitam. Ya, ya, tiap tahun puluhan mahasiswa baru salah jurusan.

“Dekan minta spanduknya dilepas. Kurang estetik,” ujar anak angkatan 2011.

Inbi mengedikkan bahu. Tiap tahun paling sebulan saja durasi spanduknya dipajang. Ini sudah tiga bulan masih terpampang begitu vokal. Seakan menghantui mahasiswa-mahasiswa yang masuk ke seni rupa hanya sekedar batu loncatan.

Pemberhentian sementara sebelum mereka menuju fakultas lain yang..., yah pilihan utama. Harapan orang tua. Impian calon pasangan. Dambaan perusahaan multi nasional. Pokoknya yang bukan jurusan salah.

“Mbak Inbi beneran nggak mau masuk himpunan?” tanya anak 2011 itu lagi.

“Enggak! Kalian aja yang baik-baik urus organisasi. Aku mau cabut dulu. Tengok anak gadisku,” jawab Inbi cepat-cepat. Dia menurunkan pandangan. Diam-diam menghela nafas.

Seseorang lain, anak 2010 yang seangkatan dengannya, mengerutkan dahi. “Udah pulang dari rumah sakit kan si Lulu?”

Inbi mengangguk. “Sudah dari kemarin dulu kok. Dah, ya, aku pergi. Bye,” katanya santai. Atau sesantai yang dia mampu.

Inbi beranjak dari setapak tempat mereka memandangi spanduk yang dipasang di fasad gedung 1 fakultas seni rupa. Dia menuju tempat parkir yang berada di seberang. Berjalan berkelit di antara sepeda-sepeda motor, menemukan motornya yang akan membawanya kabur dari kampus. Baru mulai menstater, ponselnya berbunyi dari saku ransel.

Dengan enggan Inbi mengambil ponsel, Bram peneleponnya. Ada apa pula Bram meneleponnya lepas tengah hari begini. “Bi, bisa ke pos jaga? Tapi mampir beliin nasi padang 5 bungkus. Pakai duitmu dulu. Sampai sini kuganti,” perintah Bram begitu tersambung.

“Perut siapa saja itu?” sungut Inbi. Buyar bayangannya untuk makan eskrim di kost Lulu sambil maraton serial asia.

“Dah, buruan. Perut orang-orang ganteng. Ada anaknya dokter Darmadi nih. Kamu nggak mau ketemu?” balas Bram.

Inbi terkesiap. Sedetik dia tak sadar hendak berbuat apa. “Apaan sih,” elaknya. Dia kembali memutar kunci motor. “Pakai es teh sekalian ndak?”

Dua puluh menit kemudian. Inbi rasa terlalu cepat baginya sampai di kontrakan dalam durasi tersebut. Seakan-akan dia tergesa-gesa hendak menemui seseorang. Tapi, bagaimana kalau malah terlalu lama bagi mereka di kontrakan untuk menunggu.

Lima perut kelaparan menantinya dengan penuh harap. Cuaca panas yang menambah getirnya penantian. Tidak kah berdosa Inbi membuat banyak orang susah. Katanya tidak boleh mempersulit orang lain.

Ya Tuhan!

“Duh, Inbi, akhirnya datang juga,” sapa Bram. Dia berdiri di bawah pohon di depan rumah. Tengah menanam sesuatu di tanah sekitar pohon. Terlalu rajin bagi orang yang lapar.

Rasa janggal dia kesampingkan. Inbi sambil celingukan, turun dari motor. Dari beberapa motor yang terparkir, tidak ditemukan motor yang dirasa milik dokter subuh. Dia pun menyorongkan tas plastik hitam ke Bram dengan, yah, kesal. Kena jebakan tidak sih ini.

“Makasih, say. Boleh minta tolong di taruh ke meja teras. Aku cuci tangan dulu,” ujar Bram polos tanpa rasa bersalah.

Tanpa menjawab, Inbi menurut saja. Kakinya dientak-entakkan menuju teras. Hasil antri di rumah makan padang dionggokkan di atas meja. Bersamaan helaan nafas panjang, Inbi menjatuhkan diri ke kursi. Kesal tapi tidak bisa disalurkan.

“Masih lama nggak ya, bro? Aku mau ketemu konsulen,” kata orang yang tiba-tiba keluar dari dalam kontrakan. Cepat dan keras.

Inbi sampai melonjak dari kursi. Dia menoleh ke sekitar penuh curiga. “Anda tidak memerlukan alat pacu jantung, Dok,” kata Inbi.

Derai memicingkan mata. “Maksudnya?”

“Kemunculan Anda memacu jantung saya dalam tempo yang tidak wajar,” terang Inbi.

Dokter itu mendenguskan tawa kecil. Dia mengusap tengkuk. “Ah, mbak Inbi bisa aja. Maaf ya bikin Mbak kaget. Habis sepi banget, di dalam pada tidur. Kehadiran Mbak sudah saya tunggu dari tadi.”

Giliran Inbi menahan tawa susah payah. Bukan karena lucu. Tidak, tidak. Tawa malu-malu. Dirasa pipinya memerah selayaknya disinari mentari pagi pukul 10. Hangat dan bervitamin D.

“Makan, Der,” sela Bram dengan sebungkus nasi diangsurkan ke tangan Derai.

Derai menyeringai. Dia mengikuti Bram duduk di kursi lain. Keduanya lantas makan dalam hening.

Inbi mencoba fokus pada sesuatu. Spanduk yang harus diturunkan. Ah, bukan urusannya. Rapat himpunan jurusan dan fakultas. Aduh, dia saja tidak pernah ikut kepengurusan. Tugas ergonomi. Dia belum dapat kasus yang cocok.

Pada saat itu lah ponselnya kembali bergetar. Nama penelepon yang terpampang adalah Lulu 2010. Anak itu berbuat apa lagi sekarang. Harusnya kan tidur nyaman di kost. Tapi, bagus juga dia menelepon.

“Siang, Nak. Ada apa?” angkat Inbi. Dia mengenyakkan punggung ke sandaran.

“Lo bilang mau ke kost. Nyangkut di mana?” todong Lulu.

Seketika Inbi menepuk dahi. “Iya, ya, aku lupa,” katanya.

Derai menoleh ke arahnya. Alisnya naik sebelah. Ala-ala Jun Matsumoto itu lah. Sungguh melenakan.

“Emang sekarang di mana lo? Masih di kampus?” sahut Lulu. Terdengar suara iklan televisi.

Inbi mengarahkan pandang ke jalan di depan kontrakan. Jalan buntu. “Di kontrakan teknik. Mas Bram minta dibeliin makan. Bentar lagi aku ke kostmu. Tapi jangan minta oleh-oleh. Dana jajanmu sudah habis buat bayar rumah sakit.” Suaranya sedikit direndahkan.

“Ngenes amat nasib gua,” desah Lulu. Embusan nafasnya berat. “Komisi baru turun minggu depan, Bi. Please, nafkahi gua beberapa hari ini.”

“Kalau kamu nggak nurutin maba brengsek itu ya nggak bakal kayak gini,” ucap Inbi begitu saja. Sekejap langsung dia sesali. Dua matanya membelalak. Bersirobok dengan pandangan Bram dan Derai. Mungkin juga dengan pandangan imajiner milik Lulu yang terkirim via satelit provider.

Tiga orang itu diam. Bertukar pandang tanpa arti. Sampai seorang lain keluar dari rumah. Dia menyapa mereka tapi tidak direspons. Dengan sedikit kesal tapi sepertinya lebih banyak lapar, mengambil kantong plastik berisi nasi padang. Dibawa seluruhnya ke dalam kontrakan.

“Bi, Inbi?”

“...”

“Bi, lo marah?”

“Sorry, Lu. Kita bicara nanti aja,” putus Inbi. Dia menutup sambungan telepon. Disimpannya ponsel ke saku jaket. Berdeham kecil. “Dilanjut makannya. Iklannya sudah lewat,” ujarnya pada Bram dan Derai.

Bram menggeleng. Kembali menikmati makan siangnya. “Kamu kalau ada masalah bilang,” kata Bram kemudian.

Inbi meliriknya. “Enggak. Aku ndak ada masalah apa-apa,” elaknya.

“Maksud aku si Derai,” timpal Bram. Dia menaikkan dagu ke arah dokter subuh. “Lagian, mana ada dokter residen bisa main lama-lama di kostan mahasiswa gini. Mending-mending kost kedokteran. Lhah ini, kostan teknik.”

Inbi mengucek mata. Dia menelengkan kepala. “Ya, serah pak dokter lah. Lagian, bisa-bisanya kalian saling kenal gini. Perasaan selama dua tahun kemarin nggak pernah aku lihat pak dokter ada main ke sini. Atau kalian ketemuan di tempat lain gitu.”

Senyum Derai mendera perhatian Inbi. Dia menelan dengan elegan. “Saya baru selesai pengabdian di luar kota, Mbak. Ini sama kuliah lagi ambil spesialis. Sebelumnya saya sudah kenal lama sama Bram. Gara-gara ban kempes malam-malam waktu itu,” terangnya.

Inbi hanya bisa menunjukkan oh-nya. Sekalipun dalam hati mencatat baik-baik informasi barusan. Bram dan Derai sudah saling mengenal lama. Derai baru kuliah spesialis. Derai ganteng banget.

“Jadi, kalian nggak ada masalah nih?” sahut Bram. Merusak catatan mental Inbi yang sudah rapi.

“Nggak,” jawab Inbi dan Derai bersamaan.

Bram mencibir. “Baguslah. Biasanya yang sering kemari itu lagi banyak masalah. Misalnya orang yang jarang bicara kasar tiba-tiba maki-maki orang.”

Bibir Inbi dikerucutkan. Ganti dia yang kena omel nih. “Habis, aku sebel banget, Mas. Lulu dikasih tahu bebal terus. Giliran nanti ketahuan oleh Abe, aku juga yang kena imbasnya,” curhat Inbi pada akhirnya.

“Kecelakaan kemarin sebenarnya gimana?” kejar Bram. Tahu benar ada yang tidak benar dengan kejadian tempo waktu.

Lidah berdecak. Dia memejamkan mata sejenak. “Dok, kalau Anda ikut mendengarkan, tolong buat konsumsi pribadi saja ya. Berhenti di dokter informasinya,” Inbi memberi peringatan. Dia memandang penuh harap ke Derai, lalu Bram. “Kelar kelas pada nongkrong di kebon. Biasalah, anak-anak. Ada maba sok pede ikutan gitu. Bisa-bisanya nantangin anak-anak. Tahu kan Lulu gimana kalau udah diprovokasi, sekaleng dihabisin sendiri. Habis itu masih pada balik ke kampus buat bantuin anak TA sampai subuh. Baru aku tinggal ke musola, dah jungkir balik aja Lulu di tangga. Mana anak-anak udah pergi. Si maba yang janjiin nganter balik dah ikut minggat. Beneran pengen misuh aku,” cerita Inbi selengkapnya.

Bram menghela nafas. Dituangnya es teh ke gelas bening besar dari bawah meja. “Kapan sih kalian kapok? Tobat kek,” helanya. Lalu menegak banyak-banyak.

Kaki Inbi dijejakkan. “Aku nggak pernah ikut minum! Lulu tuh,” cicitnya. Dia melipat kedua tangan. “Lagian, siapa yang bakal bawa dia ke klinik atau UGD? Malahan, kalau bisa nih, aku mau kursus menjahit luka aja deh.”

“Nggak ada, Mbak. Mendingan kursus merajut,” timpal Derai.

Inbi mengernyitkan muka ke arah sang dokter. “Maaf?”

Hanya sebuah seringai polos. Juga toyoran ke lengan Derai oleh Bram. Inbi pun menarik nafas dalam-dalam.

“Dari awal osmaru, aku udah nggak nyaman ketemu sama si maba. Tengil banget sumpah. Dia terang-terangan pula narget anak 2010. Dosa apa pula kami, baru juga ketemu,” keluh Inbi.

Bram mengulurkan tangannya guna mengusap kepala Inbi. “Dah, tenangin dirimu. Nggak usah dipikirin anak itu. Fokus aja bantu Lulu tobat. Capek aku denger kalian kalau nggak ke UGD ya klinik 24 jam. Ada apa sih kalian sama petugas kesehatan,” hiburnya.

Gadis itu memberengut. “Iya, iya. Lagian, aku rasa, anak itu tahun depan paling bakal pindah jurusan. Atau malah pindah kampus. Model-modelannya bukan anak seni.”

“Emang gimana bukan model anak seni itu, Mbak?” heran Derai.

“Ya, kayak gitu deh, Dok. Misal saya, ngegembel ginilah kurang lebih. Tapi, karena saya anak desain, ya ngegembelnya agak perlente dikit,” terang Inbi. Dia menepis debu dari pundak kemeja kotak-kotak. Diliriknya jins belel yang seminggu belum dicuci. Setidaknya boots kulitnya masih mengkilap. “Ngomong-omong, jangan manggil mbak, Dok. Mudaan saya dari Dokter. Panggil Inbi langsung saja.”

“Ah, ya, Mbak. Maaf, Inbi maksud saya,” timpalnya. Dia melirik Bram yang tiba-tiba berdiri. “Mau manggil sebutan lain juga belum etis,” imbuhnya ketika Bram menghilang ke dalam kontrakan.

Dahi Inbi dikerutkan. “Dok, maaf, capek ya? Perlu istirahat?”

Derai ikut mengerutkan dahi. “Biasa saja, Inbi. Kenapa ya?”

Gelengan tak yakin Inbi lakukan. Dia bilang, “Kirain capek. Kok kayak ngelantur.”

“Saya jarang ngelantur. Sering serius malahan. Jadi, kalau di luar gini, panggil saja Derai. Nggak usah pakai dok. Mas Derai juga nggak apa-apa. Saya sadar kalau lebih tua. Atau kalau mau manggil mamas sangat diperbolehkan.” Derai terangguk-angguk.

Andai Bram tidak segera kembali keluar, Inbi harap dia bisa berpindah tempat dengan mengedip saja. Bukannya tetap di tempat dan mengerjapkan mata berkali-kali. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia pikir, Malik itu orang teraneh di dunia. Rupanya ada yang mengalahkannya.

**

“Orang kalau stress karena kuliah atau kerjaan, memang bisa berlaku aneh-aneh,” kata Lulu. Dia mencecap saset jamu masuk angin. “Ya, kayak kita kalau pas dikejar deadline tugas. Tidur kurang, otak jalan terus. Bicara jadi nggak sinkron.”

Inbi menggeser setumpuk kertas gambar. Ditaruhnya kepala ke permukaan meja yang bebas kertas. “Dokter juga manusia ya?” sebutnya.

Dengusan Lulu terdengar elegan. “Ya lah. Makan nasi sama sayur juga. Kenapa harus mengistimewakan profesi tertentu? Jatuhnya nanti jadi mengkultuskan lho. Musyrik nanti lo. Kenapa juga mikirin dia? Lo suka sama dokter itu?”

“Apaan sih. Kenal juga enggak. Mana ada suka-sukaan. Baru juga ketemu dua kali,” sewot Inbi.

Tangan Lulu meraih rambut Inbi yang menutupi muka. Dipilin-pilin dengan pensil. “Dua kali apa. Di rumah sakit pas gua opname, berapa kali sehari? Di kontrakan teknik berapa kali? Mana udah suruh manggil mamas. Curiga gua sama kalian.”

Inbi mengerucutkan bibir. Digaruknya tengkuk yang tidak gatal. Memang benar tidak hanya dua kali mereka bertemu. Maksud dia sih dua kali, di rumah sakit dan di kontrakan teknik. Dua lokasi yang berbeda.

“Delusiku saja. Mana ada yang tertarik sama Inbi,” keluhnya.

“Ada noh,” sahut Lulu. Dia mulai mengepang sebagian rambut Inbi. “Calon dokter bang Malik masih setia menantimu,” lanjutnya tanpa humor.

Inbi menghela nafas. “Sekalipun di dunia tinggal Malik cowok single-nya, aku mending nggak ajalah.”

“Hush! Jangan gitu. Mamas Malik itu tetap baik meski kalian batal tunangan. Dah, jangan jahat-jahat sama dia. Nanti kalau jadi jatuh cinta, pusing lo.”

Inbi mengetuk-ketuk meja sambil bergumam amit-amit jabang bayi. Jatuh cinta pada Malik adalah hal yang tidak ada dalam daftar kegiatan Inbi. Daftar-daftar juga tidak ada. Ugh! Jangan sampai.

By the way, Bi. Lo inget kan si maba 2013 kan? Rauf namanya. Si tengil itu tadi ke sini,” beritahu Lulu.

Seketika Inbi mengangkat kepala. Refleks, Lulu menarik rambut Inbi yang separuh terkepang. Dia mengusap kepalanya yang berdenyut. “Aduh,” pekik Inbi. “Baru juga nyebut namanya, udah bikin insiden lain.”

Lulu ikut mengusap kepala Inbi. “Lo yang lebay. Dia ke sini nggak ngapa-ngapain. Hanya di depan, nanyain gua ada atau nggak. Terus cabut. Anak kamar depan yang nemuin dia.”

“Perasaanku nggak enak,” ungkap Inbi.

“Ck!” Lulu meremas lengan Inbi. Dia menggeleng dengan bibir dikerucutkan. “Nggak suka denger lo bilang gitu. Seringnya ada sesuatu yang nggak oke beneran terjadi.”

Dengan tarikan nafas panjang, Inbi menurunkan bahu. Ditepuknya bibir tiga kali. “Kapok, Bi, tobat!”

Ketukan di pintu mengagetkan keduanya. Sebuah kepala melongok di antara celah pintu. Salah satu teman satu kost Lulu. Dia memberitahukan kedatangan tamu bagi Lulu. Kali ini bukan si mahasiswa baru. Melainkan, siapa lagi kalau bukan Abe.

Tanpa babibu, Lulu bergegas keluar kamar. Ditinggalkannya Inbi yang pindah ke atas kasur. Gadis itu tengkurap mendekap selimut. Pikirannya mulai bertualang. Sampai ponsel bergetar menandakan adanya pesan masuk.

Ada yg minta nomormu.

Pesan singkat dari Bram, membuat Inbi mengerutkan dahi. Dia mengetik balasan. Dihapus cepat. Diketik ulang. Jantungnya malah berdebar-debar begitu saja.

Siapa? Urusan apa?

Jawaban Bram datang dalam jeda dua menit. Dahi Inbi makin mengerut. Tak habis pikir. Sampai jarinya membeku di atas layar ponsel. Mau ketik huruf apa tidak tahu.

Derai. Mau info les jahit.

Inbi menjerit ke selimut. Kakinya dientak-entakkan. Ponselnya kembali dipegang. Tiba-tiba saja jarinya jadi lincah. Sejumlah huruf ditekan.

Kasih aja.

Ponsel lantas dilempar bebas. Entah mendarat di mana. Gadis itu sibuk membenamkan muka ke kasur. Entah berteriak atau menangis. Dia menegakkan badan, terengah hampir kesusahan nafas. Diusapkan kedua sudut mata.

Tidak ada pesan lain yang masuk.